Suasana tiba-tiba mencekam ketika salah seorang petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Barat meminta temannya mengeluarkan senjata api laras panjang, sembari meminta memasang magasin.
Petugas BKSDA Sumbar atas nama Ade Putra juga meminta temannya melepaskan tembakan ke udara.
"Bang lepaskan tembakan ke arah udara," pintanya, lalu terdengar suara letusan,"Dor, dor, dor.."
Wartawan ANTARA yang ikut dalam kegiatan itu sempat terkejut, apalagi lokasi tersebut berada di kawasan hutan di sekitaran jalur Kelok 44, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, yang terkenal dengan harimaunya.
Ditambah lagi di lokasi itu hanya ada dua orang petugas BKSDA Sumbar, sedangkan enam warga yang ikut saat melihat temuan bunga rafflesia jenis Arnoldii tersebut sudah meninggalkan lokasi terlebih dahulu.
Setelah kondisi aman, Ade Putra langsung mengajak keluar dari kawasan hutan itu ke arah permukiman dengan jarak sekitar lima kilometer.
Sekitar 500 meter perjalanan, Ade Putra baru menyampaikan bahwa ada satu individu harimau Sumatera atau Panthera Tigris Sumatrae di lokasi bunga Rafflesia dengan jarak sekitar 10 meter.
Baca juga: Seekor harimau sumatera yang terjerat di Pasaman tidak bisa terselamatkan
Tembakan senjata api yang diarahkan ke udara itu untuk menghalau satwa dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Ini merupakan pengalaman pertama saat liputan tentang konservasi dan langsung "bertemu" dengan harimau Sumatera.
Sebelumnya, hanya menerima data dari petugas BKSDA Sumbar terkait adanya laporan konflik manusia dengan satwa atau temuan bunga langka dan dilindungi, seperti bunga Rafflesia dan bunga Bangkai.
Semenjak itu, wartawan ANTARA rutin turun ke lapangan bersama BKSDA Sumbar terkait ada laporan temuan Bunga Rafflesia dari warga, mencari keberadaan sebaran Bunga Rafflesia di hutan lindung, hutan cagar alam, dan penanganan konflik manusia dengan satwa liar.
Dengan kejadian itu, sudah empat kali bertemu si raja rimba di kawasan hutan yang ada di Kabupaten Agam, semenjak 2018 sampai Juni 2023.
Pertemuan kedua, saat mencari sebaran Bunga Rafflesia di kawasan Cagar Alam Maninjau di Nagari Paninjauan, Kecamatan Tanjung Raya, pada 2018.
Sementara pertemuan ketiga saat penanganan konflik manusia dengan satwa jenis Harimau Sumatera di Kampuang Melayu, Kecamatan Lubuk Basung, pada awal 2020.
Untuk pertemuan keempat, liputan Bunga Rafflesia mekar sempurna di kawasan hutan penggunaan lain di Paninjauan, Kecamatan Tanjung Raya, pada 2021.
Baca juga: Menjaga habitat si raja rimba dari kepunahan
Suasana hening
Saat bertemu Harimau Sumatera di Kampuang Melayu, Kecamatan Lubuk Basung, suasana hening dan udara terasa hampa, karena posisi berada paling belakang.
Tidak ada satupun kumbang, burung maupun hewan lain berbunyi. Ini merupakan "tuah yang melegenda" dari si raja rimba, karena saat ia lewat semua satwa lainnya menjadi diam ketakutan.
Dengan suasana seperti itu, petugas BKSDA Sumbar langsung berhenti dan meminta anggota rombongan untuk berjalan di depannya.
Petugas menjelaskan sedang ada Inyiak Balang atau harimau di sekitar lokasi dengan jarak 10 meter. Mendapat keterangan itu, otomatis semua bergerak ke depan agar tidak jauh dari petugas lainnya, sehingga terhindar dari serangan satwa itu.
Dari pengalaman empat kali bertemu harimau, satwa itu tidak pernah menampakkan belangnya ke manusia, tidak menyerang manusia apabila tidak melakukan gerakan yang dapat memancing satwa harimau untuk mendekat atau satwa harimau itu sendiri tidak merasa terancam dengan keberadaan manusia di sekitarnya.
