Jakarta (ANTARA) - Pengumuman tarif terhadap perekonomian global yang dilakukan Presiden AS Donald Trump lebih dari sekadar petir di siang bolong.
Menurut pemberitaan BBC, mantan kepala ekonom di Dana Moneter Internasional (IMF), Ken Rogoff, menyatakan bahwa Trump dengan melakukan pengumuman tersebut sama saja dengan "menjatuhkan bom nuklir pada sistem perdagangan global".
Dasarnya, pemerintah AS telah menjatuhkan "tarif dasar minimum" sebesar 10 persen terhadap semua impor ke negara Paman Sam, serta adanya "tarif timbal balik yang lebih tinggi" untuk sekitar 60 negara.
Kebijakan tarif tambahan 10 persen itu akan mulai diberlakukan per 5 April 2025, sedangkan empat hari kemudian, tarif yang lebih tinggi kepada puluhan negara tersebut akan mulai berlaku.
Banyak negara yang akan dikenakan tarif tinggi hingga lebih dari 30 persen, seperti Kamboja (tarif sebesar 49 persen), Vietnam (46 persen), Thailand (36 persen), dan China (34 persen).
Indonesia juga terkena tarif sebesar 32 persen, karena dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki defisit perdagangan terbesar dengan AS.
Dengan langkah Trump tersebut, para ekonom telah berulang kali memperingatkan bahwa hal itu akan menyebabkan kenaikan harga konsumen, menimbulkan risiko inflasi dan resesi, serta gangguan pada rantai pasokan global.
Singkatnya, pengumuman tarif yang dilakukan oleh Trump tersebut telah menimbulkan volatilitas yang signifikan ke pasar keuangan global, hubungan internasional yang tegang, dan ketidakpastian ekonomi yang meningkat.
Dengan tidak membalas maka negara tersebut ke depannya berpotensi mengalami kerugian ekonomi dalam bentuk penurunan ekspor. Jika tarif secara khusus ditujukan pada industri-industri utama, negara tersebut dapat menghadapi penurunan pendapatan dan lapangan kerja di sektor-sektor tersebut.
Dengan tidak membalas, negara tersebut mungkin dianggap lemah atau tidak mau membela kepentingan ekonominya sendiri, sehingga negara agresor memiliki pengaruh yang lebih besar dalam negosiasi di masa mendatang.
Karena Australia tidak terkena tarif yang lebih tinggi seperti sejumlah negara di kawasan Asia termasuk China dan Indonesia, maka ada kemungkinan Australia dapat menyerap dampak ekonomi jangka pendek terhadap pemberlakuan tarif global AS.
Apalagi, dalam sejumlah kesempatan lainnya, PM Australia menyatakan bahwa negara ingin mendiversifikasi hubungan perdagangan di seluruh dunia, khususnya dengan negara-negara Indo-Pasifik.
Untuk itu, Albanese juga menyatakan bahwa dengan memperluas hubungan dagang itu akan membuat Australia tidak bergantung kepada satu negara sertu dapat meningkatkan hubungan di kawasan.
Itulah yang seharusnya dilakukan oleh banyak negara. Dengan menyadari bahwa pemerintahan Trump hanya akan terus mengandalkan ancaman tarif dalam hubungan perdagangan globalnya, maka lebih baik bila kerja sama dilakukan oleh mereka yang lebih memilih kelancaran dalam perdagangan.
Alangkah baiknya berbagai negara untuk fokus kepada diversifikasi hubungan perdagangan antara lain dengan menegosiasikan kesepakatan baru dengan negara atau kawasan lain yang mungkin menawarkan persyaratan lebih baik daripada negara yang mengenakan tarif dengan semena-mena dan seenaknya.
Baca juga: Pacu produksi pangan dalam negeri hadapi tarif impor AS
Baca juga: Ekonom: Perlu dubes untuk negosiasi aturan tarif AS
Baca juga: KSP nyatakan pemerintah antisipasi kebijakan tarif resiprokal AS dilakukan sejak dini
Baca juga: Perkuat perdagangan anggota BRICS di tengah tarif AS
Baca juga: Begini antisipasi pemberlakuan tarif AS terhadap produk Indonesia