Jakarta (ANTARA) - Ibarat sebuah genre musik, Inter Milan bermain seperti rangkaian grup orkestra yang memainkan irama menghanyutkan.
Pelan namun pasti, ritme ala pelatih Inter Milan Simone Inzaghi yang bisa mengantarkan lawannya menemui mimpi buruk.
Nerazurri kini melangkahkan kakinya ke pertandingan final Liga Champions 2025.
Inter yang berstatus sebagai skuad termurah, jika dibandingkan dengan semifinalis lainnya yakni Barcelona, Paris Saint Germain, dan Arsenal, bisa membuktikan diri sebagai calon penyandang yang terbaik di tanah Eropa.
Inter Milan menyegel tiket final seusai mengakhiri drama panjang menghadapi Barcelona lewat agregat 7-6 pada pertandingan yang berlangsung di San Siro, Milan, Rabu.
Kemenangan ini tak boleh dilepaskan dari peran Simone Inzaghi yang bertugas sebagai dirigen di pinggir lapangan.
Inzaghi menjadi konduktor yang mampu mengatur Yann Sommer dan kawan-kawan untuk menghajar celah kecil El Barca dalam dua leg terakhir.
Inzaghi tetap menggunakan pola formasi 3-5-2 yang menjadi pakem strateginya seperti di leg pertama yang berlangsung di Stadion Olympico, Barcelona (01/05).
Di kubu Barcelona juga menerapkan skema yang sama dengan leg pertama, yakni pakem formasi 4-2-3-1 dengan memposisikan Ferran Torres sebagai penyerang bayangan di nomor sembilan.
Meski memperoleh dukungan publik sendiri, Inter Milan bermain praktis menunggu Barcelona yang terus mendominasi penguasaan bola.
Secara statistik, Barcelona dominan menguasai 71 persen menghadapi Inter yang hanya memegang bola 29 persen.
Inzaghi jeli bahwa strategi garis pertahanan Barcelona mempunyai celah yang bisa dieksploitasi.
Meski tercatat telah terkena sembilan kali jebakan offside, nyatanya Inter Milan bisa memperoleh rerata peluang untuk menjadi gol 2,28.
Padahal jebakan offside menjadi senjata mematikan Barcelona di era Hansi Flick.
Dengan rerata pemain yang sudah berusia 30,2 tahun, Inzaghi juga paham bahwa tak mungkin para pemainnya sanggup menghadapi pemuda Blaugrana dengan rerata usia 25,8 tahun.
Inzaghi mampu melakukan pergantian yang tepat. Hal tersebut ditunjukkan lewat gol terakhir Inter Milan yang dicatatkan oleh Davide Frattesi.
Dalam proses gol tersebut terdapat kredit besar dari kerjasama pemain pengganti yakni Mehdi Tarami dan Davide Frattesi.
Tanpa bermain indah, Inzaghi memulai orkestrasi yang membuat seluruh publik San Siro menyanyikan "Pazza Inter" sepanjang malam di kota Milan.
Simone Inzaghi datang ke Inter Milan setelah dipinang dari klub lamanya Lazio pada tahun 2021.
Saat ini jika ingin melihat bagaimana transisi dinamis sepak bola modern, bisa dikatakan lihatlah bagaimana Inzaghi mengorkestrasikan permainan Inter Milan.
Berstatus menggantikan Antonio Conte yang mempunyai DNA permainan bertahan dengan skema 3-4-3, Inzaghi mengubah gaya permainan Inter menjadi lebih dinamis.
Transisi antar lini yang saling melengkapi peran satu sama lain menjadi kunci gaya permainan Inzaghi.
Dalam skema menyerang Inter, posisi pemain bek tengah tak lagi bertugas untuk mengoper bola tapi membuka ruang dengan bergerak ke area kosong.
Pos yang ditinggalkan oleh bek tengah tersebut nantinya akan diisi oleh tiga gelandang bertahan yang saling bertukar posisi untuk menutup celah serangan balik.
Skuad yang berpengalaman juga membuat Inter kini untuk tiga musim terakhir bisa menjadi finalis Liga Champions. Sebelumnya Si Ular Besar mencapai babak final pada musim 2023.
Baca juga: PSG melaju ke final Liga Champions seusai kalahkan Arsenal
Baca juga: Inter Milan melaju ke final usai menang 4-3 atas Barcelona