Ketakutan yang dialami oleh yang bukan petugas BKSDA itu wajar mengingat pernah ada peristiwa interaksi negatif harimau dengan manusia di beberapa daerah di Sumatera, atau bagaimana "si belang" mengikuti kendaraan seperti di Pasaman Barat dan Riau.
Apalagi satwa yang dijuluki si raja hutan ini merupakan predator puncak (top predator) di habitatnya, yang suara aumannya saja membuat lutut kita menjadi lemas.
Salah satu saran yang diberikan petugas BKSDA apabila masyarakat akan beraktivitas di dalam atau sekitar hutan, harus melebihi satu orang dan apabila berjumpa, tidak boleh lari atau membuat gerakan tiba-tiba, karena dikira sebagai mangsa dan memancing instingnya untuk mengejar/berburu.
Baca juga: Adat serta adab masyarakat adat dan habitat harimau Sumatera
Masyarakat harus menjaga habitatnya, sehingga konflik manusia dengan satwa tersebut tidak terjadi, karena harimau memiliki daya jelajah yang luas hingga 250-300 KM2 per individu untuk jantan dan 200-250 KM2 per individu untuk betina.
Harimau tersebut juga hidup soliter alias penyendiri dan sepasang-sepasang. Mereka hanya berkumpul di saat musim kawin tiba. Karena kemandiriannya, harimau terkenal kuat, buas, dan bisa mengatasi persoalan tanpa bantuan siapa pun.
Artinya, satu wilayah jelajah hanya dihuni satu pejantan dan tidak boleh ada pejantan lainnya, sehingga ketika harimau betina beranak, maka anaknya itu dibawa menjauh dari pejantan agar aman.
Dengan kondisi hutan sudah berkurang, maka Harimau Sumatera berada di pinggir hutan dan memangsa ternak warga sekitar.
Akibatnya, terjadi konflik antara manusia dengan satwa tersebut dan ini terjadi hampir setiap tahun. Harimau harus dijaga karena populasinya hanya ada sekitar ratusan individu di hutan sumatera.
Untuk menangani konflik itu, BKSDA Sumbar bersama Yayasan SINTAS Indonesia dan Centre for Orangutan Protection (COP) membentuk Tim Patroli Anak Nagari (PAGARI) di lokasi yang pernah terjadi konflik.
Pembentukan Tim PAGARI dimulai dari Tim PAGARI Baringin, Kabupaten Agam, pada 2021, disusul Tim PAGARI Sontang Cubadang, Kabupaten Pasaman, pada 2022.
Setelah itu, Tim PAGARI Batang Barus, Kabupaten Solok, pada 2022, Tim PAGARI Silareh Aia, Kabupaten Agam, pada 2022.
Disusul pembentukan Tim PAGARI Pasia Laweh, Kabupaten Agam, pada 2023 dan Tim PAGARI Panti Selatan, Kabupaten Pasaman, pada 2023.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Ardi Andono mengatakan pembentukan Tim PAGARI merupakan bagian program nagari ramah harimau yang digalakkan BKSDA Sumbar.
Kegiatan ini merupakan salah satu upaya mendorong pelibatan secara aktif masyarakat yang berdomisili di nagari rawan terjadinya konflik satwa harimau dalam kegiatan penanganan dan deteksi dini.
Diharapkan lewat program nagari ramah harimau dengan membentuk Tim PAGARI di enam nagari ini dapat mencegah potensi konflik dan bisa merespons laporan kejadian konflik secara cepat dan tepat.
Selain itu, melalui pelatihan dan pembentukan tim tersebut akan terwujud nagari ramah harimau, yang artinya dapat mandiri dalam penanganan konflik. Pada akhirnya, harimau Sumatera dan masyarakat dapat hidup berdampingan dan berbagi ruang dengan satwa di enam nagari tersebut dan sekitarnya.
Sampai 2023, Tim PAGARI telah terbentuk di Kabupaten Agam, Pasaman, dan Solok.
