Tanjung Selor (ANTARA) - Suatu pagi yang tenang di tepian hutan Desa Long Jalan, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara mendadak berubah ketika sekelompok perempuan desa mengadang rombongan laki-laki asing yang hendak memasuki kawasan hutan.
Para lelaki itu adalah pemburu gaharu. Mereka mencoba menyelinap tanpa izin. Namun keberanian para perempuan, dipimpin oleh Ani, Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Rotan Desa Long Jalan, menghentikan mereka.
Dengan tegas, perempuan-perempuan itu melarang para pemburu gaharu masuk ke dalam hutan karena ulah pamburu itu bakal merusak dan menghilangkan sumber penghidupan masyarakat.
“Hutan ini sumber hidup kami. Silakan putar balik atau kami laporkan,” ucap Ani dengan mantap ketika itu.
Kejadian itu menjadi titik balik bagi kesadaran kolektif sembilan desa di dua kecamatan Malinau Selatan Hulu dan Sungai Tubu untuk mengambil langkah nyata melindungi kawasan hutan mereka.
Kondisi itu tidak terjadi tanpa sebab. Dalam Empat tahun terakhir, kawasan hutan desa kerap dimasuki pemburu gaharu secara ilegal yang memberi kerugian besar bagi masyarakat.
Gaharu yang tumbuh puluhan tahun ditebang habis secara tidak lestari dan para pekerja itu berasal dari luar daerah. Ulah mereka tidak memberikan manfaat apa-apa bagi warga lokal.
Kekhawatiran makin besar karena pembalakan liar bukan hanya mengancam ekonomi, tetapi juga kelestarian hutan, aliran sungai, dan habitat satwa endemik. Warga mulai resah dan insiden di Long Jalan menjadi pemantik lahirnya gerakan bersama.
Pelatihan pemantauan ekosistem
Menindaklanjuti kesadaran masyarakat dalam menjaga hutan tersebut, pemerintah daerah setempat bersama komunitas konservasi Warsi mengadakan pelatihan pemantauan ekosistem berbasis partisipatif.
Pelatihan tersebut melibatkan masyarakat dari sembilan desa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Malinau yaitu Long Jalan, Long Lake, Pelencau, Nahakeramo Baru, Metut, Tanjung Nanga, Punan Mirau, Long Nyau, dan Long Pada. Pelatihan diadakan di desa Metut, Malinau Selatan Hulu, 9-12 Juni.
Pelatihan berlangsung intensif dan melibatkan berbagai kalangan, mulai dari tokoh adat, pemuda, hingga pemerintah desa. Mereka belajar memetakan wilayah hutan, mengenali jejak aktivitas kejahatan lingkungan, hingga membentuk sistem patroli bersama.
Peri Anggraeni, Project Officer KKI Warsi menuturkan pelibatan aktif masyarakat adat dalam perlindungan dan pengamanan kawasan adalah kunci keberhasilan konservasi jangka panjang. Ketika hutan dilindungi oleh mereka yang menganggapnya sebagai bagian dari kehidupan, maka keberlanjutan bukan hanya wacana, tapi kenyataan yang tumbuh dari akar.
“Pelatihan ini adalah langkah penting agar masyarakat di sembilan desa bisa semakin memahami hak, peran, dan tanggung jawab mereka dalam menjaga kawasan hutan. Kami percaya, ketika masyarakat dilibatkan secara aktif dan diberikan ruang belajar, maka perlindungan dan pengamanan hutan akan berjalan lebih kuat dan berkelanjutan,” tuturnya.
Hasil dari pelatihan ini bukan hanya peningkatan kapasitas masyarakat, tetapi juga lahirnya kesepakatan bersama dalam bentuk Rancangan Peraturan Bersama Kepala Desa (Permakades) tentang Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan. Aturan ini disusun dan dibahas oleh seluruh kepala desa sebagai upaya hukum dari akar rumput.
