Optimisme Industri Pertahanan Indonesia
Minggu, 23 Februari 2020 20:55 WIB
Dengan kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang baik dan kebijakan pemerintah untuk mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, maka tingkat optimisme untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan Indonesia cukup tinggi.
Jakarta (ANTARA) - Paradigma baru yang akan dilakukan oleh Indonesia terkait dengan industri pertahanan adalah mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan. Presiden Joko Widodo secara tegas sudah menekankan perubahan paradigma ini pada awal tahun 2020. Hal ini tentu patut mendapat perhatian mengingat Kementrian Pertahanan, pengelola anggaran pertahanan, adalah penerima pagu anggaran 2020 yang paling besar. Pada tahun 2020 Kementrian Pertahanan memperoleh Rp. 127 triliun, Jjika dibandingkan dengan TA 2019, pagu anggaran tahun 2020 meningkat sebesar Rp 18,6 triliun (15,6%).
Tidak semua anggaran Kementrian Pertahanan tersebut untuk membeli alutsista. Anggaran Kementrian Pertahanan tersebut dialokasikan untuk 41,6% dialokasikan untuk belanja pegawai, 32,9% untuk belanja barang, 25,4% untuk belanja modal. Hal ini berarti porsi terbesar dari anggaran Kementrian Pertahanan adalah untuk belanja pegawai.
Terkait dengan industri pertahanan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mengharuskan adanya transfer teknologi, kerja sama produksi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dan pengembangan rantai produksi antara BUMN dengan korporasi swasta dan usaha kecil dan menengah (UKM). Amanat Undang-Undang ini tentu harus diperhatikan dengan serius, selaras dengan arahan Presiden untuk membawa paradigma industri pertahanan dari belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan.
Kebutuhan Indonesia untuk import alutsista masih cukup tinggi. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan bahwa selama periode 2014-2018, Indonesia rata-rata ada di urutan 12 negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Pemasok senjata tersebut didominasi negara Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda. Korelasi dari pengadaan alutsista tersebut, pencapaian MEF saat ini sudah berada pada 74% dari target 100% pada 2024.
Secara detail dikutip dari data Global Fire Power ketersediaan alutsista Indonesia pada masing-masing matra adalah: TNI AD memiliki 315 tank tempur, 1.300 kendaraan tempur lapis baja, 141 artileri otomatis, 356 artileri manual, dan 36 proyektor roket. TNI AU memiliki 41 pesawat tempur, 65 pesawat serbu, 62 pesawat angkut, 104 pesawat latih, dan 8 helikopter serbu. Sedangkan TNI AL punya 8 fregat, 24 korvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli, dan 11 pangkalan perang.
Indonesia melalui BUMN sudah mempunyai perusahaan yang memproduksi alutsista yaitu PT Dirgantara Indonesia, PT PAL dan PT Pindad. Masing-masing dari perusahaan tersebut mempunyai produk-produk unggulan yang patut dibanggakan karena teruji tidak hanya di dalam negeri tetapi juga pada tingkat internasional. Bahkan beberapa produk alutsista produksi anak bangsa sudah diekspor dan digunakan oleh negara-negara lain.
Meskipun demikian BUMN baru bisa memenuhi sekitar 13 persen kebutuhan pengadaan alutsista Kemenhan. Angka ekspor dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri ini yang harus dinaikkan sekaligus untuk membuktikan industri pertahanan Indonesia produktif dan berkualitas. Angka MEF yang masih berada pada angka 74 persen, dan pemenuhan alutsista dengan produk dalam negeri pada angka 13 persen, menunjukkan pasar alutsista dalam negeri masih cukup besar. Kebijakan untuk mengutamakan produksi dalam negeri sekaligus untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor adalah strategi untuk menunjukkan kemandirian alutsista yang harus dipacu.
Dengan kebijakan pemerintah yang ingin mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, yang didukung oleh pasar alutsista dan kepercayaan dari user terhadap produk Indonesia yang cukup besar, maka optimisme industri pertahanan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Industri pertahanan Indonesia sudah saatnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri saja, namun dapat berkiprah di tingkat internasional, sekaligus menjadi sebuah investasi pertahanan yang dapat menjadi sumber pendapatan bagi negara.
