Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China (MCT) mengeluarkan peringatan kepada warganya agar tidak melakukan perjalanan atau kunjungan ke Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan.
Oleh karena kebijakan yang diambil pemerintah AS terhadap para wisatawan China terkait pencegahan virus corona termasuk pula situasi keamanan domestik sehingga menyebabkan wisatawan China berkali-kali mengalami perlakuan yang tidak fair, maka MTC mengingatkan wisatawan China tidak mengunjungi AS dengan alasan keamanan, demikian media resmi setempat.
Peringatan yang dikeluarkan di Beijing pada Senin (24/2) itu diduga sebagai tindakan balasan atas kebijakan AS sebelumnya.
Baca juga: 20.659 pasien terinfeksi virus corona dinyatakan sembuh
Pada akhir Januari 2020, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Menular AS (CDC) mengeluarkan peringatan kepada warganya agar tidak mengunjungi semua wilayah di China untuk mencegah paparan virus mematikan bernama COVID-19 itu.
Beberapa maskapai penerbangan AS membatalkan semua rute ke China hingga akhir Maret mendatang. Demikian pula dengan maskapai China, seperti Air China, membatalkan jadwal penerbangan regulernya ke beberapa kota di AS, seperti diberitakan ANTARA sebelumnya.
Baca juga: Harus makin waspada, Dokter di China kembali jadi korban meninggal virus corona
Pengusiran tiga koresponden the Wall Street Journal oleh pemerintah China pada pekan lalu terkait artikel berjudul "China is the Real Sick Man of Asia" juga turut memanaskan hubungan China-AS di tengah upaya pengendalian COVID-19.
Sampai saat ini jumlah orang yang terkonfirmasi terpapar COVID-19 di China mencapai angka 77.269. Dari jumlah itu terdapat 2.596 orang meninggal dunia dan 25.007 orang dinyatakan sembuh.
Baca juga: Virus Corona, Hingga 22 Februari, korban jiwa corona di China 2.442 orang
Sementara di AS terdapat 35 kasus, sebanyak tiga di antaranya dinyatakan sembuh dan diizinkan meninggalkan rumah sakit.
China larang warganya kunjungi AS
Selasa, 25 Februari 2020 7:16 WIB
Peringatan yang dikeluarkan di Beijing pada Senin (24/2) itu diduga sebagai tindakan balasan atas kebijakan AS sebelumnya.