Jakarta (ANTARA) - Indonesia berada dalam fase kebangkitan ekonomi yang menjanjikan. Dengan berbagai langkah strategis yang diambil pemerintah, khususnya dalam hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam, negara ini tengah menuju kemandirian yang lebih kuat.
Namun, seperti yang pernah disampaikan Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor, Addin Jauharudin, setiap kali Indonesia menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, ada saja kekuatan eksternal yang berusaha menghambat laju kemajuan tersebut.
Pernyataan ini tidak bisa dianggap sekadar retorika, mengingat sejarah panjang bagaimana negara-negara berkembang kerap menjadi sasaran intervensi asing melalui berbagai mekanisme, baik secara langsung maupun melalui strategi yang lebih terselubung.
Menurut Addin, di masa lalu pihak asing sering kali mendanai LSM lokal atau organisasi masyarakat melalui lembaga donor untuk mengarahkan kebijakan pemerintah sesuai dengan kepentingan mereka.
Namun, saat ini pola intervensi telah berubah. Rekayasa opini dan manipulasi persepsi menjadi alat utama.
Dengan cara ini, instabilitas sosial dapat diciptakan tanpa keterlibatan langsung pihak asing, cukup dengan memanfaatkan dinamika internal bangsa.
”Jika dibiarkan, ini akan mengganggu kemajuan dan kemakmuran Indonesia,” kata Addin Jauharudin.
Presiden Prabowo Subianto juga telah mengingatkan bahaya ini dalam peringatan HUT ke-17 Partai Gerindra. Ia menegaskan bahwa masyarakat harus waspada terhadap upaya adu domba yang dilakukan oleh pihak asing.
“Kalau ada yang dihasut-hasut, atau mau ada yang menghasut, waspada. Ini ulah kekuatan asing yang selalu ingin memecah belah Indonesia,” ujar Prabowo.
Peringatan ini bukan sekadar teori konspirasi, melainkan refleksi dari pola yang telah lama terjadi di berbagai negara.
Sejarah menunjukkan bahwa isu identitas, agama, dan etnis kerap dijadikan alat untuk menciptakan instabilitas di negara-negara berkembang.
Konteks ini menjadi semakin relevan ketika melihat perkembangan terakhir di Indonesia. Pada 2025, pemerintah Prabowo akan menggunakan anggaran efisiensi untuk menjalankan 15 megaproyek hilirisasi dengan nilai miliaran dolar AS.
Langkah ini bertujuan meningkatkan kemandirian ekonomi dengan menambah nilai produk sumber daya alam sebelum diekspor, sehingga Indonesia tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan mentah bagi negara-negara maju.
Namun, kebijakan ini jelas mengancam kepentingan pihak asing yang selama ini menikmati keuntungan besar dari ketergantungan Indonesia terhadap mereka.
Gelombang demonstrasi yang terjadi belakangan ini, yang dikenal dengan tajuk Indonesia Gelap, menjadi bagian dari dinamika yang perlu dicermati dengan hati-hati.
Beberapa tuntutan yang muncul dalam aksi tersebut, seperti penolakan terhadap pemangkasan anggaran, pencabutan proyek strategis nasional yang dianggap bermasalah, serta penghapusan kebijakan multifungsi TNI, menandakan adanya keberatan terhadap arah kebijakan pemerintah saat ini.
Namun, sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai analisis, termasuk yang diungkapkan oleh akun X Intel-Imut, aksi mahasiswa ini tidak sepenuhnya bersifat organik.
Ada indikasi bahwa beberapa NGO asing telah berkolaborasi dengan LSM lokal untuk mendiskreditkan kebijakan pemerintah dengan berbagai cara, termasuk merilis penelitian yang tidak akurat, memanipulasi opini publik, dan mengoordinasikan aksi demonstrasi dengan agenda tertentu.
Tentu saja, ini bukan berarti bahwa semua bentuk kritik terhadap pemerintah adalah hasil intervensi asing. Demokrasi yang sehat membutuhkan kritik dan diskusi yang terbuka.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah ketika kritik dan aksi protes mulai kehilangan substansi dan lebih banyak digerakkan oleh kepentingan yang tidak berkaitan dengan kesejahteraan rakyat.
Baca juga: Bupati Bekasi sebut GP Ansor sebagai generasi muda pemersatu bangsa