Jakarta (ANTARA) - Ini kisah tentang Marni (43 tahun), seorang janda yang bersama tiga anaknya tinggal di gubuk di perbukitan hutan di Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Amma Mar, begitu penduduk sekitar memanggil nama akrabnya, kepada Marni yang tinggal di gubuk di sela pohon kelapa dan dikelilingi pepohonan kakao. Amma, dalam bahasa Mandar, berarti Ibu. Ibu Mar.
Kondisi gubuknya memprihatinkan, hanya berukuran 2 x 3 meter, untuk kehidupan empat jiwa. Marni dan tiga anaknya, Abdul (14 tahun), Mira (12 tahun), dan si bungsu Fadly. Atap dan dinding gubuk terbuat dari anyaman daun yang mengering dan pintu berlapis kain.
“Ya, di sinilah rumah saya, tempat berlindung yang kami punya,” kata Marni soal gubuk yang telah ditempati hampir tiga tahun sejak Agustus 2021.
Marni dan anak-anaknya terpaksa tinggal di gubuk tersebut, setelah ditinggal pergi suami dan resmi bercerai dua setengah tahun lalu.
Marni tak punya pilihan lain selain pulang ke kampungnya meski harus tinggal di gubuk dekat hutan yang jauh dari pemukiman warga desa setempat.
Setelah resmi bercerai sempat ia mencoba bertahan menjadi buruh harian di Baras, tapi bayang romantisme masa lalu yang kandas selalu menghantui batinnya.
Marni membulatkan tekad membawa ketiga anaknya, pulang ke Batetangnga. Saat itu pula kehidupan anak-anak Marni berubah drastis. Jangankan bersekolah, untuk waktu tidur nyenyak di rumah yang layak dan bermain seperti anak-anak pada umumnya pun mereka tak punya.
Putra sulungnya, Abdul (14), mesti bekerja di sebuah peternakan ayam untuk membantu perekonomian keluarga, dalam satu bulan mendapatkan upah Rp500 ribu.
Begitupun Mira Wati (12) yang mesti membantu kerja apa saja mulai dari menjual cabai sisa panen di ladang saudaranya hingga membantu petik dan semai biji Kakao dengan upah Rp200 ribu – Rp300 ribu per bulan.
Meski menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya, Marni tidak pernah sekalipun mengemis meminta kepedulian dari saudara atau warga lainnya untuk meringankan beban mereka.
Bertemu Mensos Risma
Kisah nestapa Marni dan keluarganya, terdengar sampai ke Menteri Sosial Tri Rismaharini. Itu lantaran kehidupan pilu Marni tersiar melalui laporan dari para pegiat media sosial.
Risma secara khusus menemui Marni. Semua perangkat desa, petugas dinas sosial daerah setempat mendadak berdatangan mempersiapkan kunjungan Menteri Sosial itu ke Bumi Batetangnga, pada 2 Juli 2024.
Kepala Desa Batetangnga Sumailah Damang datang membawa kabar gembira, ada satu unit rumah yang disiapkan untuk Marni yang berjarak 200 meter dari gubuknya .
Ternyata hal ini pula yang membuat Marni untuk pertama kalinya dipanggil oleh Kepala Desa, dua hari sebelumnya, untuk membuat berkas administrasi kependudukan setelah pulang dari perantauan untuk diverifikasi dengan alamat baru.
Rumah bata dengan dua kamar yang berukuran 6x10 meter persegi dengan luas lahan 320 meter persegi itu sudah dibeli secara kontan senilai Rp130 juta oleh Kementerian Sosial.
Rumah tersebut sudah bisa langsung dihuni keluarga Marni, lengkap dengan listrik, panel surya berdaya 100 watt, alat pertanian, ayam ternak dan bibit ikan lele yang siap dikembangbiakkan.
Ucapan rasa terima kasih kepada orang-orang yang telah peduli menyuarakan getirnya kehidupan Marni, menjadi kalimat yang terus diungkapkan Menteri Sosial dalam kunjungannya.
Mensos menjamin setiap data keluarga miskin yang diajukan dari pemerintah daerah tersebut akan diproses menjadi peserta penerima manfaat program PKH. Asalkan data calon peserta yang diajukan itu valid sudah sesuai prosedur dan ketetapan seperti byname-byaddress. Paling tidak pada Juli-Agustus tahun ini 1.898 keluarga miskin tersebut sudah harus terdata untuk kemudian masuk sebagai peserta KPM.
Kini kehidupan Marni dan anak-anaknya menatap masa depan yang lebih baik.
Baca juga: Curahan hati Aca dari Saumlaki teruntuk Ibu Mensos
Baca juga: Mensos luncurkan Pena Muda bantu lebih banyak individu keluar dari kemiskinan
Baca juga: Mensos Tri Rismaharini kunjungi rumah Umi Kalsum di Pamekasan