Bogor, 7/2 (Antara) - Sejumlah warga Cisarua yang menanam tumbuhan "Khat" (chata edulis) di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menyatakan bersedia memusnahkan tanaman tersebut dengan harapan ada ganti rugi dari pemerintah.
"Kami bersedia jika pemerintah ingin memusnahkan tumbuhan ini, kami pun tidak akan menanamnya lagi. Tetapi diharapkan ada ganti rugi dari pemerintah agar bisa bercocok tanam jenis tanaman lain," kata Nanang (53), salah satu petani tanaman Khat di Desa Tugu Utara, Rabu.
Nanang mengatakan, jika tidak ada ganti rugi, masyarakat yang telah menanam tumbuhan yang termasuk golongan narkotika tersebut akan kehilangan mata pencahariannya. Karena selama ini masyarakat menggantungkan hidupnya dari menjual tanaman itu.
Menurutnya, ganti rugi yang diharapkan warga adalah penggantian berupa bibit tanaman lain seperti wortel, sayur serta dana kompensasi agar para petani bisa tetap bercocok tanam di lahannya.
"Bibit tanaman Khat ini kami beli dengan uang sendiri, kalau dimusnahkan begitu saja, para petani jadi rugi. Kami juga kehilangan mata pencaharian," ujarnya.
Masyarakat awalnya mengenal tanaman tersebut sebagai tanaman yang banyak dicari turis Timur Tengah yang sering berwisata ke Puncak. Tanaman itu dikonsumsi untuk lalapan mencegah kolestrol usai makan daging kambing, dan sebagai obat diabetes atau diare.
"Tanaman tersebut dibeli para turis seharga Rp100.000 per ikat, bahkan ada yang berani membali Rp500.000 untuk satu kantong plastik kresek," katanya.
Ia mengatakan, selain untuk lalapan juga untuk meningkatkan vitalitas pria.
Menurut Nanang, tanaman tersebut dibawa oleh turis dari Yaman, mulai ada sejak tahun 2005. Melihat banyak yang mencari, sejumlah wargapun mulai ramai menanamnya.
Tercatat hingga kini tanaman khat ditanam di 55 titik terpisah dengan luas mencapai hingga tiga hektare.
Sementara itu, Badan Narkotika Nasional telah mengeluarkan regulasi larangan menanam dan menjual tanaman Khat karena menurut polisi terbukti mengandung "cathinone", zat narkotika golongan I dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
"Berdasarkan uji coba laboratorium, tumbuhan ini telah ditetapkan masuk dalam kategori tanaman terlarang sesuai Undang-Undang Nomor 35," kata Kepala Humas BNN Kombes Sumirat Dwiyanto.
Sumirat mengatakan, masyarakat yang selama ini menanam tumbuhan tersebut diharapkan agar tidak lagi menanam maupun memasarkannya karena bisa dipidanakan.
"Kami harap masyarakat tidak lagi menanamnya, sebaiknya masyarakat bercocok tanam tumbuhan jenis lain yang memiliki nilai ekonomis tetapi tidak melanggar hukum," ujarnya.
Terkait tuntutan para petani yang menginginkan ganti rugi, Sumirat menyampaikan dirinya akan segera berkoordinasi dengan pimpinan yang lebih tinggi untuk membicarakan ganti rugi tersebut.
"Tujuannya agar para petani yang menanam dan menggantungkan hidup dari tanaman Khat mendapat ganti rugi dengan mengganti jenis tanaman yang lain," katanya.
Soal ganti rugi ini akan dibicarakan, yang pasti akan diganti rugi berupa bibit tumbuhan lain, sehingga masyarakat tetap bisa bertani dan tidak dirugikan.
Foto: Antara/Idhad Z