Peristiwa bom di kawasan pusat perbelanjaan Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1), yang masih terus diselidiki Polri dan Badan Intelijen Negara untuk diurai siapa otak di balik aksi terorisme itu menyisakan sebuah sorotan.
Sorotan itu tertuju pada peran pihak intelijen dengan segala perspektifnya.
Tulisan ini berangkat dari pernyataan miring kepada lembaga intelijen, individu intelijen, bahkan fungsi intelijen itu sendiri.
Muncul pertanyaan apakah intelijen kecolongan, sampai ada bom di siang bolong di jantung Ibu Kota Jakarta? Mari kita bahas bersama.
Sejak pilkada serentak, menjelang Natal dan malam Tahun Baru 2016 deteksi dini sebenarnya telah dilakukan.
Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator intelijen dibantu Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI, Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri sejatinya dalam beberapa peristiwa telah melakukan koordinasi dan berhasil mencegah berbagai serangan teror.
Adanya ancaman bom pada tanggal 14 Januari lalu juga telah diketahui Amerika Serikat (AS) dan Australia sehingga wajar jika Kedutaan Besar AS meminta warganya untuk menghindari jalan-jalan dan mal di "Ring 1" Jakarta.
Apakah informasi itu tidak dibagi kepada intelijen kita? Tentu iya telah diinformasikan.
Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi pascareformasi, sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang ada bahwa kewenangan intelijen kita tidak lagi seperti era Orde Baru yang "powerfull", yakni bisa menangkap setelah mengetahui informasi berbahaya.
Pascareformasi masyarakat terlalu sinis dengan yang berbau Orde Baru sehingga semua direformasi.
Namun, ada satu hal yang dilupakan bahwa intelijen adalah lembaga khusus, "secrecy" (rahasia), "early warning", kompartemen, dan hal-hal yang tidak bisa disamakan dengan yang lain.
Napas HAM
Napas intelijen hari ini lebih berbau hak asasi manusia (HAM), transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen yang nuansanya cenderung berat ke arah liberalisme.
itu liberalisme? Liberalisme adalah paradigma keamanan nasional yang menitikberatkan pada "humanity", individu. Dalam hal ini HAM, demokrasi, dan kebebasan menjadi nilai utama.
Ide ini muncul setelah revolusi Prancis. Lantas, bagaimana sebaiknya?.
Negara maju yang katanya menjunjung tinggi HAM justru sebaliknya membuat UU dan kelembagaannya dengan sangat realistis.
Paham realisme dengan titik berat negara, kekuasaan (power) ada di tangan "state" (negara). Jadi, apa pun yang mengancam kepentingan nasional bisa dilakukan sekalipun menghalalkan segala cara, yang penting negaranya aman.
Cerdik bukan? Mereka menggunakan realisme, tetapi paham liberalisme yang dilempar ke negara lain.
Itulah kenapa regulasi intelijen kita tidak bisa sehebat Badan Keamanan Nasional (National Security Agency/NSA) AS dan lainnya.
Pembuat kebijakan dan legislasi (baca: DPR) harus bersama-sama pemerintah merefleksikan berbagai aturan yang ada sehingga jangan sampai kita dilemahkan oleh peraturan kita sendiri atau dikenal sebagai "legal warfare".
Sekali lagi mari kita pahami bahwa intelijen kita hari ini baru mahir dalam hal "deteksi dini". Namun, terbatas untuk "cegah dini" karena undang-undang dan napas tersebut yang membatasi.
Paradigma "favorite" setelah reformasi adalah "law enforcment" atau penegakan hukum, dan bukan peringatan dini (early warning) sehingga ketika terjadi baku tembak seperti di Sarinah lalu, siapa yang pasang badan?.
Polisi, TNI, dan bahkan aparat intelijen yang harusnya tidak muncul ikut turun. Tidak ada ormas atau LSM yang berteriak HAM yang muncul saat itu.
Cerdas Bersama
Oleh karena itu, mari cerdas bersama membela negara dengan porsinya masing-masing. Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, masyarakat jangan ikut latah membuat hashtag #prayforindonesia atau #prayforjakarta agar tidak memengaruhi sistem yang lebih besar.
Pasalnya, "trending topic" di "Twitter" juga diukur oleh pengamat asing yang akan berinvestasi.
Kedua, walau masyarakat Indonesia mempunyai karakter unik dan nyali yang cukup besar, sebaiknya setop dengan pemberitaan "Kami Tidak Takut".
Argumentasinya, hal ini seperti menantang kelompok teroris seperti ISIS yang memindahkan arena bermainnya dari Timur Tengah ke Tanah Air.
Cukup sampai hari ini berita-berita tersebut. Fokuskan pada pemberitaan lain, yang lebih produktif bagi bangsa ini. Pasalnya, jika diteruskan, mereka akan makin besar pemberitaannya.
Ketiga, UU mengenai terorisme harus direvisi. Terorisme bukan hanya "tindak pidana", melainkan "transnational crime".
Bukan hanya milik polisi, melainkan ketahanan dan kedaulatan nasional dipertaruhkan sehingga ada lini milik intelijen, Kemenpolhukam, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), TNI, dan lainnya yang harus dibenahi koordinasinya sehingga tidak seperti pemadam kebakaran.
Keempat, kewenangan intelijen harus ditambah dalam titik tertentu. Undang-Undang Intelijen harus diimplementasikan atau direvisi.
Hal yang terpenting adalah dibuat aturan turunannya dalam hal ini peraturan pemerintah (PP), kemudian fusi intelijen harus dijalankan.
Fusi artinya penggabungan dan sinkronisasi, tidak ada target yang sama, pembagian tugas yang jelas dan "sharing information" kepada yang membutuhkan.
Tidak ada lagi egosektoral, lembaga satu merasa lebih hebat daripada lembaga lain, semua bersatu padu.
Kelima, pembuat kebijakan dalam hal ini DPR juga semua pemangku kepentingan, kementerian sudah waktunya mengedepankan "intelligent minded".
Hal ini dibutuhkan karena spektrum ancaman ke depan sudah "Asymetric", "Proxy", dan "Hybrid". Bentuk peperangan sudah berevolusi, yakni ada perubahan bentuk dan gaya baru.
Kita pun harus berevolusi mempunyai berbagai alternatif dan gaya baru. Jangan sampai substansi UU dan peraturan yang dibuat justru melemahkan kita sendiri.
Dengan demikian, maka diperlukan pengawasan, saling mengingatkan dan saling memotivasi. (Ant).
*) Penulis adalah Sekjen Lembaga Penelitian dan Kajian Masalah Keamanan Nasional Democracy-Integrity and Peace (DIP) Centre, pengajar Sekolah Manajemen Analisis Intelijen (SMAI).
Memperkuat Peran Intelijen
Senin, 18 Januari 2016 20:35 WIB
Kita pun harus berevolusi mempunyai berbagai alternatif dan gaya baru. Jangan sampai substansi UU dan peraturan yang dibuat justru melemahkan kita sendiri.