Jakarta (ANTARA) - Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menganggap penguatan nilai tukar (kurs) rupiah karena ketidakjelasan prospek ekonomi Amerika Serikat (AS)
“Saya rasa kenaikan ini memang karena faktor global, dimana dolar cenderung melemah karena ketidakjelasan prospek ekonomi AS. Hari masih terpengaruh oleh kondisi global, dimana DXY (indeks dolar AS) masih berada di bawah level 100,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Mengutip Xinhua, disebutkan bahwa para ekonom telah memperingatkan risiko resesi bagi ekonomi AS di tengah peningkatan utang pemerintah, prospek pertumbuhan yang suram, dan sentimen konsumen lemah.
Perkiraan AS mengalami resesi berada di kisaran 45-50 persen, yang berarti tingkat risiko tersebut masih tinggi. Walaupun belum mengalami resesi, AS dinilai telah mengalami perlambatan pertumbuhan yang signifikan.
Seperti diketahui, penurunan peringkat utang pemerintah AS dari Aaa menjadi Aa1 oleh Moody’s akan meningkatkan tekanan ekonomi AS yang tengah menghadapi risiko resesi di tengah peningkatan tarif dan ekspektasi inflasi.
Moody’s menjadikan utang pemerintah dan pembayaran bunga AS sebagai alasan penurunan peringkat tersebut. Pemerintah dan Kongres AS dinilai gagal untuk membalikkan tren defisit fiskal tahunan yang besar dan kenaikan biaya bunga.
Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Kamis pagi di Jakarta menguat sebesar 67 poin atau 0,41 persen menjadi Rp16.332 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.399 per dolar AS.
Baca juga: Rupiah menguat seiring kesepakatan China-AS