Jakarta (ANTARA) - Tren tagar #KaburAjaDulu telah memicu banyak pembahasan mulai dari kalangan rakyat biasa hingga para pejabat negara yang berkomentar mengenai keinginan untuk mencari lahan penghidupan yang lebih baik selain di tanah air.
Salah satu dampak yang paling nyata berpotensi bila banyak yang menerapkan langkah #KaburAjaDulu adalah terjadinya brain drain, atau fenomena keluarnya tenaga berkualitas ke negara lain.
Padahal, bila menelisik kepada sejarah berbagai kebijakan yang dilakukan oleh sejumlah otoritas di benua Asia, sebenarnya ada banyak pelajaran penting yang bisa dipetik.
Misalnya di negara jiran Singapura, yang memiliki Scholarship Bond System di mana Singapura menawarkan beasiswa yang didanai pemerintah (seperti Beasiswa Public Service Commission atau PSC) kepada mahasiswa terbaik untuk menjalani pendidikan di universitas elite di luar negeri (seperti Harvard di AS atau Oxford di Inggris).
Namun sebagai imbalannya, para sarjana yang menerima beasiswa itu harus bekerja di Singapura selama beberapa tahun tertentu. Jika mereka memutuskan ikatan tersebut, mereka harus membayar kembali biaya beasiswa secara penuh (yang jumlahnya bisa mencapai ratusan ribu dolar).
Beasiswa yang paling bergengsi di Singapura adalah President's Scholarship, yang diberikan kepada sejumlah kecil siswa berprestasi setiap tahunnya. Banyak dari penerima President's Scholarship yang menjadi pejabat tinggi pemerintah sehingga berkontribusi penting kepada kebijakan nasional Singapura, salah satunya adalah mantan Perdana Menteri Goh Chok Tong.
Para penerima beasiswa tersebut sering bergabung dengan lembaga pemerintah terkait administrasi, luar negeri, dan pertahanan negara. Hal ini dinilai memastikan tersedianya sumber daya manusia yang mumpuni untuk menduduki posisi kepemimpinan di pemerintahan Singapura, serta dalam rangka membangun identitas dan loyalitas nasional di kalangan elite negeri, karena para penerima beasiswa dipilih dengan cermat berdasarkan keunggulan akademis, potensi kepemimpinan, dan komitmen terhadap Singapura.
President's Scholarship (yang akarnya dapat ditelusuri hingga ke Queen Scholarship pada 1885 oleh Kekaisaran kolonial Inggris Raya) kerap berfokus pada pemerintahan dan pelayanan publik, bukan bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics atau Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika). Hal tersebut membuat banyak insinyur, pakar AI, dan peneliti biomedis terkemuka di Singapura tidak memenuhi syarat untuk menerima beasiswa ini sehingga talenta yang berfokus pada teknologi acap menuju ke Silicon Valley di AS, China, atau Eropa.
Menitikberatkan sains-teknologi
Namun, bila melihat pelajaran dari otoritas lain di Asia, dapat dipelajari sejumlah contoh di mana mereka yang berbakat di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika juga dapat berkembang karena kebijakan yang mengantisipasi terjadinya brain drain. Ambil contoh Korea Selatan yang membangun sejumlah universitas riset dengan fokus kepada penelitian yang menitikberatkan kepada sains dan teknologi.
Korsel pada 1966 membangun Institut Sains dan Teknologi Korea (KIST), sebuah lembaga riset nasional pertama di Korea Selatan, yang didirikan dengan dukungan AS. Tujuannya adalah untuk mengembangkan teknologi dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada keahlian pihak asing.
Dampak dari pendirian KIST itu antara lain pada dekade 1970-an membantu berkembangnya sejumlah produksi industri seperti baja, bahan kimia, dan pembuatan kapal, sehingga menimbulkan kebangkitan sejumlah perusahaan seperti Hyundai (pembuatan kapal), POSCO (baja), dan Samsung (elektronik).
