Mataram (ANTARA) - Peringatan Maulid Nabi memberi kesempatan bagi masyarakat untuk meneguhkan kembali spirit demokrasi yang berakhlak. Rasulullah tidak pernah menutup ruang dialog. Beliau selalu mendengarkan keluh kesah umatnya, bahkan terhadap orang yang berbeda keyakinan sekalipun.
Spirit musyawarah yang diajarkan Nabi menjadi pedoman penting dalam berdemokrasi. Al-Qur’an menyebutkan: “...sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka...” (QS. Asy-Syura [42]:38). Musyawarah menuntut keterbukaan, empati, dan sikap saling menghargai. Jika ini diterapkan, ruang demokrasi akan tetap sehat tanpa perlu diwarnai kekerasan.
Di era konsumerisme dan ledakan media sosial, kita sering terjebak dalam ekspresi instan atau melampiaskan amarah tanpa kendali, menyebarkan ujaran kebencian tanpa filter. Nabi justru mencontohkan kesabaran luar biasa dalam menghadapi cercaan, penghinaan, bahkan kekerasan fisik.
Kesederhanaan hidup Nabi menjadi pengingat bahwa kemewahan bukan ukuran kehormatan. Begitu pula kesabaran beliau menunjukkan bahwa perubahan butuh proses panjang. Dalam konteks demonstrasi, kesabaran bukan berarti pasrah, melainkan kesediaan menempuh jalan dialog, advokasi, dan diplomasi sosial yang lebih beradab.
Keteladanan Maulid tidak hanya berlaku bagi rakyat, tetapi juga pemimpin. Rasulullah adalah sosok pemimpin amanah yang terbuka pada kritik. Pemimpin di era modern harus belajar mendengarkan aspirasi rakyat, membuka ruang partisipasi, dan menghindari gaya kepemimpinan elitis yang menjauhkan diri dari masyarakat.
Sebaliknya, rakyat juga dituntut menyalurkan aspirasi dengan cara-cara yang konstruktif. Energi protes seharusnya diarahkan untuk membangun, bukan merusak. Lembaga legislatif dan eksekutif mesti menjadi fasilitator, bukan penghalang dialog. Di sinilah nilai Maulid menjadi jembatan: pemimpin belajar rendah hati, rakyat belajar beradab dalam beraspirasi.
Demokrasi berbasis akhlak
Dari Maulid Nabi, ada beberapa solusi orisinal yang bisa ditawarkan untuk memperkuat praktik demokrasi di Indonesia:
Pertama, pendidikan akhlak publik. Aksi anarkis sering kali lahir dari lemahnya pendidikan akhlak. Sekolah, kampus, dan ruang publik perlu memperkuat literasi moral, agar aspirasi disalurkan dengan damai.
Kedua, dialog terbuka. Pemerintah daerah dan DPRD harus membuka kanal aspirasi yang transparan. Forum musyawarah, audiensi publik, hingga pemanfaatan teknologi digital bisa menjadi sarana alternatif dialog.
Ketiga, keteladanan pemimpin. Pemimpin mesti mencontohkan sikap rendah hati, sederhana, dan terbuka. Spirit kepemimpinan Nabi yang mengutamakan kepentingan umat harus menjadi teladan pejabat publik.
Keempat, kultur damai dalam berdemonstrasi. Organisasi masyarakat sipil dan aktivis perlu menginternalisasi prinsip non-kekerasan. Demo damai dengan narasi cerdas lebih efektif daripada anarkisme yang hanya meninggalkan luka sosial.
Maulid Nabi Muhammad SAW adalah momentum yang tidak boleh sekadar berlalu sebagai tradisi seremonial. Ia harus menjadi cermin untuk memperbaiki etika sosial kita, terutama dalam praktik berdemokrasi.
Aksi anarkis yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa bangsa kita masih memerlukan pencerahan dalam menyampaikan aspirasi. Dari Maulid Nabi, kita belajar bahwa perubahan hanya akan berhasil bila dilakukan dengan akhlak mulia, kesabaran, dan semangat kasih sayang.
Meneladani Nabi berarti menjaga lisan dan tangan dari menyakiti orang lain, membangun komunikasi yang damai, dan menegakkan keadilan sosial. Spirit Maulid harus menjiwai demokrasi Indonesia agar tetap sehat, beradab, dan berpihak pada rakyat.
Karena sejatinya, cinta kepada Rasulullah tidak cukup diwujudkan dalam serangkaian perayaan, tetapi harus dihidupkan dalam sikap kita sehari-hari, termasuk dalam cara kita menyampaikan aspirasi dan membangun bangsa.
