Bertani di tengah kota, bisa jadi merupakan sesuatu di luar kebiasaan. Sebab biasanya kegiatan bertani berlangsung di wilayah pedesaan. Biasanya pula, bertani dilakukan dan membutuhkan lahan yang luas.
Sementara itu di kota,lahan yang bisa dipakai untuk bertani sangat terbatas. Lagi pula pada umumnya orang-orang di kota tidak memiliki budaya bertani. Kalaupun ada, biasanya hanya beberapa orang saja yang kreatif memanfaatkan lahan tidur.
Di Kota Bogor, yang lahan pertaniannya semakin menyusut karena alih fungsi lahan, ternyata kegiatan pertanian tetap hidup.
Bukan hanya dihidupkan oleh orang per orang, melainkan juga oleh kelompok-kelompok wanita tani atau dikenal sebagai KWT.
Hampir di setiap kelurahan yang berbatasan dengan wilayah kabupaten, ada KWT.
Bahkan diantaranya ada yang tergolong unik, karena kelompok itu terdiri dari ibu-ibu yang tidak bergantung hidup pada pertanian. Mereka penghuni perumahan menengah atas yang memiliki sumber kehidupan lain di luar pertanian.
Maka bagi mereka, bertani tidak lebih dari cara untuk bersosialisasi, bersilaturahim dengan tetangga sesama penghuni perumahan dan menjalankan hobi.
Jadi ini sebuah bukti, tidak selamanya ibu-ibu di kompleks perumahan berkumpul hanya untuk arisan. Tetapi juga bisa bertani secara produktif.
Uniknya, mereka bahkan mampu tampil sebagai KWT berprestasi.Tahun 2016 mereka meraih prestasi sebagai KWT yang berhasil mengembangkan Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) terbaik se-Jawa Barat.
Saat ini mereka sedang mewakili Provinsi Jawa Barat pada ajang penilaian KRPL Tingkat Nasional.
Di samping itu mereka pun telah berulang kali menjadi inspirator atau contoh bagi gerakan serupa di berbagai daerah. Bahkan untuk beberapa negara seperti Nepal dan Afghanistan.
Mereka juga melakukan pembinaan di kawasan perumahan sekitar dan SD Negeri Kedung Badak 4 sebagai kawasan hijau.
Itulah yang terjadi pada KWT Puspa Sari. KWT ini berada di tengah perumahan Cimanggu Permai.
Anggotanya terdiri dari 33 orang ibu-ibu warga setempat, yang pada umumnya tidak memiliki pendidikan dan latar belakang pertanian.
“Kami ini kumpulan ibu-ibu rumah tangga biasa, yang anggotanya berusia antara 30 tahunan sampai yang paling sepuh 70 tahun,†ungkap Pipit Puspitasari sebagai Ketua KWT Puspa Sari.
Menurut perempuan kelahiran Tasikmalaya ini, kelompoknya lahir dari kegiatan PKK RW setempat dalam berkebun tanaman obat keluarga (toga).
Tahun 2011 mereka mencoba membangun kebun tanaman obat keluarga dengan memanfaatkan lahan tidur.
Lahan tidur itu berada di bawah jaringan jaringan SUTET yang melintas di kawasan perumahan Cimanggu Permai.
Mereka mengolah lahan ini dengan pertama-tama membuat rancangan landscape, mencari bibit tanaman, bekerja bakti serta membuat saung untuk berteduh.
Semua biaya yang relatif besar ditanggung mereka sendiri.
“Belum ada bantuan dari siapapun,†kata Pipit.
Repotnya, mereka semua awam tentang ilmu bercocok tanam. Tidak terbiasa nyangkul dan menanam bibit tanaman.
Namun semua itu dilalui dengan semangat bergotong royong sampai akhirnya kebun toga berhasil dibangun.
Pada akhir tahun 2011 mereka mengikuti saran Dinas Pertanian Kota Bogor untuk membentuk KWT.
“Kami disarankan membentuk KWT agar kegiatan kami memiliki payung hukum,†jelas Pipit.
Setelah berbentuk KWT mereka mulai mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian Kota Bogor dan Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor. Diantaranya bantuan berupa bimbingan teknis dari seorang penyuluh, disamping bantuan dana.
Tetapi namanya bantuan, dana yang diperoleh tentu hanya dimaksudkan untuk menstimulir. Mereka harus tetap bekerja keras untuk bisa mengelola lahan yang kini luasnya mencapai 3.500 meter persegi dan sudah berubah menjadi kebun sekaligus taman kompleks.
Setidaknya mereka harus membayar 3 orang pegawai yang ditugaskan untuk ikut membersihkan dan merawat lahan serta tanaman.
Mereka juga harus mengolah pupuk dan menyiapkan bibit tanaman pengganti.
Untuk itu mereka terus bahu membahu menghasilkan berbagai produk yang bisa dijual.
Saat ini KWT Puspa Sari telah berhasil menanam dan mengembangkan sekitar 250 jenis tanaman. Selain berbagai jenis tanaman obat, juga ditanam berbagai jenis sayuran, kacang tanah, berbagai jenis pisang dan jeruk lemon atau jeruk nipis.
Terakhir mereka berhasil beternak ikan lele yang baru saja bisa dipanen.
Di samping itu mereka juga berhasil memproduksi berbagai jenis produk olahan.
Diantaranya Arnis atau air jeruk manis yang diproduksi dari hasil panen jeruk lemon.
Mereka juga berhasil memproduksi dodol jambu merah, telur asin, puding daun kelor, keripik kenikir dan susu kefier.
“Kami juga mencoba jual masakan lasagna tempe dan talas lapis panggang,†kata Pipit.
Menurutnya semua hasil dari penjualan produk tersebut tak lain untuk mengisi uang kas KWT. Selain itu kas juga diisi dari hasil penjualan sayuran yang dipanen.
“Yang beli anggota sendiri atau warga lain di perumahan ini,†jelas Pipit yang juga menjabat sebagai Ketua RT setempat.
Bagi siapapun yang berhasrat mencicipi olahan seperti keripik kenikir dan susu kefier, dipersilakan datang ke saung KWT Puspa Sari.
Lokasinya berada tepat di belakang Mall Jogja Jalan Baru atau Jalan KH Shoeh Iskandar. Di saung yang sekaligus jadi markas KWT, selalu ada ibu-ibu anggota yang piket bergiliran setiap hari. Silakan datang!
(Advertorial)
Bertetangga Sambil Bertani
Rabu, 31 Mei 2017 10:08 WIB
Kami ini kumpulan ibu-ibu rumah tangga biasa, yang anggotanya berusia antara 30 tahunan sampai yang paling sepuh 70 tahun.