Jakarta (ANTARA) - Bila muncul pertanyaan tentang apa yang menyebabkan polusi terbesar di rumah tangga, maka asap rokok menjadi jawabannya dan ini diakui dokter sekaligus staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Dr. dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K).
Asap ini meninggalkan residu (third hand smoke) atau bahan kimia pada rambut, kulit, peralatan rumah tangga khususnya berbahan kain semisal gorden, sofa, lalu meja, pakaian yang dikenakan saat merokok dan lainnya.
Residu tidak bisa mudah hilang dengan membuka jendela menyalakan kipas angin, sehingga menempatkan anak yang tinggal dengan perokok lebih banyak sakit dibandingkan dengan anak di lingkungan rumah tanpa perokok.
Ini sekaligus menjadi bantahan terhadap anggapan sebagian orang bahwa tidak merokok di dalam rumah membantu melindungi anak dari paparan asap rokok. Jadi, meskipun seseorang tidak merokok di hadapan anak, tetapi dengan fakta adanya third hand smoke ini maka tetap dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan pada anak dan anggota keluarga lain.
Nastiti merujuk studi menuturkan bahwa anak yang terpapar asap rokok sekitar empat kali lebih tinggi kemungkinan dia dibawa ke Instalasi Gawat Darurat karena gangguan pernapasan.
Baca juga: Asap rokok bisa tularkan COVID-19, ini kata IDI
Lalu, bagaimana dengan rokok elektrik atau vape, benarkah lebih aman? Jawabannya tidak. Berbagai studi memperlihatkan rokok elektrik bahkan meningkatkan kerentanan terhadap masalah kesehatan khususnya pneumonia hingga kanker. Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR berpendapat ini sama halnya dengan asap rokok konvensional, mengandung partikel halus disebut partikulat yang merangsang terjadinya iritasi dan menginduksi peradangan pada tubuh.
Selain itu, rokok elektrik juga mengeluarkan asap atau disebut uap yang tampak jauh lebih banyak ketimbang rokok konvensional. Bayi dan anak kecil mempunyai risiko lebih besar terkena paparan asap atau uap rokok dibandingkan orang dewasa karena aktivitas seperti merangkak dan memasukkan benda-benda non-makanan ke dalam mulut mereka. Mereka juga cenderung menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan.
Studi yang menguatkan
Pernyataan Nastiti terkait residu rokok yang tertinggal di ruangan, dikuatkan salah satunya melalui penelitian oleh Roswell Park Cancer Institute (RCPI) yang disiarkan Medical News Today tahun 2014.
Tim peneliti mempelajari sejauh mana rokok elektrik meninggalkan residu nikotin di permukaan dalam ruangan. Demi keperluan studi, mereka menguapkan isi tiga merek rokok elektrik yang berbeda ke dalam ruangan khusus. Selanjutnya, mereka memeriksa lantai, dinding, jendela, permukaan kayu dan logam di ruangan itu untuk mengetahui kadar nikotinnya.
Mereka menemukan, melalui tiga dari empat percobaan, ada peningkatan residu nikotin yang bervariasi namun signifikan, dengan lantai dan jendela ruangan yang menampung jumlah residu tertinggi.
Baca juga: Dukunglah Perda KTR
Penelitian lainnya memperlihatkan nikotin dalam rokok elektronik maupun konvensional bereaksi dengan asam nitrat yang secara alami ada di udara dan membentuk karsinogen. Jika nikotin tetap berada di permukaan, maka zat ini akan terus bereaksi dengan asam nitrat dan menghasilkan karsinogen. Kondisi itu dapat merusak DNA manusia. Sementara studi pada tikus menunjukkan adanya kerusakan pada organ dan sel.
Di sisi lain, peneliti dari Massachusetts General Hospital di Boston tahun 2009 menyatakan residu dari asap rokok terakumulasi dan dapat bertahan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Jika residu berupa bahan kimia beracun ini tidak dihilangkan, maka dapat masuk ke dalam tubuh salah satunya melalui penelanan. Nikotin dan bahan kimia lain dari asap rokok dapat masuk ke dalam tubuh jika seseorang menyentuh suatu permukaan dan mendekatkan tangan ke mulut.
Anak-anak juga dapat menelan zat-zat tersebut dengan memasukkan benda-benda yang terkontaminasi ke dalam mulutnya.
Selain itu, zat juga bisa masuk ke tubuh melalui penghirupan, misalnya saat membersihkan debu, menyapu, menggoyangkan bantal, dan menyalakan kipas angin atau AC.
Nikotin dan bahan kimia lain yang tertinggal setelah merokok dapat menyerap melalui kulit. Anak-anak memiliki kulit yang lebih halus, potensi sehingga risikonya mungkin lebih besar dibandingkan orang dewasa.
Kain menimbulkan kekhawatiran khusus karena bahan kimia dari asap rokok sulit dihilangkan dari serat dan tenunannya. Sebuah studi tahun 2014 yang diterbitkan di PLoS ONE menyimpulkan residu asap yang menempel pada kain katun berpotensi membuat balita terpapar nikotin tujuh kali lipat lebih banyak dibandingkan perokok pasif.
Baca juga: Visi perusahaan rokok untuk bebaskan dunia dari asap
Lalu, apa yang bisa dilakukan? Pakar kesehatan melalui laman WebMD menyarankan untuk sebisa mungkin menghindari berada di dekat orang-orang yang merokok, dan cobalah meyakinkan orang-orang di sekitar yang merokok untuk berhenti.
Rumah dapat masuk menjadi tempat terpenting untuk tetap bebas rokok, terutama jika di sana ada anak-anak. Menjauhkan anak-anak dan juga orang dewasa dari asap rokok dapat membantu menurunkan kemungkinan mereka terkena infeksi pernafasan, asma parah, kanker, dan banyak kondisi serius lainnya.
Mungkin, sulit untuk sepenuhnya menghindari asap rokok apalagi bila ada perokok di rumah. Saat seseorang masuk ke dalam ruangan, dia mungkin terpapar asap. Bahkan jika tidak ada seorang pun yang merokok di rumah baru-baru ini, atau merokok di ruangan lain di lantai yang berbeda, bahan kimia berbahaya dapat menyebar melalui ventilasi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa berada di dekat orang lain yang terpapar asap rokok di luar ruangan masih dapat membuat seseorang terpapar residu.
Untuk menurunkan risiko paparan, sebaiknya jangan merokok di dalam ruangan. Lalu, bersihkan permukaan secara menyeluruh demi membantu menurunkan jumlah bahan kimia dari asap rokok, apabila ada perokok di antara anggota keluarga yang tinggal serumah.
Mewaspadai si asap penyebab polusi terbesar di rumah tangga
Oleh Lia Wanadriani Santosa Kamis, 11 Januari 2024 22:38 WIB