Selama ini, Tim PAGARI yang terbentuk itu sangat membantu BKSDA Sumbar dalam penanganan konflik di daerah mereka.
Bahkan, keberadaan Tim PAGARI itu juga dilibatkan saat adanya konflik di nagari tetangga.
Keterlibatan Tim PAGARI dalam penanganan konflik manusia dengan harimau ke daerah lain, seperti penanganan konflik di Pasia Laweh, Kecamatan Palupuh, pada akhir 2022, dengan melibatkan Tim PAGARI Salareh Aia dan Tim PAGARI Baringin sebelum Tim PAGARI di daerah tersebut terbentuk.
Setelah itu, penanganan konflik harimau di Nagari Nan Tujuh, Kecamatan Palupuh, dengan melibatkan Tim PAGARI Pasia Laweh pada Mai 2023 dan konflik di daerah lainnya.
Wali Nagari atau Kepala Desa Pasia Laweh, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Zul Arfin menyambut baik dan mengapresiasi BKSDA Sumbar dan SINTAS Indonesia yang telah membentuk PAGARI di Pasia Laweh.
Pagari ini bentuk swadaya masyarakat yang bergerak tidak saja pada penanganan konflik harimau Sumatera, tetapi juga satwa dilindungi lainnya, menjaga kawasan hutan dari penebangan dan lainnya.
Dengan adanya PAGARI, tim ini bakal melakukan penanganan konflik tersebut, karena Pasia Laweh berada di sekitar hutan dengan luas 7.000 hektare, sehingga berpotensi terjadinya konflik tersebut.
Tim PAGARI tersebut bakal berkembang di setiap jorong di nagari dan bisa sampai ke nagari tetangga.
Tim PAGARI tersebut dijadikan program percontohan dan Pemerintahan Nagari Pasia Laweh siap mendanai di Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari (APBN) tahun berikutnya, untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam dan flora/faunanya.
Keberadaan Tim PAGARI juga merupakan bukti hadirnya negara untuk memberi solusi di tengah masyarakat yang menghadapi persoalan, khususnya terkait relasi manusia dengan satwa buas.
Petugas BKSDA Sumbar atas nama Ade Putra juga meminta temannya melepaskan tembakan ke udara.
"Bang lepaskan tembakan ke arah udara," pintanya, lalu terdengar suara letusan,"Dor, dor, dor.."
Wartawan ANTARA yang ikut dalam kegiatan itu sempat terkejut, apalagi lokasi tersebut berada di kawasan hutan di sekitaran jalur Kelok 44, Kecamatan Matur, Kabupaten Agam, yang terkenal dengan harimaunya.
Ditambah lagi di lokasi itu hanya ada dua orang petugas BKSDA Sumbar, sedangkan enam warga yang ikut saat melihat temuan bunga rafflesia jenis Arnoldii tersebut sudah meninggalkan lokasi terlebih dahulu.
Setelah kondisi aman, Ade Putra langsung mengajak keluar dari kawasan hutan itu ke arah permukiman dengan jarak sekitar lima kilometer.
Sekitar 500 meter perjalanan, Ade Putra baru menyampaikan bahwa ada satu individu harimau Sumatera atau Panthera Tigris Sumatrae di lokasi bunga Rafflesia dengan jarak sekitar 10 meter.
Baca juga: Seekor harimau sumatera yang terjerat di Pasaman tidak bisa terselamatkan
Tembakan senjata api yang diarahkan ke udara itu untuk menghalau satwa dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Ini merupakan pengalaman pertama saat liputan tentang konservasi dan langsung "bertemu" dengan harimau Sumatera.
Sebelumnya, hanya menerima data dari petugas BKSDA Sumbar terkait adanya laporan konflik manusia dengan satwa atau temuan bunga langka dan dilindungi, seperti bunga Rafflesia dan bunga Bangkai.
Semenjak itu, wartawan ANTARA rutin turun ke lapangan bersama BKSDA Sumbar terkait ada laporan temuan Bunga Rafflesia dari warga, mencari keberadaan sebaran Bunga Rafflesia di hutan lindung, hutan cagar alam, dan penanganan konflik manusia dengan satwa liar.
