Meninggalkan keluarga di rumah tentu bukan pilihan terbaik. Namun, berdiam diri di rumah tanpa menghasilkan sesuatu apa pun justru menjadi beban tersendiri.
Dengan begitu, falsafah hidup orang Jawa "mangan ora mangan, kumpul" (makan atau tidak makan, yang penting kumpul) perlahan memudar. Apalagi, kalau dilihat bahwa paling banyak kaum buruh migran berasal dari tanah Jawa.
Dahulu kala dianggap tabu bagi kaum perempuan meninggalkan rumah, apalagi kalau harus menyeberang ke negeri orang. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, pemahaman seperti itu terkikis karena kenyataan menunjukkan bahwa mayoritas pekerja migran adalah kaum hawa.
Bahkan, di Taiwan dari sekitar 240.000 jiwa tenaga kerja Indonesia, sekitar 70 persen adalah perempuan yang bekerja sebagai perawat orang tua jompo atau orang sakit. Sebagian besar dari mereka berasal dari Pulau Jawa yang dahulunya menganggap tabu perempuan ke luar rumah tanpa didampingi muhrim.
Kaum perempuan seperti itu bukan saja layak diapresiasi karena kemampuannya menghadapi impitan ekonomi keluarga, melainkan juga pahlawan bagi negara karena perjuangannya meraih devisa untuk membayar utang luar negeri.
Sayangnya, tidak semua memahami mulianya perjuangan kaum buruh migran, sekali pun mereka sendiri yang merasakan penderitaan mengais rezeki di negeri orang.
Fenomena beberapa tahun yang lalu saat para TKI yang bekerja di beberapa negara maju mengunggah video-video yang berisi tayangan tak mendidik menodai kesuksesan mereka.
Tayangan yang diambil secara mandiri (selfie) itu justru lebih banyak mempertontonkan hedonisme dengan merusak dan menghancurkan berbagai jenis benda yang dibelinya atas hasil memeras keringat.
Video yang terkenal dengan tag line "Rumangsamu" itu pun tayang berantai di media sosial. Para buruh migran saling membalas satu dengan lainnya dengan menggunakan media yang sama karena tidak mau kalah arogan dengan yang lain.
Belum lagi, tayangan lain di media sosial yang sama dengan mempertontonkan para suami pengangguran di kampung halaman yang hanya mengandalkan kiriman uang dari istri-istri mereka yang membanting tulang di negeri orang.
Bisa jadi fenomena itu muncul lantaran satu-satunya tujuan bekerja di luar negeri hanya untuk mendapatkan upah. Tidak peduli apakah upah itu menghasilkan hal positif atau tidak.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nusron Wahid dalam satu kesempatan di kantor sekretariat Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Taiwan di Taipei beberapa waktu lalu berujar, "Jadi, TKI di negeri orang itu bisa mengubah perilaku menjadi lebih baik atau lebih buruk."
Berperilaku baik atau buruk merupakan pilihan. Pilihan-pilihan tersebut pada akhirnya terbentuk oleh lingkungan sekitar. Tidak sedikit seseorang yang selama di kampung halamannya biasa-biasa saja, tetapi berubah menjadi pribadi yang luar biasa setelah berada di negeri orang.
Sebelum diberangkatkan ke negeri tujuan, para calon TKI hanya dibekali keterampilan. Beruntung di Taiwan banyak organisasi keagamaan yang turut membantu pembentukan karakter seorang TKI meskipun organisasi-organisasi tersebut bersifat nirlaba dan atas dasar suka rela.
Tak Terpengaruh Iming-Iming
Upah yang diterima TKI di Taiwan lebih baik daripada negara-negara lain, apalagi kalau dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Demikian pula, perekrutan, pemberangkatan, dan penempatan TKI di Taiwan juga lebih bagus dibandingkan dengan negara lain, sekalipun dengan Malaysia dan Arab Saudi.
Persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran hukum di Taiwan jauh lebih rendah daripada kedua negara yang juga menjadi tujuan favorit bagi kaum buruh migran asal Indonesia itu.
Belum lagi perbaikan regulasi di Taiwan yang makin lama makin berpihak kepada pekerja migran menjadi faktor pendorong yang tidak bisa dibendung seiring dengan makin banyaknya TKI yang mengajukan permohonan kerja ke Pulau Formosa itu.
