Rangkaian prosesi pelantikan Presiden Joko Widodo telah menjadi
catatan sendiri di negeri ini. Melalui pemberitaan di media televisi
kita telah menyaksikan banyak rakyat negeri ini mengekspresikan
eforia kegembiraannya dengan berbagai cara, baik di Jakarta maupun
di daerah-daerah.

Demikian pula telah kita saksikan bagaimana ekspresifnya sikap
Presiden Jokowi dalam memberi salam kepada rakyat pendukungnya
dengan melakukan "vitory lap" di atas panggung musik di Lapangan
Monas pada 20 Oktober malam.

Semua itu tentu bisa menjadi indikator dukungan moral masyarakat
terhadap Jokowi sebagai "a new hope President".

Terlepas dari apa maksud sesungguhnya dari Majalah "Time" dalam
memberi tajuk halaman muka majalahnya dengan jargon "a new hope"
tersebut, maka sebagai rakyat Indonesia tentunya jargon itu harus
kita jaga bersama agar bisa seutuhnya menjadi positif bagi bangsa
ini.

Agar "a new hope" tersebut bisa berarti secara positif bagi
bangsa kita, maka struktur dan susunan anggota kabinet yang akan
dibentuk tentu menjadi menarik untuk didiskusikan.

Terlepas dari pro dan kontra masyarakat atas proses konsultasi
kepada KPK yang dilakukan Presiden Jokowi dalam proses menyeleksi
calon menteri yang akan ditunjuknya, maka pilihan langkah untuk
berkonsultasi tersebut setidaknya dapat kita maknai sebagai sikap
kesungguhan Presiden Jokowi untuk benar-benar mewujudkan suatu
anggota kabinet yang siap dan bisa untuk segera
"bekerja....bekerja....dan bekerja..!!", sebagaimana ia tekankan
dalam pidato kenegaraan pertamanya saat prosesi pelantikan
presiden.

Dalam bahasa sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa Presiden
Jokowi ingin mendapatkan "the right man on the right place"
secara berkelanjutan, tanpa ada "gangguan" menjadi tersangka
potensial atas suatu kasus hukum.

Di satu sisi hal tersebut tentunya harus kita hargai, namun di
sisi lain barangkali masih ada satu pertanyaan tersisa yang harus
dijawab, yaitu apakah struktur kabinet yang sudah direncanakan
tersebut -- seperti yang sudah diberitakan pada berbagai media --
sudah menjadi pilihan terbaik bagi bangsa kita dalam
"mengharapkan" dan "menagih" janji-janji President Jokowi selama
masa kampanyenya.


    Dinamika Struktur dan Susunan Kabinet

Setelah Kabinet Seratus Menteri pada masa Orde Lama, maka barangkali
dapat kita katakan bahwa struktur dan susunan kabinet pemerintahan di
negara kita selama ini nampaknya tergolong monoton dan "old fashion",
yaitu hanya terpaku pada pola "analitical organisation approach" yang
diwujudkan dalam bentuk kementerian yang bersifat sektoral.

Walaupun pada beberapa masa pemerintahan presiden-presiden yang
telah lalu kita semua telah mencatat pula adanya dua hingga tiga
kali pembentukan struktur kabinet dengan pola "pragmatism
organization approach" -- yaitu melalui penggantian nomenklatur
struktur kabinet -- namun ternyata hanya bersifat tambal sulam.

Demikian pula halnya dengan pola penentuan susunan anggota
kabinet, selama ini kita hanya menyaksikan "peperangan" antara
"hak prerogatif presiden" melawan "hasrat partai politik" dalam
memperebutkan kursi jabatan menteri.

Mulai dari dinamika "one man show" di zaman Orde Baru hingga
berbagai pola "dagang sapi" pada masa Orde Reformasi ini.

Meskipun pola "one man show" pada masa Orde Baru dikritik banyak
pihak, namun kita semua telah menyaksikan terciptanya kabinet
yang loyal, sedangkan pola "dagang sapi" yang disukai panyak
pihak ternyata kita saksikan hanya melahirkan berbagai dinamika
"pengkhianatan".

Meskipun pada masa kampanye kelompok KIH (Koalisi Indonesia
Hebat) terlihat begitu yakin dalam mengartikulasikan jargon
"koalisi tanpa syarat", namun kenyataannya saat ini kita
menyaksikan bahwa ternyata Presiden Jokowi tidak bisa konsisten
untuk memenuhi janji kampanyenya itu dalam menentukan susunan
anggota kabinetnya.

