Jakarta (ANTARA) - Setiap musim penghujan, tanah longsor kembali menghantui jutaan warga yang tinggal di lereng perbukitan, kaki gunung, dan bantaran sungai di seluruh Indonesia.
Di antara gemuruh hujan dan suara air mengalir, banyak warga yang terjaga dalam kecemasan. Bukan tanpa sebab. Dalam lima tahun terakhir, tanah longsor menjadi bencana paling mematikan di Tanah Air, menelan lebih dari seribu nyawa, sebagian besar tanpa adanya peringatan dini.
Sebagai respons terhadap ancaman yang terus meningkat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggulirkan inisiatif besar kembali mengembangkan sistem peringatan dini tanah longsor berskala nasional yang bisa mencakup seluruh wilayah rawan. Sistem ini diharapkan mampu menyelamatkan lebih banyak nyawa dan meminimalkan kerugian dengan mendeteksi potensi longsor jauh sebelum tanah bergerak.
Dalam lima tahun terakhir, catatan BNPB menunjukkan tanah longsor sebagai bencana dengan jumlah korban meninggal dan hilang tertinggi. Dari 2020 hingga 2024, total korban jiwa akibat longsor mendekati 1.500 orang.
Puncak kejadian tercatat pada 2021 dengan 178 korban jiwa dari 1.321 kejadian longsor. Jumlah tersebut meningkat drastis pada 2024, dengan korban jiwa mencapai 235 orang. Data tersebut mencerminkan bahwa tanah longsor terjadi hampir setiap hari dan berujung pada tragedi kemanusiaan yang berulang.
Provinsi Jawa Barat menjadi wilayah dengan kejadian longsor tertinggi, ada 1.515 kejadian selama periode tersebut. Kabupaten Bogor menempati posisi pertama dengan 401 kejadian, disusul Sukabumi sebanyak 189 kejadian, Kota Bogor 145, Ciamis 104, dan Sumedang 102. Situasi ini mencerminkan kompleksitas ancaman longsor di wilayah yang terus mengalami tekanan alih fungsi lahan dan pembangunan permukiman.
Urgensi pembangunan sistem peringatan dini longsor nasional tidak bisa lagi ditunda. BNPB menekankan pengembangan sistem ini akan mencakup tiga pendekatan utama: pemantauan berbasis citra satelit untuk mendeteksi perubahan lahan dan pergerakan lereng; pemasangan sensor di lapangan untuk memantau curah hujan dan pergeseran tanah; serta pelibatan komunitas lokal dalam sistem berbasis masyarakat.
Ketiganya sedang dikaji bersama sejumlah perguruan tinggi dan lembaga keilmuan nasional untuk menghasilkan sistem yang akurat, cepat, dan mudah diakses publik.
Sebelumnya, sistem peringatan dini longsor berbasis komunitas atau Landslide Early Warning System (LEWS) telah dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada bersama BNPB di lebih dari 150 desa. Sistem ini bahkan telah mendapat pengakuan dunia internasional melalui sertifikasi ISO 22327 dari International Organization for Standardization (ISO), namun cakupannya masih terbatas. Pemerintah kini berupaya membawanya ke skala nasional sebagai bagian dari upaya perlindungan warga negara.
BNPB merekomendasikan penguatan sistem peringatan dini di wilayah dengan intensitas longsor tinggi seperti Jawa Barat, melalui integrasi teknologi deteksi dengan pelatihan komunitas dan pengawasan ketat terhadap alih fungsi lahan. Edukasi dan latihan evakuasi juga terus digencarkan bersama pemerintah daerah dan relawan kebencanaan di lebih dari 5.000 desa tangguh bencana yang tersebar di berbagai wilayah rawan.
Bencana longsor juga kerap terjadi di kawasan tambang, baik legal maupun ilegal. Peristiwa terbaru yang sedang hangat dibicarakan terjadi di areal Gunung Kuda, Cirebon, Jawa Barat. Longsor tambang galian C itu menewaskan 21 pekerja dan empat orang hilang di antara timbunan material bebatuan, pasir beserta sejumlah ekskavator.
Saat artikel ini ditulis, proses pencarian dan pertolongan para pekerja tambang itu masih berlangsung.
Peristiwa serupa terjadi juga jauh sebelumnya seperti di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan pada 2020 yang menelan 11 korban jiwa, serta di Bone Bolango, Gorontalo, pada 2024 yang menewaskan 27 orang dan menyebabkan 15 hilang.