Matahari yang bersinar cerah tidak terasa membakar kulit para pembudidaya salmon dan empat wartawan asal Asia Tenggara di Minamisanriku, Prefektur Miyagi, Jepang karena memang tempat tersebut masuk wilayah iklim subtropis dengan rata-rata suhu 25 derajat celcius.
Pada tiga tahun lalu, tempat itu tidak terlihat seperti dermaga nelayan, melainkan lebih seperti lapangan reruntuhan bangunan akibat tsunami pada 11 Maret 2011 atau masyarakat Jepang mengenalnya dengan sebutan kejadian 11/3.
Bahkan saksi bisu berupa pelampung keramba jala salmon yang seharusnya berada di laut pun masih terlihat tersangkut di dahan pohon yang tingginya sekitar 15 meter di pinggir pantai.
"Pelampung itu seharusnya berada 200 meter dari bibir pantai di tengah laut. Kami memang belum menurunkannya agar menjadi penanda ketinggian tsunami 11/3," kata Kepala Pelaksana Harian Koperasi Perikanan Shizugawa Prefektur Miyagi, Fujio Abe di dermaga perikanan Shizugawa, Jumat (20/9).
Abe menjelaskan tidak ada perlengkapan maupun fasilitas budidaya salmon dan tiram yang tersisa di tempatnya pasca tsunami menerjang karena semua hanyut terbawa gelombang ke daratan.
Memang menurut Abe, pemerintah Jepang telah membangun kembali beberapa fasilitas perikanan seperti koperasi nelayan serta membantu membangun keramba jala untuk ikan salmon serta tambang pembudidayaan tiram di Laut Minamisanriku.
Setelah sekitar 30 menit kapal motor selesai mengisi bahan makanan untuk ikan salmon, para peserta diminta menggunakan pelampung dan dipersilakan menaiki kapal untuk melihat fasilitas pembudidayaan salmon di Teluk yang bernama Shizugawa.
Kapal motor berbadan besi serta ber-cat putih tersebut mulai bergerak perlahan ke arah timur laut di tengah gelombang yang menurut Abe sedang tenang. Namun tetap saja bagi peserta yang belum terbiasa dengan ombak laut akan terasa pusing karena terjangannya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 10 menit, kapal tiba di sebuah keramba alumunium berbentuk hexagonal dengan jala terkait ke masing-masing tiang yang merupakan tempat untuk membudidaya ikan salmon.
Sekitar 2000 ikan salmon ditampung dalam satu keramba jala tersebut dan terdapat sekitar 12 keramba yang diapungkan di Teluk Shizugawa.
Pada awal memasukan salmon ke keramba, berat ikan tersebut hanya sekitar 100-150 gram dan akan meningkat jadi 6 kilogram selama enam bulan pemeliharaan di keramba.
Total harga seluruh ikan rata-rata dalam satu keramba bisa mencapai 25 hingga 30 ribu YEN atau sekitar RP3.452.000. Sedangkan modal untuk membuat satu keramba, ujar Abe, mencapai sekitar 2,1 juta YEN atau sekitar RP241 juta.
Koperasi Perikanan Shizugawa memiliki 24 keramba salmon dan 168 tali tambang dengan 180 tiram di masing-masing tambang.
Bila dihitung, kerugian yang terpaksa diemban oleh para nelayan di kawasan itu mencapai sekitar 20-30 juta YEN akibat tsunami yang menerjang kawasan. Total tersebut belum termasuk puluhan kapal pembudidaya yang hilang terseret tsunami.
Abe langsung menyambung selang dari kapal yang merapat ke keramba tersebut dengan cekatan kepada pipa di keramba untuk segera dialiri makanan ikan salmon berupa pelet yang berbau amis dan berwarna cokelat.
"Kami tidak memberi makan ikan salmon dengan daging salmon yang sudah mati karena akan tidak baik hasilnya. Campuran pellet-nya adalah sardine, tulang tuna, serta tepung udang," kata Abe menambahkan periode pemberian makan salmon di keramba sebanyak satu kali per-hari.