Dorongan untuk mewujudkan kemandirian alutsista dalam negeri harus terus dilakukan. Dengan kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang baik dan kebijakan pemerintah untuk mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, maka tingkat optimisme untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan Indonesia cukup tinggi. (31/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI).
Tidak semua anggaran Kementrian Pertahanan tersebut untuk membeli alutsista. Anggaran Kementrian Pertahanan tersebut dialokasikan untuk 41,6% dialokasikan untuk belanja pegawai, 32,9% untuk belanja barang, 25,4% untuk belanja modal. Hal ini berarti porsi terbesar dari anggaran Kementrian Pertahanan adalah untuk belanja pegawai.
Terkait dengan industri pertahanan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan mengharuskan adanya transfer teknologi, kerja sama produksi dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), peningkatan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), dan pengembangan rantai produksi antara BUMN dengan korporasi swasta dan usaha kecil dan menengah (UKM). Amanat Undang-Undang ini tentu harus diperhatikan dengan serius, selaras dengan arahan Presiden untuk membawa paradigma industri pertahanan dari belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan.
Kebutuhan Indonesia untuk import alutsista masih cukup tinggi. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebutkan bahwa selama periode 2014-2018, Indonesia rata-rata ada di urutan 12 negara pengimpor senjata terbesar di dunia. Pemasok senjata tersebut didominasi negara Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda. Korelasi dari pengadaan alutsista tersebut, pencapaian MEF saat ini sudah berada pada 74% dari target 100% pada 2024.
Secara detail dikutip dari data Global Fire Power ketersediaan alutsista Indonesia pada masing-masing matra adalah: TNI AD memiliki 315 tank tempur, 1.300 kendaraan tempur lapis baja, 141 artileri otomatis, 356 artileri manual, dan 36 proyektor roket. TNI AU memiliki 41 pesawat tempur, 65 pesawat serbu, 62 pesawat angkut, 104 pesawat latih, dan 8 helikopter serbu. Sedangkan TNI AL punya 8 fregat, 24 korvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli, dan 11 pangkalan perang.
Indonesia melalui BUMN sudah mempunyai perusahaan yang memproduksi alutsista yaitu PT Dirgantara Indonesia, PT PAL dan PT Pindad. Masing-masing dari perusahaan tersebut mempunyai produk-produk unggulan yang patut dibanggakan karena teruji tidak hanya di dalam negeri tetapi juga pada tingkat internasional. Bahkan beberapa produk alutsista produksi anak bangsa sudah diekspor dan digunakan oleh negara-negara lain.
Meskipun demikian BUMN baru bisa memenuhi sekitar 13 persen kebutuhan pengadaan alutsista Kemenhan. Angka ekspor dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri ini yang harus dinaikkan sekaligus untuk membuktikan industri pertahanan Indonesia produktif dan berkualitas. Angka MEF yang masih berada pada angka 74 persen, dan pemenuhan alutsista dengan produk dalam negeri pada angka 13 persen, menunjukkan pasar alutsista dalam negeri masih cukup besar. Kebijakan untuk mengutamakan produksi dalam negeri sekaligus untuk mengurangi impor dan meningkatkan ekspor adalah strategi untuk menunjukkan kemandirian alutsista yang harus dipacu.
Dengan kebijakan pemerintah yang ingin mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, yang didukung oleh pasar alutsista dan kepercayaan dari user terhadap produk Indonesia yang cukup besar, maka optimisme industri pertahanan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Industri pertahanan Indonesia sudah saatnya bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri saja, namun dapat berkiprah di tingkat internasional, sekaligus menjadi sebuah investasi pertahanan yang dapat menjadi sumber pendapatan bagi negara.
Dorongan untuk mewujudkan kemandirian alutsista dalam negeri harus terus dilakukan. Dengan kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang baik dan kebijakan pemerintah untuk mengubah belanja pertahanan menjadi investasi pertahanan, maka tingkat optimisme untuk mewujudkan kemandirian industri pertahanan Indonesia cukup tinggi. (31/*).
*) Penulis adalah, Mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik Universitas Indonesia (UI).