Jakarta (ANTARA) - Tahun ini menjadi tahun penting bagi hubungan Indonesia-Turki, sebab, persahabatan dua negara yang terbangun sejak tahun 1950 itu telah memasuki tahun ke-75.
Telah banyak peristiwa yang mewarnai perjalanan hubungan dua negara. Ada satu hal yang istimewa dalam perayaan hubungan dua negara tahun ini, yaitu kunjungan Presiden Recep Tayyip Erdogan ke Jakarta pada pertengahan Februari 2025. Rencana kunjungan presiden Turki disampaikan dalam pertemuan resmi Partai AKP di Ankara, Turki, baru-baru ini (Anadolu Ajans, 05/02).
Sebelum memasuki fase modern, Indonesia-Turki telah terhubung dalam spektrum yang berbeda yaitu dalam bentuk kontak diplomatik antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Turki Utsmani pada abad 16, ketika Portugis tengah melakukan penetrasi di Selat Malaka (Ismail Hakk Kad, 2021). Begitu juga dengan Pangeran Diponegoro yang menganggap Kesultanan Turki sebagai inspirasi dalam membangun kekuatan militernya dalam Perang Jawa (Peter Carey, 2023).
Untuk saat ini, Turki di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan mencoba untuk mereformulasi kebijakan luar negeri yang berorientasi pada penguatan hubungan dengan semua pihak yang selama ini terhubung dalam payung Ottomanisme. Doktrin politik luar negeri Erdogan sejak pertama kali menduduki posisi Perdana Menteri adalah zero problems with neighbors, yang artinya Turki yang sebelumnya cenderung ke Barat, berubah haluan untuk merangkul semua pihak.
Sementara Indonesia, selama ini tetap berpegang pada doktrin politik luar negeri ’bebas aktif’ yang memberi ruang bagi Indonesia untuk netral dalam bersikap dan memberi keleluasaan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak.
Pada periode Presiden Prabowo Subianto, Indonesia berusaha untuk tetap memelihara hubungan baik dengan semua kekuatan besar lintas kawasan. Kebijakan ini tentu saja menjadi cerminan prinsip yang selama ini dipegang oleh para diplomat Indonesia dalam menjalankan tugasnya, yakni millions friends zero enemy (seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak).
Hari-hari ini dunia memang tengah mengalami guncangan, ditandai dengan perang yang melibatkan Rusia-Ukraina, Israel-Hamas, gejolak di Laut China Selatan, dan beberapa titik panas yang selama ini menjadi pemicu instabilitas kawasan.
Baik Indonesia maupun Turki, adalah negara yang terdampak dari situasi krisis tersebut. Presiden Prabowo, bahkan secara terbuka menyampaikan perhatiannya terkait ambivalensi negara-negara Barat yang cenderung mengabaikan norma internasional dalam forum D-8 dan Shangri La Forum. Begitu juga dengan Presiden Erdogan yang kerap kali mengkritik Dewan Keamanan PBB yang dianggap tidak mampu mencegah eskalasi di beberapa zona konflik.
Indonesia dan Turki memiliki modal terus bersinergi, pertama, Indonesia dan Turki merupakan dua dari sedikit negara Muslim yang menjadi anggota G-20; kedua, Indonesia dan Turki merupakan pelopor berdirinya organisasi Developing Eights (D-8); ketiga, Indonesia dan Turki telah terlibat dalam kerja sama industri pertahanan; dan keempat, sudut pandang masyarakat Indonesia menganggap Turki sebagai bagian dari komunitas Muslim yang memiliki karakteristik yang sama dengan Muslim di Indonesia.
*) Dr Muhammad Syaroni Rofii adalah Ketua Alumni Turki Indonesia, dosen di Universitas Indonesia, doktor bidang hubungan internasional di Marmara University, Istanbul, dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, dan penulis buku Islam di Langit Turki
Baca juga: Turki desak internasional cegah pelanggaran gencatan
Baca juga: Menlu RI dan Dubes Turki bahas kerja sama bilateral