Hingga saat ini kita masih belum mengetahui apa nama yang akan
dipilih oleh Presiden Jokowi untuk kabinet pemerintahannya;
apakah "Kabinet Indonesia Hebat" seperti nama kelompok
koalisinya, ataukah "Kabinet Kerja" seperti yang beliau
isyaratkan dalam pidato kenegaraannya.

Jika kondisi ketidakjelasan itu kita kaitkan dengan kepentingan
bangsa kita dalam lima tahun ke depan, maka apakah kesalahan
pemaknaan pameo "apalah artinya sebuah nama" juga akan kita
biarkan saja berpotensi terjadi dalam masa pemerintahan Jokowi?

Sebagai anak negeri, barangkali akan banyak di antara kita yang
mengatakan "Tidak dan jangan biarkan!!", karena frase "apalah artinya
sebuah nama" yang ditulis Shakespeare dalam Drama Romeo and Juliet
(Babak II) yang sangat mendunia tersebut sesungguhnya adalah malah
menyuruh pembacanya mau berfikir dan merasakan secara serius hakikat
sebuah nama.


     Hakikat Organisasi

Untuk mengetahui hakikat organisasi, maka barangkali kita perlu
membuka kembali berbagai buku pelajaran mengenai teori organisasi,
mulai dari "formal organization" hingga "non formal organization"
ataupun "private organisation" hingga "governmental organization".

Di antara sekian banyak teori yang sudah ada, untuk kebutuhan
bangsa kita saat ini, barangkali tidak ada salahnya jika kita mau
sedikit bersusah payah untuk mencoba menarik dan merangkai benang
merah dari Mancintyre Theory, Neo-Aristotelianisme Theory,
Habermas Theory hingga Hemeneutic Theory dan Phenomenology Theory
serta Fractal Theory.

Jika berbagai teori organisasi tersebut kita renungkan, mulai
dari yang bersifat "klasik" hingga yang bersifat "post-modern",
maka barangkali kita akan sama-sama setuju bahwa ternyata semua
teori tersebut memperkuat kebenaran Filosofi Islam,yaitu:
bagaimana zat begitulah sifat, bagaimana sifat begitulah jiwa,
sedangkan bagaimana jiwa begitulah fungsi serta tugas dan
tanggung jawab.

Kaum Sufi mengisyaratkan bahwa di jagad raya ini kemampuan
penciptaan yang bersifat deduktif tersebut hanya dimiliki oleh
Allah SWT Sang Maha Pencipta.

Dengan kata lain, secara filosofis langkah yang harus diambil manusia
(sebagai makhluk) dalam menentukan bentuk/stuktur suatu organisasi
(sebagai suatu "zat") adalah harus melalui pemikiran induktif, yaitu
dengan terlebih dahulu memetakan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang
harus diemban, kemudian menetapkan intensitas kinerja (sebagai suatu
"jiwa") yang harus dihasilkan dan kemudian membuat aturan tata kelola
(sebagai suatu "sifat") yang harus dijalankan.


    Kebutuhan Organisasi Kabinet Jokowi

Jika hakikat organisasi tersebut di atas kita kaitkan dengan kebutuhan
struktur Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, maka tentunya
kebutuhan bentuk organisasi struktur kabinet tersebut semestinya
bukanlah didasarkan pada berbagai "kompromi" yang diperlukan untuk
memuluskan masa pemerintahannya, melainkan hendaknya ditentukan atas
dasar besaran tugas dan tanggung jawab yang harus diembannya untuk
memakmurkan bangsa kita ini dalam lima tahun ke depan.

Tentunya demikian juga halnya dengan kewajiban beliau untuk memenuhi
dan mewujudkan berbagai janji-janji beliau selama masa kampanye silam.

Di antara sekian banyak tanggung jawab pembangunan bangsa yang
ada selama ini, maka barangkali tidak akan terlalu salah jika
kita cuatkan isu sangat perlunya pemerataan pembangunan nasional
pada segala bidang dan pada semua wilayah yang ada dalam republik
tercinta ini.

Dengan menjadikan pemerataan pembangunan di semua wilayah sebagai
isu utama untuk tugas kabinet Presiden Jokowi dalam lima tahun
mendatang, maka mari kita renungkan apakah struktur kabinet yang
telah dihasilkan Rumah Transisi yang dipimpin Rini Soewandi akan
mampu menjawabnya?

Barangkali sebagian di antara kita akan mengatakan "iya", namun
barangkali juga sebagian besar di antara kita akan mengatakan "jauh
anggang dari api".

