Bogor (Antara Megapolitan) - Ikan fillet merupakan daging ikan yang dipotong maupun yang dilepaskan dari tulangnya. Ikan ini banyak diolah menjadi makanan khas negeri sakura atau Jepang seperti sushi ataupun sashimi.

Tidak hanya digemari di Jepang saja, produk olahan ikan ini pun cukup digemari di Indonesia terutama anak-anak muda.

Tidak mengherankan jika kini tempat makan ala Jepang telah menjamur di Indonesia terutama di kota-kota besar seperti Jakarta.

Beberapa peneliti di Institut Pertanian Bogor (IPB) yang terdiri dari Ruddy Suwandi, Agoes Mardiono Jacoeb dan Maya Sofia membuat sebuah penelitian yang berjudul
"Aplikasi Gelombang Ultrasonik sebagai Alternatif untuk Mempertahankan Kesegaran Fillet Ikan Nila".

"Industri pangan terutama di bidang perikanan membutuhkan teknologi yang mudah dan efisien untuk diaplikasikan dalam penggunaanya, contohnya fillet ikan. Sifat dari fillet ikan ini ialah mudah mengalami kemunduran mutu, sehingga membutuhkan teknologi alternatif yang dapat membantu mempertahankan kesegaran produk. Sehingga terbentuklah teknologi gelombang ultrasonik ini," Ujar Ruddy Suwandi.

Para peneliti yang berasal dari departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) ini menggunakan ikan nila (Oreichromis niloticus) berukuran 200-250 gram per ekor. Alat yang digunakan adalah osiloskop (Model GOS-622G, 20Mhz) dan Funtion Generator (Model BK Precision 4011A, 5 MHz) untuk melakukan sonikasi gelombang ultrasonik.

Beberapa tahapan pengujian dilakukan setelah pembuatan fillet yaitu pengujian parameter kesegaran ikan (organoleptik, pH, TVB, TPC), analisis penyimapanan dan uji histologi dimana sonikasi dilakukan selama 6,9 dan 12 menit.

Hasil organoleptik menunjukkan bahwa penampilan ikan hasil sonikasi mengalami penurunan pada jam ke 4 dan 5.

Daging menjadi putih agak kehijauan dan kurang cemerlang serta diiringi dengan bau tidak sedap (sedikit bau amoniak dan ada bau tambahan) dan teksturnya yang kurang elastis. Penurunan mutu ini dapat disebabkan oleh hancurnya protein oleh aktivitas mikroba.

Derajat keasaaman atau pH dari ikan yang tidak memperoleh gelombang ultrasonik menjadi lebih rendah nilainya atau lebih asam bila dibandingkan dengan ikan yang memperoleh sonikasi. Lalu untuk nilai Total Volatile Base (TVB)  tidak begitu terlihat berbeda antara keduanya.

Hasil pengujian Total Plate Count  pada hasil sonikasi menunjukan nilai yang berbeda bila dibandingkan dengan yang tidak.

Ini menunjukkan adanya perbedaan jumlah mikroba. Terutama jumlah mikroba pada ikan tanpa sonikasi.

Hasil histologi yaitu kenampakan struktur jaringan daging menunjukkan bahwa ikan tanpa sonikasi memiliki struktur yang lebih kompak bila dibandingkan dengan yang diberikan. Hal itu disebabkan sonikasi dapat mempengaruhi struktur daging menjadi lebih berair.

"Gelombang ultrasonik cukup efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Akan tetapi bila berada pada lingkungan dan suhu yang cocok untuk berkembang biak, maka mikroba dapat tumbuh secara maksimal juga," tambahnya. (GG/Zul)

Pewarta: Jurnalis IPB

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017