Meski bukan hal baru, temuan Bulog tentang adanya mafia beras patut mendapat apresiasi. Sebab sudah sejak lama dugaan penyelewengan ini berlangsung. Namun yang ditangkap biasanya hanya pada level pengecer atau pedagang kecil. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) menyebutkan mafia penyalur beras program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dapat meraup keuntungan hingga Rp 9 miliar per bulan. Ada beberapa modus yang dilakukan, yang melibatkan berbagai pihak.

Modus pertama, mengoplos atau mengganti beras premium menjadi beras medium. Kedua, menyunat beras penerima BPNT yang harusnya 10 Kg menjadi 7 Kg. Ketiga, menukar beras Bulog dengan beras lain yang kualitasnya lebih rendah ke dalam kantung bermerek Bulog. Sebagai contoh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) BPNT di Desa Pajanagger, Kecamatan Arjasa, Pulau Kangean, Jatim, masyarakat menerima beras diduga mengandung bahan yang membuat beras tersebut ketika dimasak menjadi kenyal. Hal itu dibenarkan oleh Suharwi (Kepala Desa Pajenangger), beras yang diterima warganya diduga palsu. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, Kepala Bulog Sub Divre Merauke, Djabiruddin, mengatakan sudah ada temuan karung beras berisi 10 kg dengan kemasan berlogo Bulog dan beras didalamnya memiliki kualitas yang lebih rendah. Karung berlogo Bulog ternyata diperjualbelikan secara bebas di situs online dengan harga Rp 1.000 per kantung. Jadi ada pihak lain yang memanfaatkannya, seolah yang mereka jual merupakan produk Bulog.

Berbagai Permasalahan terkait Bulog seperti penyelewengan anggaran Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) juga patut menjadi perhatian pemerintah. Hampir Rp 5 triliun yang dikorupsi atau sekitar sekitar 25 persen dari total uang yang dianggarkan pemerintah, sebesar Rp 20,1 triliun untuk tahun 2019. Jadi hampir sepertiga dari dana tersebut yang diselewengkan. Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai Jika hal tersebut terus dibiarkan, Perum Bulog berpotensi bangkrut bila tidak diberikan kepastian penyaluran beras. Bulog membutuhkan solusi segera agar bisa menyalurkan berasnya ke pasar. Kebijakan beras Bulog perlu terintegrasi dari hulu hingga hilir. Saat ini, Bulog tengah kesulitan menyalurkan beras lantaran ada perubahan kebijakan dari beras sejahtera (rastra) atau yang dikenal sebagai beras miskin (raskin) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Dalam program BPNT, bantuan pangan diterima dalam bentuk non tunai yang diberikan kepada keluarga penerima manfaat (KPM). Sehingga stok beras yang ada berpotensi dibuang maupun dilelang dengan harga dibawah pasar karena beras Bulog di gudang akan mengalami penurunan mutu jika terlalu lama disimpan. Sejak 13 Desember 2019, Bulog telah resmi melelang 20.367 ton cadangan beras pemerintah (CBP) yang turun mutu kepada PT Zona Eksekutif Linier, dengan harga dasar Rp 23,75 miliar atau dengan harga Rp 1.165/kg, padahal Bulog membayar Rp 8.100/kg ketika menyerap beras tersebut.

Oleh karena itu, Bulog perlu menghimbau para pedagang untuk tidak lagi menggunakan karung berlogo Bulog untuk kebutuhan jual beli beras, serta diperlukan pemangkasan distribusi komoditas bahan pokok guna memutus mata rantai mafia pangan. Bulog juga perlu bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk mengawasi PT Zona Eksekutif Linier selaku pemenang lelang dalam mengolah beras. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi adanya penyalahgunaan beras untuk konsumsi baik pangan maupun pakan.  (36/*).

*) Penulis adalah pengamat kejahatan ekonomi.

Pewarta: Oleh: TW Deora *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020