Rancangan Permakades tersebut menetapkan bahwa setiap pelanggaran terhadap hutan, seperti perburuan gaharu tanpa izin, pembalakan liar, hingga peracunan ikan di sungai, akan dikenakan sanksi adat berupa denda yang tegas, dan untuk kasus berat akan dilaporkan ke pihak berwajib.
Komitmen tersebut diperkuat dengan mereka bersepakat untuk menganggarkan dana desa untuk memastikan kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan hutan bisa terlaksana dengan baik.
Peraturan ini juga menekankan pentingnya perlindungan pohon-pohon berharga lainnya dari pembalakan liar, serta melarang keras praktek meracun ikan di sungai yang selama ini merusak ekosistem air.
Di beberapa desa seperti Long Jalan dan Long Pada, Long Nyau warga bahkan sudah mulai menanam kembali bibit gaharu dan melakukan patroli rutin untuk memastikan aturan ditegakkan.
Kepala Desa Long Pada Roni Kirut menyambut baik lahirnya permakades yang disepakati bersama delapan desa lainnya untuk melindungi kawasan hutan adat. Bagi Roni, peraturan bersama ini bukan sekadar dokumen hukum, melainkan komitmen kolektif yang lahir dari kesadaran bersama akan pentingnya menjaga ruang hidup.
Melalui permakades, masyarakat kini memiliki dasar yang kuat untuk menolak segala bentuk perusakan hutan, termasuk pembalakan liar dan perburuan yang merusak ekosistem.
Inisiatif dari sembilan desa ini menjadi bukti bahwa kekuatan masyarakat, terutama perempuan, dapat menjadi benteng pertama dalam menjaga hutan dari eksploitasi. Mereka tidak hanya mengadang, tetapi juga membangun sistem perlindungan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada kepentingan bersama.
Yahya, Ketua Adat Desa Pelencau, mengatakan, hutan bukan sekadar tempat tinggal atau sumber pangan, melainkan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Hutan telah menjadi ruang hidup yang menyediakan segalanya dari makanan, obat-obatan, hingga bahan bangunan. Kedekatan ini begitu dalam, seperti ikatan antara anak dan ibunya.
“Lunang telang ota ine, hutan bagai air susu ibu memberi kami kehidupan sejak lahir. Kalau hutan tidak dijaga, maka hilang juga sumber penghidupan kami,” kata Yahya.
Untuk menindaklanjuti akan kesadaran masyarakat, pemerintah daerah dan komunitas konservasi juga mengadakan pelatihan anyaman rotan agar mereka bisa mengelola hasil hutan non-kayu.
Juli 2024, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malinau memberikan bantuan seperangkat mesin anyaman rotan.
Melani Indah, Kepala Bidang Koperasi dan UMKM Disperindag Kabupaten Malinau mengatakan melalui pelatihan ini kelompok usaha perhutanan sosial yang hidup di sekitar kawasan hutan bisa mengenal diversifikasi produk turunan rotan lainnya. Sehingga, Masyarakat bisa memiliki peningkatan ekonomi melalui pengelolaan hasil hutan.
Ia menambahkan seluruh bagian rotan yang digunakan tidak ada yang terbuang. Fitrit rotan (rotan yang sudah diolah menjadi seperti lidi) digunakan untuk membuat tas dan keranjang. Sedangkan kulitnya tidak hanya diolah menjadi tas dan tikar, melainkan aksesoris anyaman rotan.
Ana, asal Desa Long Jalan merasa senang dengan ikut pelatihan ini. Hal ini dikarenakan ia bisa mengenal jenis produk anyaman rotan yang baru.
“Saya hanya tahu cara membuat tikar dan anjat. Ada keinginan untuk membuat anyaman rotan lain seperti keranjang dan tas. Setelah ikut pelatihan ternyata kami bisa juga membuat produk anyaman yang lain,” katanya.
Warga desa juga dikenalkan pada modifikasi anyaman rotan.
“Sebelumnya saya tidak tahu cara memadupadankan anyaman rotan dengan kulit sintetis. Saat ini saya sudah mengetahui cara membuat pola sampai menjahit kulit dengan anyaman rotan menjadi dompet,” ujar Rosa, warga Long Pada.