Jakarta (ANTARA) - “Bukan hanya masyarakat yang menjadi korban bencana, ataupun mereka yang terancam menjadi korban berada dalam perhatian pemerintah. Tetapi termasuk semua kerusakan yang ada harus segera diperbaiki sampai pada kondisi yang kembali normal."
Pernyataan dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto itu tidak lah sesederhana ketika ia menyampaikannya di hadapan belasan kamera wartawan saat meninjau langsung penanganan korban banjir, tanah longsor – keretakan tanah di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, belum lama ini.
Bagi para korban, pernyataan singkat dari jenderal bintang tiga TNI Angkatan Darat itu sangatlah berarti. Bahkan ada ratusan ribu orang warga yang menderita masih terus menanti terobosan BNPB untuk tidak hanya menyembuhkan luka mereka, tetapi juga memulihkan, dan menciptakan ketahanan sosial-ekonomi mereka yang porak-poranda akibat bencana agar tidak kembali mengalami penderitaan serupa di masa depan apapun tantangannya.
BNPB memiliki peran vital dalam hal ini karena merupakan lembaga non-departemen setara kementerian, dan berlandasan kuat untuk menjalankan amanah konstitusi terkait penanggulangan bencana bersama mitra strategisnya. Dan semua upaya itu juga akan dipertanggungjawabkan langsung kepada Presiden.
Tugas dan fungsi mereka diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan, diperkuat oleh Peraturan Presiden (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Adapun UU Nomor 24 tahun 2007 secara jelas menyebutkan bahwa salah satu tugas pokok BNPB adalah untuk memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi secara adil dan setara.
Sedangkan fungsinya dalam PP Nomor 1 Tahun 2019 itu adalah untuk mengorganisir pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh bersama dengan kementerian dan lembaga lainnya.
Apalagi Prabowo Subianto, selaku Presiden RI kedelapan juga memiliki misi khusus yang berkaitan erat dengan kebencanaan yang dirumuskan dalam Asta Cita, arah tujuan pembangunan pemerintahan.
Asta Cita presiden pada butir kedelapan menyebutkan misinya untuk memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam dan budaya, serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Dengan demikian, keberhasilan arah pembangunan era kepemimpinan Prabowo Subianto dan Wakilnya Gibran Rakabuming Raka juga akan ditentukan oleh bagaimana penanggulangan bencana itu dilakukan.
Para ahli sepakat bahwa bencana alam adalah fenomena yang sulit diprediksi kapan akan terjadi. Hal ini sekaligus menjadi tantangan bagi negara kepulauan seperti Indonesia, yang berada dalam kawasan ring of fire atau lingkaran Cincin Api Pasifik sehingga tingkat kerawanannya dilanda gempabumi, tsunami, gunung meletus sangat tinggi.
Tak hanya itu, perubahan iklim global ditambah kombinasi fenomena atmosfer di garis ekuator bumi memicu perubahan cepat pola cuaca, dan terkadang bisa secara mendadak ekstrem juga menambah kerentanan bencana seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, angin puting beliung, hingga kebakaran hutan dan lahan.
Bahkan berbagai studi telah menunjukkan bahwa jenis bencana hidrometeorologi itu adalah yang paling banyak terjadi ketimbang bencana lainnya sekalipun letak geografis Indonesia di khatulistiwa yang hanya mengenal dua musim saja, yakni musim hujan dan kemarau.
Faktor eksternal seperti rusaknya kawasan hutan dan daerah aliran sungai karena beralih fungsi untuk aktivitas ekstraktif seperti pertambangan, perkebunan, dan permukiman juga turut memperparah kondisi dampak bencana. Terbukti sedikitnya pada 2021-2022 Kementerian Kehutanan melaporkan jumlah hutan rusak di Indonesia mencapai 104 ribu hektare.
Oleh karena itu, BNPB tidak punya pilihan bagi bangsa Indonesia selain menciptakan resiliensi melalui serangkaian aksi sehingga dampak dari berbagai kerawanan bencana itu dapat diperkecil.
Kerusakan lingkungan dan bencana alam itu berhubungan nyata dalam mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi di daerah. Semuanya itu terpetakan secara baik oleh lembaga negara yang berlambang segitiga berwarna biru itu. BNPB mencatat secara rinci risiko yang ditimbulkan karena bencana alam di Indonesia tergolong besar.
Pada medio tahun 2023 terdata lebih dari 20.736 jiwa orang terdampak bencana tanah longsor. Nilai kerugian akibat kerusakan fisik ditaksir mencapai Rp180,831 miliar, kerugian ekonomi sekitar Rp515,194 miliar, dan memicu kerusakan lingkungan seluas 7,686 ribu hektare.
Demikian halnya bencana banjir yang berdampak kepada lebih dari 109.618 jiwa dan menimbulkan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp526,654 miliar, hingga memicu kerugian ekonomi sekitar Rp480,264 miliar, dan kerusakan lingkungan seluas 4,225 ribu hektare.
Sementara gempa bumi dengan luas yang berisiko menyasar 60,182 ribu hektare dengan jumlah warga terdampak sebanyak 131.881 jiwa, dengan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp654,610 miliar lebih dan kerugian ekonomi sekitar Rp9,753 miliar.
Kemudian risiko bencana likuefaksi menyasar lebih dari 77.370 jiwa warga yang terdampak dengan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp208,655 miliar, kerugian ekonomi sekitar Rp143,220 miliar dan kerusakan lingkungan seluas 1,434 ribu hektare.
Selanjutnya cuaca ekstrem memiliki indeks risiko tertinggi yang tercatat ada sebanyak 226.329 jiwa terdampak dengan nilai kerugian akibat kerusakan fisik sekitar Rp1,962 triliun, kerugian ekonomi sekitar Rp781,335 miliar, dan luas kerusakan lingkungan lebih dari 4,22 juta hektare.
BNPB berjanji memberikan dukungan penuh untuk mempercepat proses transisi, terutama dalam membantu masyarakat yang terdampak. Rumah-rumah yang rusak, baik ringan, sedang, maupun berat, menjadi prioritas untuk segera didata agar proses bantuan dapat dilakukan tanpa penundaan.