Dengan kejadian itu, sudah empat kali bertemu si raja rimba di kawasan hutan yang ada di Kabupaten Agam, semenjak 2018 sampai Juni 2023.
Pertemuan kedua, saat mencari sebaran Bunga Rafflesia di kawasan Cagar Alam Maninjau di Nagari Paninjauan, Kecamatan Tanjung Raya, pada 2018.
Sementara pertemuan ketiga saat penanganan konflik manusia dengan satwa jenis Harimau Sumatera di Kampuang Melayu, Kecamatan Lubuk Basung, pada awal 2020.
Untuk pertemuan keempat, liputan Bunga Rafflesia mekar sempurna di kawasan hutan penggunaan lain di Paninjauan, Kecamatan Tanjung Raya, pada 2021.
Baca juga: Menjaga habitat si raja rimba dari kepunahan
Suasana hening
Saat bertemu Harimau Sumatera di Kampuang Melayu, Kecamatan Lubuk Basung, suasana hening dan udara terasa hampa, karena posisi berada paling belakang.
Tidak ada satupun kumbang, burung maupun hewan lain berbunyi. Ini merupakan "tuah yang melegenda" dari si raja rimba, karena saat ia lewat semua satwa lainnya menjadi diam ketakutan.
Dengan suasana seperti itu, petugas BKSDA Sumbar langsung berhenti dan meminta anggota rombongan untuk berjalan di depannya.
Petugas menjelaskan sedang ada Inyiak Balang atau harimau di sekitar lokasi dengan jarak 10 meter. Mendapat keterangan itu, otomatis semua bergerak ke depan agar tidak jauh dari petugas lainnya, sehingga terhindar dari serangan satwa itu.
Dari pengalaman empat kali bertemu harimau, satwa itu tidak pernah menampakkan belangnya ke manusia, tidak menyerang manusia apabila tidak melakukan gerakan yang dapat memancing satwa harimau untuk mendekat atau satwa harimau itu sendiri tidak merasa terancam dengan keberadaan manusia di sekitarnya.
Ketakutan yang dialami oleh yang bukan petugas BKSDA itu wajar mengingat pernah ada peristiwa interaksi negatif harimau dengan manusia di beberapa daerah di Sumatera, atau bagaimana "si belang" mengikuti kendaraan seperti di Pasaman Barat dan Riau.
Apalagi satwa yang dijuluki si raja hutan ini merupakan predator puncak (top predator) di habitatnya, yang suara aumannya saja membuat lutut kita menjadi lemas.
Salah satu saran yang diberikan petugas BKSDA apabila masyarakat akan beraktivitas di dalam atau sekitar hutan, harus melebihi satu orang dan apabila berjumpa, tidak boleh lari atau membuat gerakan tiba-tiba, karena dikira sebagai mangsa dan memancing instingnya untuk mengejar/berburu.
Baca juga: Adat serta adab masyarakat adat dan habitat harimau Sumatera
Masyarakat harus menjaga habitatnya, sehingga konflik manusia dengan satwa tersebut tidak terjadi, karena harimau memiliki daya jelajah yang luas hingga 250-300 KM2 per individu untuk jantan dan 200-250 KM2 per individu untuk betina.
Harimau tersebut juga hidup soliter alias penyendiri dan sepasang-sepasang. Mereka hanya berkumpul di saat musim kawin tiba. Karena kemandiriannya, harimau terkenal kuat, buas, dan bisa mengatasi persoalan tanpa bantuan siapa pun.
Artinya, satu wilayah jelajah hanya dihuni satu pejantan dan tidak boleh ada pejantan lainnya, sehingga ketika harimau betina beranak, maka anaknya itu dibawa menjauh dari pejantan agar aman.
Dengan kondisi hutan sudah berkurang, maka Harimau Sumatera berada di pinggir hutan dan memangsa ternak warga sekitar.
Akibatnya, terjadi konflik antara manusia dengan satwa tersebut dan ini terjadi hampir setiap tahun. Harimau harus dijaga karena populasinya hanya ada sekitar ratusan individu di hutan sumatera.