Abe bercerita sejumlah pembudidaya salmon putus asa akan usahanya setelah tsunami terjadi karena begitu banyak kerusakan dan kerugian yang terjadi.
"Kami bingung bagaimana memulai kembali dengan mendapat modal awal. Para nelayan mengira itulah akhir dari usaha budidaya salmon di daerah ini," kata Abe.
Namun setelah bantuan dari pemerintah Jepang dan modal dari sejumlah pihak swasta, para nelayan yang berada di Sinagawa kembali mendapat secercah harapan untuk membangun kembali usaha mereka yang vakum diterjang tsunami.
Abe menceritakan total kerugian yang diderita koperasi yang terdiri atas sejumlah keramba dan seluruh ikan salmon mencapai sekitar 20-30 juta YEN atau setara dengan Rp2,29 miliar.
Selain itu, kebocoran pendingin nuklir di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi semakin memperpuruk keadaan penjualan hasil laut baik yang berasal dari Sinagawa maupun perairan lain di sekitarnya.
"Pasca tsunami yang juga berdampak kepada PLTN Fuksuhima, ada rumor kebocoran nuklir sehingga semakin menurunkan harga perikanan. Pada waktu itu hanya mencapai 250 YEN per-kilogram sedangkan kami butuh minimal 500 YEN per-kilogram untuk menjalankan usaha kami," kata Abe.
Kendati demikian, koperasi melakukan upaya untuk memulihkan kepercayaan konsumen yaitu dengan memeriksa setiap tangkapan secara acak.
Pemeriksaan radiasi yang dilakukan oleh petugas Pelabuhan Kota Mnamisanriku berguna untuk meneliti seberapa besar radiasi yang terpapar di ikan tangkapan setiap pagi dengan mengambil potongan sampel kecil.
"Kami berharap tahun ini dapat menjual sekitar 1.400 ton ikan salmon ke pasar. Tidak hanya salmon, tapi juga tiram dan masing-masing produk memiliki patokan apakah aman untuk dimakan atau tidak," jelas Abe.
Pulih Lewat Pariwisata
Pagi yang cerah menemani deburan ombak Samudera Pasifik menghantam karang-karang terjal yang di atasnya tumbuh pohon pinus dengan tinggi belasan meter.
Tiga tahun setelah tsunami menerjang kawasan pantai Minamisanriku, pepohonan dan tanah telah kembali menghijau dan tertata apik kendati masih dapat terlihat pembenahan beberapa ruas jalan yang ditandai dengan pita jingga bertuliskan kanji, mungkin mengatakan hati-hati!
Pada pagi itu Chieko Miura (66), seorang nenek dengan empat anak dan seorang cucu bernama Nobunari, menceritakan pengalamannya saat tsunami menerjang dan menghancurkan separuh tempat tinggalnya yang berada di sisi bukit.
"Gelombang pertama yang datang tidak terlalu tinggi hanya sekitar 6 meter. Namun dari jauh terlihat gelombang kedua dan ketiga yang menggulung jauh lebih tinggi di belakangnya," kata Miura.
Miura merasakan ada hembusan angin kencang berasal dari wilayah Samudera Pasifik yang dia anggap sebagai suatu tenaga dorong dari gelombang kedua dan ketiga sehingga dari tempatnya berpijak terlihat gelombang lanjutan tersebut seperti memakan gelombang kecil yang pertama.
Melihat hal itu, Miura melarikan diri ke bukit yang lebih tinggi di belakang rumahnya dan memandang pasrah dari kejauhan gelombang tsunami menyapu bangunan dan pelabuhan nelayan yang terletak di bawah rumahnya.
"Sehari sebelum tsunami, kami menangkap ikan besar. Banyak yang naik ke permukaan, padahal hari biasa itu sangat jarang terjadi," kata Miura yang memperkirakan kejadian itu sebagai pertanda akan terjadinya gempa bumi.