Struktur kabinet yang dihasilkan Rini bukan saja sangat terasa
masih tergolong "tambal sulam" dan tidak memberikan sesuatu yang
bersifat subtantif, melainkan juga menjadi terlihat sangat "make
no sense" sama sekali, sejalan dengan munculnya "tugas
kebudayaan"pada dua kementerian berbeda, serta "dihancurkannya"
hakikat pendidikan melalui rencana pemisahan tugas pendidikan
tinggi dari kementerian pendidikan dasar dan menengah dengan
Ristek.

Tidaklah salah ketika kita mengharapkan lulusan perguruan tinggi
kita dapat diserap pasar tenaga kerja secara optimal, sehingga
kita perlu memasukan pemikiran "link and match" dalam mendesain
proses pendidikan tinggi kita.

Namun demikian, barangkali perlu kita hayati benar bahwa
perguruan tinggi adalah bukan ibarat "pasar induk" untuk mengemas
tenaga kerja bagi suatu bangsa, melainkan adalah "kawah
candradimuka" untuk melahirkan para pemimpin bangsa.

Dalam kompetisi global saat ini, kita juga perlu sangat
berhati-hati dalam menjaga kekuatan politik pendidikan tinggi
yang pasti dijalankan oleh setiap bangsa dan negara di dunia ini.

Perguruan tinggi mestinya dipetakan sebagai institusi untuk
melahirkan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan
menjadi kekuatan strategis bangsa dan negara; sedangkan institusi
riset dan teknologi (baca Kementerian Ristek) adalah bertugas
untuk merancang dan mengemas pasokan produk ilmu pengetahuan ke
pasar global untuk kepentingan nasional.

Dalam konteks pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah NKRI,
maka Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi juga kiranya perlu
mencermati "ketimpangan anggaran" -- jika tidak ingin disebut
"ketidakadilan anggaran" -- yang terjadi selama ini.

Demikian juga halnya dengan kesenjangan kapasitas SDM di pusat
dan di daerah yang dari tahun ketahun selalu menyebabkan relatif
rendahnya efektifitas kerja, yang selalu ditutup-tutupi dengan
isu koordinasi.

Jika semua kebutuhan dan visi pembangunan tersebut di atas memang
akan dilaksanakan dengan pola "bekerja...bekerja...dan
bekerja!!", maka barangkali Presiden Jokowi tidak perlu takut
untuk membentuk Menteri Koordinator Pembangunan Indonesia Bagian
Barat, Menteri Koordinator Indonesia Bagian Tengah, serta Menteri
Koordinator Pembangunan Indonesia Bagian Timur.

Segelintir kecil kementerian -- seperti misalnya Kementerian Luar
Negeri dan Polhukam -- dapat tetap diperintahkan untuk bekerja di
Jakarta, sedangkan sebagai besar kementerian lainnya dapat
diperintahkan untuk bekerja "blusukan" ke wilayah kerjanya
masing-masing.

Sementara itu  pola "fractal organization" barangkali dapat diadopsi
untuk menentukan berbagai merger kementerian yang diperlukan dan dalam
mendesain struktur hubungan kerja dengan berbagai perangkat organisasi
di tingkat propinsi dan kabupaten/kota.


   Penutup

Apapun itu, hingga Sabtu pagi ini kita semua patut  bersyukur kepada
Ilahi atas ketabahan Jokowi dalam menahan berbagai "serangan" yang
memaksa dia untuk segera mengumumkan kabinetnya.

Mudah-mudahan Ilahi berkenan membuka mata dan pintu hatinya untuk
benar-benar bisa menjadi "a new hope" bagi bangsa dan negara
kita.

Ketika dari ujung Timur negeri tercinta ini kita tahu bahwa
setiap "Ondoafi" di Sentani-Jayapura, Provinsi Papua, selalu
menutup sumpah jabatannya dengan kalimat "Miae nale meanggefa,
alona fafa, jokho ibho enaibhalendena..wa ondofolo ro bhang
engende" (jika suatu hari nanti ada seorang janda atau anak yatim
meneteskan air mata, maka itu berarti aku telah kehilangan harkat
dan martabat sebagai pemimpin) maka barangkali  tidak akan
terlalu salah jika ada di antara  kita yang berharap pula
mudah-mudahan Presiden Jokowi juga mau menanamkan esensi sumpah
itu di dalam dirinya. Aamiin Ya Rab.  *


*Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat
ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pewarta: Dr Ir Ricky Avenzora, M.Sc*

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014