Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto, Ph.D mengatakan ada dampak positif dan negatif dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah.

"Dampak positifnya adalah sistem keuangan negara akan lebih baik dan berkelanjutan; mendorong masyarakat untuk lebih berhemat dalam mengonsumsi BBM; serta mengurangi polusi udara sebagai upaya menjaga lingkungan yang lebih sehat," kata Teguh Dartanto di kampus UI Depok, Senin.

Selain itu, kenaikan BBM juga dapat mendorong lahirnya industri-industri yang ramah lingkungan dan sektor Energi Baru Terbarukan (EBT).

Sedangkan dampak negatif dari kenaikan BBM adalah adanya kenaikan harga sehingga daya beli masyarakat menurun. Menurut Teguh, dengan adanya kenaikan BBM, angka inflasi pasti meningkat namun yang perlu dilakukan adalah bagaimana membuat angka inflasi tidak berlebihan atau dapat terkendali.

Baca juga: Dekan FEB UI sebut pemberian kompensasi untuk antisipasi inflasi tinggi

Menurut Teguh, adanya konflik Rusia-Ukraina mengakibatkan harga minyak dunia naik cukup drastis, yaitu sekitar 100 dolar AS per barel. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya pasokan minyak dari Rusia, sehingga harga minyak dunia semakin naik.

Indonesia yang saat ini merupakan net importer minyak, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, harus membeli minyak dari luar negeri seharga minyak dunia, kemudian menjualnya dengan harga rupiah yang ditetapkan pemerintah.

Harga jual BBM yang ditetapkan pemerintah ternyata lebih rendah dibandingkan harga beli yang ditetapkan dunia. Hal ini membuat negara harus mengalokasikan anggaran untuk menyubsidi kebutuhan BBM dan menanggung selisih harga tersebut. Subsidi yang diberikan pemerintah untuk BBM cukup besar.

Selama kurun waktu lima tahun, pemerintah mengeluarkan anggaran hampir Rp1.300 triliun untuk subsidi. Pada 2020, subsidi energi yang dikeluarkan pemerintah sekitar Rp209 triliun dan kompensasi lainnya sebesar Rp293 triliun. Artinya, total subsidi energi dan kompensasinya yang ditanggung pemerintah pada tahun itu adalah Rp502 triliun.

Baca juga: FEB UI gelar gerakan sosial Santriprenuer Educamp

Namun subsidi BBM justru dinikmati kalangan menengah ke atas. Pemakai Pertalite dan Pertamax adalah mereka yang memiliki kendaraan. Mobil dimiliki oleh golongan menengah ke atas, sedangkan motor dimiliki oleh golongan menengah ke bawah.

Hal ini menyalahi konsep atau ide subsidi karena negara seharusnya menanggung subsidi bagi kelompok miskin. Oleh karena itu, subdisi yang ada saat ini kurang tepat sasaran.

Pemerintah pun mengubah sistem subdisi ini dari barang ke orang. Subdisi yang awalnya diberikan ke BBM dialihkan ke bantuan langsung dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Indonesia Pintar.

Selain itu, pemerintah menaikkan harga BBM karena sebagian Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dibiayai utang negara. Penggunaan utang negara untuk pemborosan konsumsi energi tentu bukanlah hal yang bijak.

Baca juga: FEB UI berkolaborasi bahas upaya penanganan kemiskinan global

Oleh sebab itu, upaya ini dilakukan untuk menjaga angka defisit agar berada di bawah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) demi keberlanjutan keuangan negara yang lebih sehat.

Teguh melihat ada tiga sektor utama yang terdampak dari kenaikan BBM, yaitu transportasi, makanan dan minuman, serta Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pada industri besar, kebutuhan BBM telah menyesuaikan harga dunia sehingga kenaikan harga tidak begitu berdampak.

Sementara itu, pada UMKM, seluruh proses mengandalkan subsidi BBM, sehingga kenaikan BBM akan berdampak pada unit transportasi, logistik, makanan dan minuman, serta manufaktur dan produksi.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022