Jakarta (ANTARA) - Ketua SPMI Ade Irwansyah mengaku aneh dengan sikap buruh yang dengan tegas menolak RUU Omnibus Law tersebut secara keseluruhan. Padahal, Omnibus Law ini adalah kebutuhan hukum modern. “Saya sendiri mengatakan kepada setiap kesempatan, ini bukan masalah. Kebutuhan hukum kita kan sudah seharusnya dalam tingkatan modernisasi tapi saya bingung kenapa langsung menolak dan menolak, ada apa ini? Tetapi saya yakin kita intelek semua,” tegas Ade Irwansyah saat jumpa pers jumpa pers “RUU Omnibus Law: Langkah Menuju Percepatan dan Akselerasi Ekonomi Sosial” di Restoran Mas Miskun Salemba, Senen, Jakarta Pusat, belum lama ini.
Di tempat yang sama, Wadir IMNI Sudirman Manalu bersama berbagai elemen mahasiswa dan pemuda diantaranya BEM se-DKI, SPMI dan IMNI menyatakan sikap siap mengawal dan mendukung RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Pasalnya, UU Sapu jagat ini bakal mendorong industri padat karya yang banyak menyerap lapangan kerja. “Kepada pihak berkepentingan (kelompok buruh) untuk tidak melakukan penggiringan opini seolah-olah Omnibus Law adalah suatu momok yang menakutkan. Jikapun terdapat pasal yang dianggap merugikan publik, agar mengajukan gugatan atau Judicial Review,” ujarnya seraya menambahkan, kita harus mengapresiasi pemerintah dalam hal ini (Omnibus Law), dan jangan giring opini seakan-akan Omnibus Law ini adalah momok yang menakutkan.
Menurut penulis, sudah sangat baik setiap stakeholder yang berperan dalam pembahasan Omnibus Law, termasuk yang menginisiasinya, sehingga perlu mendapatkan apresiasi, dan mengingat negara Indonesia adalah negara hukum dan negara demokrasi, maka sebaiknya pembahasan RUU ini membuka ruang dialog dan partisipasi publik yang luas, agar tidak ada “pasal-pasal selundupan” dalam RUU ini.
Pengarusutamaan dialog dan partisipasi publik bukan dalam bentuk aksi unjuk rasa terhadap RUU ini sangat penting, karena Indonesia tengah pandemi Covid 19, disamping itu, dialog, diskusi dan kegiatan mengkritisi secara ilmiah serta konstruktif terkait RUU ini adalah pilihan logis, moderat, modern dan beradab dibandingkan menggelar aksi-aksi tekanan massa ditengah pandemi Covid 19, yang mungkin dapat berimplikasi hukum (dibubarkan paksa aparat dan pelakunya dihukum, karena sudah ada maklumat Kapolri) juga akan semakin memperburuk kondisi perekonomian, karena diakui atau tidak, PHK massal bisa menghantui kalangan buruh, sehingga lebih baik mereka berdedikasi dengan bekerja secara baik di lokasi kerja masing-masing daripada menggelar aksi unjuk rasa atau tekanan massa lainnya.
Intinya jangan sampai kelompok buruh dan BEM “dipolitisasi dan dikapitalisasi” kelompok kepentingan tertentu, dibalik penolakan RUU Omnibuslaw. Akan tampak lebih elegan jika kelompok buruh dan NGO sejumlah 93 organisasi yang melakukan penolakan Omnibuslaw berdiskusi dan mencari solusi bersama dengan pemerintah dan DPR RI. Sementara itu, DPR RI juga harus transparan dalam membahas RUU yang sensitif ini, agar RUU ini benar-benar bukan “momok yang menakutkan”. Jika RUU ini dibahas terlalu cepat, tidak teliti dan sembarangan, maka ongkos Ipoleksosbudhankam yang akan diterima Indonesia ke depan akan “sangat mahal”, Jadi jangan pernah dicoba membahasnya tanpa partisipasi publik. (1/*).
*) Penulis adalah, Jurnalis dan Kolumnis.
Omnibuslaw Bukan Momok Menakutkan
Kamis, 9 April 2020 16:31 WIB
Jika RUU ini dibahas terlalu cepat, tidak teliti dan sembarangan, maka ongkos Ipoleksosbudhankam yang akan diterima Indonesia ke depan akan “sangat mahal”, Jadi jangan pernah dicoba membahasnya tanpa partisipasi publik.