Ditambah dengan wacana mengenai kebijakan pemerintah setempat yang bakal memberikan peluang bagi para TKI untuk tinggal lebih lama tanpa harus pulang ke Tanah Air dahulu untuk mengulang perekrutan pada majikan yang sama.
Lalu, apakah kemudahan-kemudahan seperti itu akan dimanfaatkan sepenuhnya oleh para TKI?
Tri Hidayati, TKI yang sudah 8 tahun bekerja sebagai perawat orang tua jompo di kawasan Yonghe, Kota Taipei, merupakan salah satu TKI yang mengaku tidak terpengaruh iming-iming pemerintah Taiwan itu.
Ibu dua anak tersebut lebih memilih untuk memutus kontrak periode ketiganya. Mestinya masih ada 1 tahun lagi kontrak kerjanya berakhir. Namun, dia memilih pulang demi keutuhan rumah tangganya di Desa Pucang Rejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah.
Bagi perempuan berusia 36 tahun itu, bekerja di negeri orang secara terus-menerus tidak menjamin ekonominya membaik, salah-salah keutuhan rumah tangganya terancam.
Agar bisa menopang kebutuhan hidup, dia mulai merintis usaha dengan modal berupa hasil jerih payahnya mengabdi kepada majikan di Ibu Kota Taiwan selama sewindu itu.
Berbekal pengalaman keterampilan kewirausahaan yang pernah diikutinya, baik yang atas fasilitas pemerintah Taiwan maupun pemerintah Indonesia, dia pun memberanikan diri untuk berwirausaha.
Hidayati sadar membuka usaha itu tidak gampang dan butuh kerja keras serta cermat dalam membaca peluang. Peluang usaha yang dikembangkannya itu sederhana karena hanya mengamati lingkungan sekitar.
Ia pun mencoba mengikuti jejak kakak kandungnya di Kota Salatiga, Jawa Tengah, yang berhasil dalam membuka usaha keripik sukun. Usaha yang dirintisnya itu tidak banyak memeras keringat karena dia hanya menggoreng keripik mentah yang dibeli dari kakaknya di Salatiga, mengemasnya, dan pedagang pun berdatangan ke rumahnya.
Awalnya, dia menjajakan barang dagangannya dengan sepeda motor. Setelah semua tahu, akhirnya para pedagang yang mengambil sendiri keripik sukun yang dijual seharga Rp1.000,00 per bungkus.
Dengan dukungan penuh sang suami, Supratman (43), usaha keripik Hidayati yang diberi label "Hasanah" pun sudah mulai berkembang walaupun baru seumur jagung. Nama Hasanah kami ambil dari nama majelis taklim "onair" di Taiwan, tempat dia berkecimpung menempa diri menjadi perempuan berperangai.
Demikian pula dengan Muksin. Pria berusia 49 tahun asal Desa Suradadi, Kabupaten Tegal, Jateng, yang sukses mendidik puluhan nelayan di Pelabuhan Donggang, Pingtung County, dengan ilmu-ilmu agama itu juga lebih mandiri setelah menanggalkan status TKI-nya sejak 6 tahun lalu.
Hasil kerja kerasnya di Taiwan dalam kurun waktu 2002 s.d. 2010 itu dianggap lebih dari cukup untuk membangun rumah dan membeli lapak di Pasar Suradadi serta untuk modal usaha.
Baginya, menjual buah-buahan di pasar jauh lebih menguntungkan dan lebih banyak waktu bersama keluarga. Berangkat pagi, siangnya sudah di rumah. Sore hingga malam dimanfaatkan untuk memberikan pengajian di masjid kampungnya.
BNP2TKI terus menodorng purna-TKI mengembangkan kemampuannya, terutama dalam berwirausaha secara mandiri agar tidak "kecanduan" bekerja di luar negeri.
Hingga 2015, jumlah purna-TKI yang berwirausaha di subsektor ketahanan pangan telah mencapai 1.939 orang, ekonomi kreatif (1.931), pariwisata (1.939), dan jasa (237), demikian data yang dihimpun BNP2TKI.
Lembaga tersebut juga memastikan penggunaan remitansi dari para TKI oleh anggota keluarganya benar-benar berkualitas untuk pembangunan ekonomi produktif dan bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. (Ant).
Mandiri Tidak Harus Selamanya Di Luar Negeri
Minggu, 4 September 2016 7:38 WIB
Falsafah hidup orang Jawa "mangan ora mangan, kumpul" (makan atau tidak makan, yang penting kumpul) perlahan memudar.