Mengenai pembangunan dinding pelindung gelombang laut, Miura menilai lebih baik di kawasannya tidak dibangun dinding yang terlalu tinggi sebab akan menghalangi pandangan penduduk akan gelombang besar yang sewaktu-waktu bisa datang kembali.
"Apa yang kami lakukan waktu itu adalah membantu anak-anak dan meminta pemuda untuk mengangkut para lansia yang ada di bawah. Hal yang paling penting adalah lari ke tempat yang lebih tinggi," kata Miura.
Pengelola Penginapan Tradisional khas Nelayan Yasuragi tersebut mengatakan sewaktu tsunami terjadi, cucu bernama Nobunari baru berumur 100 hari.
Miura menegaskan keluarganya tidak akan pernah lupa akan bantuan materi yang telah diberikan oleh negara sahabat Jepang, termasuk Indonesia.
"Saya akan memberikan penjelasan kepada Nobunari bahwa telah banyak orang yang membantu dan akan meminta dia untuk mengembalikannya kepada warga yang telah membantu," ujar wanita berumur 66 tahun itu.
Miura menjelaskan keluarganya mengembangkan penginapan tradisional karena ingin mengenalkan budaya dan kekayaan masyarakat sekitar Minamisanriku yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan.
Sementara itu pariwisata Matsushima yang berlokasi di Jepang timur laut juga terkena dampak akibat tsunami.
Menurut Direktur Pengelola Matsushima, Yasushi Shiga, tsunami tersebut membuat porak poranda kawasan yang berada di tepi laut serta menimbulkan kerugian jiwa dan materi yang sangat besar mengingat moda transportasi utama di kawasan wisata itu adalah perahu-perahu mewah yang besar.
"Turis yang berkunjung ke Matsushima juga 20 persen lebih sedikit pada saat ini jika dibandingkan dengan sebelum tsunami. Namun kami berharap jumlahnya terus meningkat seiring pulihnya lokasi," kata Yasushi.
Menurut Yasushi, wilayah Matsushima yang sudah terkenal dengan industri pariwisatanya baik oleh kalangan masyarakat Jepang maupun turis asing harus merevitalisasi masyarakat lokal untuk tetap mendukung pariwisata tepi laut dan industri perikanan.
Dia menilai jika semua kawasan dapat kembali ditata maka kondisinya bisa normal seperti sebelum tsunami menerjang kawasan.
Kendati pengelola Matsushima mengatakan kawasan itu masih berbenah, namun bagi pengunjung yang baru pertama kali menapakkan kakinya di Jepang mungkin merasa tidak ada yang salah dengan kota itu kendati baru saja bangkit dari musibah.
Jalan yang bagus, toko-toko yang berjejer rapi serta pohon pinus dan sakura yang berdiri menghijau seperti menandakan Matsushima mulai bergeliat.
Lalu lalang wisatawan baik mancanegara maupun lokal ramai hilir mudik masuk dan keluar loket sekaligus ruang tunggu kapal laut pengantar wisatawan untuk berkeliling 260 pulau kecil dan besar yang dahulunya digunakan untuk tempat beristirahat para "samurai".
"Matsushima merupakan salah satu dari tiga tempat wisata yang wajib dikunjungi jika berada di Jepang. Warga Jepang sendiri memasukannya sebagai tempat wisata idaman," kata Yasushi.
Selain wisata kelautan, di area Matsushima juga terdapat kuil Zuiganji yang terletak tepat di seberang pintu masuk wisata kepulauan Matsushima.
Kuil Buddha itu ditumbuhi pepohonan yang rindang serta pohon pinus yang tinggi dan besar dan terdapat goa-goa yang berisi patung Buddha dan Dewi Kuan im.
Pengunjung akan dimanjakan dengan keteduhan dan keasrian alam khas Jepang yang begitu alami dan tertata apik dengan taman rumput dan tatanan batu untuk tempat pijakan kaki pengunjung.
Seorang wartawan Kantor Berita Malaysia Bernama, Azzah Mohamad Song mengatakan tidak terlihat bekas-bekas atau runtuhan akibat tsunami karena semua tertata begitu rapi dan indah.