Untuk menangani konflik itu, BKSDA Sumbar bersama Yayasan SINTAS Indonesia dan Centre for Orangutan Protection (COP) membentuk Tim Patroli Anak Nagari (PAGARI) di lokasi yang pernah terjadi konflik.
Pembentukan Tim PAGARI dimulai dari Tim PAGARI Baringin, Kabupaten Agam, pada 2021, disusul Tim PAGARI Sontang Cubadang, Kabupaten Pasaman, pada 2022.
Setelah itu, Tim PAGARI Batang Barus, Kabupaten Solok, pada 2022, Tim PAGARI Silareh Aia, Kabupaten Agam, pada 2022.
Disusul pembentukan Tim PAGARI Pasia Laweh, Kabupaten Agam, pada 2023 dan Tim PAGARI Panti Selatan, Kabupaten Pasaman, pada 2023.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar Ardi Andono mengatakan pembentukan Tim PAGARI merupakan bagian program nagari ramah harimau yang digalakkan BKSDA Sumbar.
Kegiatan ini merupakan salah satu upaya mendorong pelibatan secara aktif masyarakat yang berdomisili di nagari rawan terjadinya konflik satwa harimau dalam kegiatan penanganan dan deteksi dini.
Diharapkan lewat program nagari ramah harimau dengan membentuk Tim PAGARI di enam nagari ini dapat mencegah potensi konflik dan bisa merespons laporan kejadian konflik secara cepat dan tepat.
Selain itu, melalui pelatihan dan pembentukan tim tersebut akan terwujud nagari ramah harimau, yang artinya dapat mandiri dalam penanganan konflik. Pada akhirnya, harimau Sumatera dan masyarakat dapat hidup berdampingan dan berbagi ruang dengan satwa di enam nagari tersebut dan sekitarnya.
Sampai 2023, Tim PAGARI telah terbentuk di Kabupaten Agam, Pasaman, dan Solok.
Selama ini, Tim PAGARI yang terbentuk itu sangat membantu BKSDA Sumbar dalam penanganan konflik di daerah mereka.
Bahkan, keberadaan Tim PAGARI itu juga dilibatkan saat adanya konflik di nagari tetangga.
Keterlibatan Tim PAGARI dalam penanganan konflik manusia dengan harimau ke daerah lain, seperti penanganan konflik di Pasia Laweh, Kecamatan Palupuh, pada akhir 2022, dengan melibatkan Tim PAGARI Salareh Aia dan Tim PAGARI Baringin sebelum Tim PAGARI di daerah tersebut terbentuk.
Setelah itu, penanganan konflik harimau di Nagari Nan Tujuh, Kecamatan Palupuh, dengan melibatkan Tim PAGARI Pasia Laweh pada Mai 2023 dan konflik di daerah lainnya.
Wali Nagari atau Kepala Desa Pasia Laweh, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Zul Arfin menyambut baik dan mengapresiasi BKSDA Sumbar dan SINTAS Indonesia yang telah membentuk PAGARI di Pasia Laweh.
Pagari ini bentuk swadaya masyarakat yang bergerak tidak saja pada penanganan konflik harimau Sumatera, tetapi juga satwa dilindungi lainnya, menjaga kawasan hutan dari penebangan dan lainnya.
Dengan adanya PAGARI, tim ini bakal melakukan penanganan konflik tersebut, karena Pasia Laweh berada di sekitar hutan dengan luas 7.000 hektare, sehingga berpotensi terjadinya konflik tersebut.
Tim PAGARI tersebut bakal berkembang di setiap jorong di nagari dan bisa sampai ke nagari tetangga.
Tim PAGARI tersebut dijadikan program percontohan dan Pemerintahan Nagari Pasia Laweh siap mendanai di Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari (APBN) tahun berikutnya, untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam dan flora/faunanya.
Keberadaan Tim PAGARI juga merupakan bukti hadirnya negara untuk memberi solusi di tengah masyarakat yang menghadapi persoalan, khususnya terkait relasi manusia dengan satwa buas.