Bogor (Antara Megapolitan) - Indonesia merupakan salah satu produsen dan konsumen tembakau dan produk tembakau (rokok) terbesar di dunia. Produktivitas tembakau tahun 2015 mencapai 948 kilogram daun tembakau per hektar per musim atau 202 ribu ton tembakau dari luas area 218 ribu hektar.
Jumlah petani tembakau ada 567 ribu keluarga petani dengan kepemilikan lahan kurang dari satu hektar.
Dari data konsumsi rokok dunia tahun 2014, setiap perokok di Indonesia mengkonsumsi 1322,3 rokok per tahun dan terjadi peningkatan 15,91 persen.
Tingginya konsumsi rokok ini menjadi pendorong utama bagi produsen rokok untuk terus meningkatkan produksinya yang pada akhirnya membutuhkan lebih banyak tembakau.
Namun, industri rokok Indonesia cenderung lebih memanfaatkan tembakau impor dibandingkan tembakau produksi dalam negeri.
Tujuh perusahaan rokok utama secara bersama-sama menguasai 88 persen pasar rokok nasional.
Total produksi rokok tahun 2014 diperkirakan mencapai 352 miliar batang dan tahun 2020 diproyeksikan mencapai 542 miliar batang.
Keuntungan pabrik rokok tahun 2015 bisa mencapai lebih dari 10 triliun rupiah. Nilai ini sangat besar dan telah mengantarkan pemilik-pemiliknya sebagai orang-orang terkaya Indonesia.
Setiap tahun pemerintah senantiasa mengandalkan produk hasil tembakau untuk memenuhi target penerimaan cukai.
Rata-rata setiap tahun, cukai hasil tembakau berkontribusi sebesar 95 persen dari target. Tahun 2016, pemerintah mendapatkan 144 triliun rupiah dari total penerimaan cukai.
Tahun 2017 diperkirakan pemerintah akan menerima 157 triliun rupiah.
''Tingginya konsumsi rokok tersebut menimbulkan berbagai dampak negatif, tidak hanya bagi perokok itu sendiri tetap juga bagi orang lain di sekitarnya yang tidak merokok. Kementerian Kesehatan pada tahun 2013 merilis kerugian yang dialami akibat beragam masalah kesehatan akibat rokok mencapai 378,75 triliun rupiah per tahun. Artinya manfaat yang diterima negara dari cukai rokok sebenarnya tidak sebanding dengan besarnya biaya kesehatan yang ditanggung oleh masyarakat,'' ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam jumpa pers pra orasi ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor (26/10).
Menurut kajian konsumsi rokok masyarakat di pedesaan, penduduk desa mengeluarkan uang lebih besar (untuk konsumsi rokok) daripada orang kaya dan penduduk perkotaan. Selain itu, harga yang diterima petani tembakau relatif rendah. Itu sebabnya petani tembakau miskin.
''Saya amati pemerintah enggan mengkaji dampak rokok bagi konsumen. Saya juga kesusahan mendapatkan data produksi real rokok saat ini,'' ujarnya.
Menurutnya, upaya pengendalian produksi tembakau jangan diartikan sebagai upaya mematikan kehidupan ekonomi petani tembakau Indonesia.
Petani tembakau telah melakukan upaya diversifikasi usaha tani sehingga tembakau bukan satu-satunya sumber pendapatan mereka.
Dalam paparannya, Prof. Yusman mengusulkan beberapa kebijakan atau program pengaturan dan pengendalian produksi dan konsumsi tembakau, yakni pemerintah harus mengendalikan dan menurunkan tingkat produksi rokok; produksi tembakau harus dikendalikan secara konsisten dan terintegrasi; harus ada kebijakan perdagangan terutama terkait importasi tembakau; harus ada program pengintroduksian komoditas alternatif tembakau yang harus dikembangkan secara konsisten; pengembangan program diversifikasi pemanfaatan atau pengolahan tembakau menjadi produk olahan non-rokok; dan pendekatan agribisnis tembakau secara terpadu.
''Dengan dilaksanakannya program tersebut, manfaat ekonomi dari tembakau dapat ditingkatkan dan potensi bahaya yang mengancam kesehatan masyarakat serta lingkungan bisa ditekan. Pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan tembakau dan masyarakat secara berkelanjutan,'' ujarnya. (zul)
Guru Besar IPB Kaji Konsumsi Rokok Di Masyarakat Pedesaan
Senin, 30 Oktober 2017 18:05 WIB
Saya amati pemerintah enggan mengkaji dampak rokok bagi konsumen. Saya juga kesusahan mendapatkan data produksi real rokok saat ini.