"Baik jalan, goa-goa dan pahatan di kuil tidak ada yang terlihat rusak. Begitu pun infrastruktur jalan dan toko-toko di Matsushima terlihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa, sangat rapi," kata Azzah.
Memang hal itulah yang menjadi keinginan warga Jepang yang ingin bangkit dari keterpurukan, seperti yang diutarakan oleh Yasushi.
Kendati masih banyak hal yang harus terus diperbaiki untuk dapat mengembalikan kemashuran Matsushima seperti sebelum tsunami, dirinya bersyukur tempat itu mulai kembali bergeliat.
"Kami berharap pemerintah Jepang dapat memperbaiki infrastruktur untuk transportasi lebih cepat sehingga dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Matsushima seperti sedia kala dan dapat meningkatkan ekonomi masyarakatnya," ujar Yasushi.
Meminimalisasi dampak radiasi
Kekhawatiran kebocoran nuklir di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi sepertinya telah menjadi isu yang paling heboh pasca bencana tsunami 11 Maret 2011.
Tsunami setinggi 15 meter telah mematikan pengoperasian tiga reaktor nuklir karena seluruh inti meleleh pada tiga hari pertama setelah tsunami.
Selain itu, tugas berat lainnya yang harus diemban pemerintah Jepang adalah mencegah kebocoran materi radioaktif dari ketiga unit reaktor ke laut atau daratan sekitar Fukushima.
Tidak ada laporan korban tewas maupun keracunan radioaktif akibat kecelakaan nuklir. Kendati demikian pemerintah Jepang tetap mengungsikan 100.000 orang dari tempat tinggalnya yang terletak di sekitar PLTN Fukushima.
Pada 11 September lalu, Universitas Medis Fukushima yang telah melakukan survei medis di kota itu menyimpulkan tidak ada dampak kesehatan langsung akibat radiasi nuklir.
Universitas tersebut memaparkan hasil surveinya bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Simposium Bersama Ahli Internasional bertema "Dibalik Radiasi dan Resiko Kesehatan - Menuju Upaya Ketahanan dan Pemulihan" yang diselenggarakan pada 8-9 September 2014 yang diadakan oleh Nippon Foundation di Fukushima.
Kendati demikian, peneliti dari universitas menemukan masyarakat masih khawatir dan takut akan dampak radiasi di kawasan akibat terlalu lama menetap di tempat evakuasi. Selain itu ada juga yang terkena dampak kesehatan dan mental seperti obesitas dan depresi.
Pada 11 September 2014, pejabat yang berwenang dalam simposium tersebut telah memberikan rekomendasi yang disusun oleh tim ahli kepada Perdana Menteri Shinzo Abe di rumah dinasnya.
Rekomendasi tersebut antara lain berisi pembuatan kriteria perlindungan radiasi yang mencakup fleksibilitas bagi kehidupan publik dan individu serta pembangunan infrastruktur yang bisa membuat masyarakat mengelola situasi lingkungan mereka sendiri terkait keadaan radiologis.
Para ahli juga merekomendasikan penguatan dukungan bagi penunjang kesehatan dan ketersediaan pengurus masyarakat untuk membangun psikologi dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang terkena kecelakaan nuklir di Fukushima.
Nasehat yang dapat kita petik dari negara maju Jepang adalah mereka dapat mempertahankan keasrian dan kebersihan alamnya kendati hidup diantara teknologi canggih dan resiko bencana yang besar, namun Jepang membuktikan kesungguhan mereka menjaga kelestarian dan keutuhan alam.
Itulah mengapa Jepang terkenal dengan negeri matahari terbit. "Karena semangat dan keinginan kuat untuk pulih dari keterpurukan selalu datang seperti matahari pagi yang bersinar indah dari Samudera Pasifik", kata Miura.
Kebangkitan wisata dan perikanan Jepang pasca 3/11
Sabtu, 27 September 2014 22:09 WIB