Universitas Indonesia mengukuhkan dua Guru Besar Prof. Dr. drg. Ira Tanti, Sp.Pros., Subsp OGST(K) dan Prof. Dr. drg. Anggraini Margono, SpKG, Subsp KE(K) dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG).
"Perkembangan perawatan berbasis Regeneratif yang menandai dimulainya era baru konsep perawatan Endodontik," kata Prof. Dr. drg. Anggraini Margono dalam keterangannya, Senin.
Perawatan Endodontik merupakan perawatan bagian dalam gigi, yang sehari-hari dikenal sebagai perawatan saluran akar gigi atau zenuw behandelin. Istilah endodontik diambil dari bahasa Yunani, yakni endon berarti ‘dalam’ dan ho dontas yang berarti ‘gigi’.
Sedangkan istilah kata endodontium sama artinya dengan ‘pulpo dentinal organ’, yaitu lapisan dalam gigi yang terdiri dari sel-sel pulpa dan dentin.
Baca juga: Guru Besar FKUI: Perlu deteksi dini gejala dan tanda-tanda autisme anak
Baca juga: Guru Besar FKUI: Perlu deteksi dini gejala dan tanda-tanda autisme anak
Perawatan Regeneratif tidak sekadar menghilangkan gejala klinis, tetapi juga memperbaiki, menggantikan, serta meregenerasi kompleks dentin-pulpa yang hilang atau rusak akibat usia, karies, maupun trauma.
Konsep Regeneratif ini menjadi modalitas perawatan Minimal Invasif di bidang Endodontik dari upaya mempertahankan struktur jaringan keras gigi menuju kelangsungan hidup jangka panjang gigi (from tooth preservation to tooth survival).
Menurut Prof. Anggraini, masih banyak agenda riset dasar maupun aplikatif yang diperlukan agar prototype obat biologis dapat benar-benar bermanfaat bagi pasien. Di samping itu, upaya promotif dan preventif juga terus digalakkan untuk menekan jumlah karies yang dapat berlanjut ke tahap pulpitis irreversible, seperti yang tertuang dalam hasil Riskesdas tahun 2018, yang memerlukan perawatan endodontik kompleks serta berbiaya tinggi.
Baca juga: Empat guru besar dan doktor gigi UI raih gelar kepakaran dari PB PDGI
Baca juga: Empat guru besar dan doktor gigi UI raih gelar kepakaran dari PB PDGI
"Perjalanan panjang dan penuh tantangan harus dijalani sebagai bagian dari upaya menggiring hasil-hasil riset menuju hilirisasi dan komersialisasi produk ke arah industri melalui kerja sama yang melibatkan perguruan tinggi, industri, pemerintah dan masyarakat, serta peran media massa, sehingga dapat mendukung terciptanya ketahanan dan kemandirian di bidang kesehatan secara nasional," ujar Prof. Anggraini dalam pidato pengukuhannya.
Sedangkan Prof. Dr. drg. Ira Tanti, Sp.Pros., Subsp OGST(K) menyampaikan tentang gangguan sendi temporomandibular (GSTM) atau temporomandibular disorders (TMD). Ini merupakan sekumpulan gejala klinik yang melibatkan otot-otot pengunyahan, sendi temporomandibula, atau kedua-duanya.
Gejala yang dirasakan penderita biasanya lebih dari satu, yang dapat mengakibatkan disabilitas dan keterbatasan aktivitas akibat adanya nyeri serta gangguan fungsi, sehingga menyebabkan kualitas hidup pasien menurun.
Baca juga: Guru Besar UI: Definisikan kata budaya secara sederhana
“Pendekatan terapi yang diberikan pada penderita TMD sebagian besar hanya meringankan gejala yang ada dan tidak menyembuhkan penyakitnya. Dengan demikian, terapi yang diberikan kepada penderita kurang maksimal," katanya.
Sehingga kemungkinan terjadi rekurensi menjadi besar. Saat ini, semakin banyak pasien yang datang dengan berbagai keluhan TMD dan mencari pengobatan, jika tidak ditangani dengan tepat gangguan ini akan menjadi semakin parah yang akhirnya mengganggu kualitas hidup.
Ia menekankan bahwa penyebab gangguan sendi rahang kompleks dan multifaktorial, antara lain trauma, stres emosional, deep pain input, kebiasaan buruk dan aktivitas parafungsional, maloklusi, faktor hormon, dan faktor genetik.
Pada praktik sehari-hari, seringkali dijumpai pasien mempunyai kebiasaan buruk yang dilakukan tanpa disadari, seperti mengunyah satu sisi, menggeretakan gigi (clenching dan grinding), mengunyah permen karet yang berlebihan, postur tubuh yang salah dan kebiasaan buruk lainnya disertai faktor psikologis yang dapat menjadi faktor pemicu terjadinya gangguan sendi rahang.