Bogor (Antaranews Bogor) - Wakil Menteri Pertanian RI, Rusman Heriawan mengatakan, kelapa sawit menjadi salah satu produk perkebunan yang dapat membantu sektor pertanian dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

"Kenapa kelapa sawit, pertama karena kontribusi kelapa sawit yang terbesar baik dalam kontek pengguna dan jumlah perkebunan, selain itu luas areal perkebunan sawit yang lebih besar dari lahan pertanian padi," ujar Wamentan dalam acara sosialisasi dampak pemanasan global dan workshop Kelapa Sawit ramah lingkungan dan berkelanjutan di Hotel Salak Kota Bogor, Kamis.

Wamentan mengatakan, dalam konteks pemanasan global dan perubahan iklim, sektor pertanian mempunyai posisi penting dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

Sebagaimana tertuang pada Perpres nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), Kementerian Pertanian mendapat tugas untuk dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton ekuivalen pada tahun 2020 dengan dana sendiri atau 11 juta ton apabila mendapat bantuan luar negeri.

Disamping itu, lanjut Wamentan, sektor Pertanian menjadi tumpuan utama dalam penyediaan pangan bagi 245 juta penduduk Indonesia.

Menjadi penyedia bahan baku industri, serta penyumbang 10,7 persen PDB dengan nilai devisi sekitar US$ 16,7 miliar.

"Selain itu, sektor pertanian menyerap sekitar 39,9 persen tenaga kerja dan menjadi sumber utama pendapatan dari sekitar 70 persen rumah tangga pedesaan," kata Wamentan.

Wamentan melanjut, perubahan iklim dan pertanian mempunyai keterkaitan yang multidimensi. Pada satu sisi, pertanian terutama tanaman pangan paling rentan sehingga menjadi korban dari perubahan iklim.

Pada sisi lain, pertanian juga ikut berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca melalui berbagai praktek dan kegiatan produksi pertanian, baik dari lahan sawah, penggunaan pupuk organik yang tidak efisien, ternak serta pemanfaatan lahan gambut.

"Tetapi sektor pertanian memiliki potensi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui fotosintensis tanaman. Bahkan melalui peran multifungsinya, berkontribusi secara ekologi terhadap kualitas lahan, hidrologi dan lingkungan hidup," ujar Wamentan.

Menurut Wamentan, bertitik tolak dari peran strategis serta posisi unik pertanian terhadap perubahan iklim, maka kebijakan umum sektor pertanian menghadapi perubahan iklim adalah melalui aksi adaptasi.

Aksi adaptasi yang dimaksud, sebagai upaya penyelamatan dan pengamanan kelestarian dan kemantapan ketahanan pangan diposisikan sebagai prioritas utama dan pertama dalam menghadapi perubahan iklim.

Sesuai dengan Perpres nomor 61 tahun 2011, mitigasi dipandang sebagai tangung jawab dan kewajiban yang dilaksanakan dalam kerangka pengelolaan pertanian berkelanjutan yang ramah lingkungan.

"Aksi adaptasi dan mitigasi yang dilaksanakan selalu memperhatikan pencapaian sasaran pembangunan pertanian, terutama empat sukses pembangunan pertanian," ujar Wamentan.

Wamentan menambahkan, sasaran ideal pembangunan pertanian berkelanjutan adalah produksi tinggi, efisien dan memberikan nilai tambah diikuti dengan emisi gas rumah kaca yang rendah untuk meredam laju perubahan iklim, bersih serta ramah lingkungan.

Dalam mendukung komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada tahun 2020, dan tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang RAN-GRK, sektor pertanian khususnya lahan sawah, peternakan dan pemupukan organik diharapkan berkontribusi dalam penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 8 juta ton karbondioksida ekivalen menjelang 2020 dari upaya sendiri dan sebesar 11 juta ton ekivalen apabila mendapat bantuan dari luar negeri.

Dari target penurunan emisi 8,0 juta ton, maka target Kementerian Pertanian dengan teknolgi mitigasi SLPTT, varietas rendah emisi, UPPO dan Batamas sudah melampaui target tersebut yaitu, 11,0 jta ton di tahun 2010.

"Di tahun 2011 sebesar 12,1 juta ton, dan 12,3 juta ton di tahun 2012," ujar Wamentan.

Pencapaian ini, lanjut Wamentan, telah melampaui target penurunan emisi 11 juta ton (dengan dana bantuan luar negeri).

Wamentan kembali menambahkan, dalam Perpres 61 tahun 2011 menyebutkan pertanian dalam arti laus diharapkan mampu menurunkan emisi dalam jumlah jauh lebih besar dari target penurunanya.

"Sebagai contoh, pengembangan perkebunan kelapa sawit, karet dan kakao pada lahan terdegradasi, semak belukar, dan terlantar diharapkan dapat menurunkan emisi sekitar 82 juta ton menjelang 2020," ujar Wamentan.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014