Jakarta (ANTARA) - Health Collaborative Center (HCC) menyebutkan pemerintah perlu melakukan langkah-langkah yang sistemik guna mengatasi penyebab-penyebab fenomena terlalu banyak berpikir (overthinking) yang dialami setengah dari populasi Indonesia.
“Overthinking ditemukan secara luas pada separuh orang Indonesia yang diwakili responden penelitian ini, dengan overthinking dominan terlihat pada usia muda, kurang dari 40-tahun, perempuan, dan yang tidak bekerja atau yang baru saja kehilangan pekerjaan," kata Peneliti Utama HCC Ray Wagiu Basrowi di Jakarta, Senin.
Ray melanjutkan studi institusinya mengidentifikasi beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap peningkatan kasus overthinking di Indonesia, antara lain kenaikan harga bahan pokok yang signifikan meningkatkan risiko overthinking hingga dua kali lipat, biaya pengobatan yang semakin mahal meningkatkan risiko overthinking hingga 2,2 kali lipat.
"Informasi politik yang membingungkan meningkatkan risiko overthinking hingga 1,8 kali lipat dan faktor kesehatan seperti berita tentang penyakit baru dan risiko wabah, menjadi pemicu dominan overthinking," katanya.
Penelitian ini melibatkan 1.061 responden dari 29 provinsi selama Januari hingga Februari 2025. Studi pihaknya menemukan bahwa setengah dari populasi orang Indonesia yang diteliti mengalami pola pikir negatif yang berulang atau repetitive negative thinking, dengan kecenderungan khawatir berlebihan terhadap masa depan, sehingga dikenal sebagai overthinking.
Ray menyebutkan penelitian mereka menemukan bahwa 50 persen dari mereka mengalami overthinking, sementara 30 persen mengalami ruminasi yakni kebiasaan berpikir berulang tentang kejadian negatif pada masa lalu tanpa solusi.
"Sebanyak 19 persen responden memiliki pola pikir reflektif yang lebih sehat," katanya.
Baca juga: Menjelajahi fenomena "pembusukan otak" di era digital
Baca juga: Deteksi kelainan otak bisa dilakukan lewat teknologi DSA