Tidak hanya berhenti di KIST, pemerintah Korsel pada 1971 juga mendirikan Korea Advanced Institute of Science (KAIS), yang kemudian menjadi KAIST, melalui pinjaman dari Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Fungsi utama dari lembaga pendidikan tersebut adalah untuk melatih ilmuwan dan insinyur tingkat lanjut serta mengembangkan struktur pendidikan pascasarjana di Korsel.
KAIST merupakan universitas sains dan teknologi pertama di Korea Selatan. Lembaga ini menjadikan MIT (Massachusetts Institute of Technology) di AS sebagai model guna melatih para insinyur dan ilmuwan kelas dunia.
Sinergi lembaga pendidikan-perusahaan
Dampak KAIST pada industri teknologi Korsel sangat besar, antara lain banyaknya lulusan KAIST yang menjadi pemimpin di perusahaan teknologi besar seperti Samsung, LG, dan SK Hynix. Selain itu, KAIST membantu Korea Selatan mendominasi industri semikonduktor, robotika, dan kecerdasan buatan atau akal imitasi/AI.
Baik KIST maupun KAIST dinilai menjadi salah satu faktor yang mengubah Korsel dari salah satu negara berpenghasilan rendah hingga menjadi salah satu negara yang unggul dalam teknologi global hanya dalam jangka waktu sekitar setengah abad kemudian. Lembaga-lembaga tersebut diakui telah memimpin kebangkitan Korsel dalam bidang semikonduktor, robotika, AI, dan pembuatan kapal, serta melatih para insinyur terkemuka yang membangun Samsung, LG, dan Hyundai menjadi merek global.
Namun yang paling penting, kedua institusi itu dinilai mencegah terjadinya brain drain dengan menciptakan peluang di dalam negeri, sehingga mengubah Korea Selatan menjadi salah satu negara dengan teknologi paling maju di dunia.
Serupa dengan Korsel, Taiwan juga memiliki Hsinchu Science Park (HSP) yang didirikan pada tahun 1980 untuk menciptakan pusat industri teknologi tinggi yang mirip dengan Silicon Valley. Terletak di Kota Hsinchu, sekitar 70 km barat daya Taipei, kota ini menjadi pusat industri semikonduktor dan elektronik Taiwan.
HSP menarik inovasi ke Taiwan antara lain dengan adanya insentif pajak, pendanaan dari otoritas, serta infrastruktur untuk perusahaan rintisan dan korporasi teknologi. HSP juga bermitra dengan universitas ternama seperti Universitas Nasional Tsing Hua dan Universitas Nasional Chiao Tung untuk memasok pekerja terampil yang berfokus kepada bidang industri semikonduktor, bioteknologi, optoelektronik, dan teknologi komputer.
Dengan adanya HSP dinilai turut membantu Taiwan menjadi pemimpin global di bidang semikonduktor, antara lain karena Taiwan menjadi produsen cip terkemuka di dunia untuk memasok perusahaan seperti Apple, NVIDIA, dan AMD. Pada tahun 2023 saja, Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) disebut memproduksi lebih dari 50 persen cip canggih di dunia.
Otomatis HSP juga mengubah Taiwan menjadi salah satu pusat manufaktur elektronik di dunia, di mana pada 2020 perusahaan-perusahaan yang ada di HSP dapat menciptakan hingga lebih dari 150.000 pekerjaan di bidang teknologi dengan gaji yang tinggi. Hal itu dinilai mengurangi brain drain. Banyak insinyur dan ilmuwan Taiwan yang bekerja di AS kembali ke Taiwan untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik.
Paling tren
Tagar #KaburAjaDulu yang dalam beberapa hari terakhir sempat bertengger sebagai topik paling tren di linimasa, jika direnungi lebih dalam, bukan sekadar kelakar anak muda yang jenuh, melainkan sebuah alarm sosial yang memantulkan keresahan kolektif.
Sebenarnya, ini memang bukan tren iseng, juga bukan sekadar candaan sambil lalu. Melainkan refleksi generasi yang mendapati negeri tempatnya lahir dianggapnya tak cukup menjanjikan masa depan yang cerah.
Jadi ini bukan soal kabur melainkan soal harapan yang mulai memudar atau kekecewaan yang sangat dalam.
Padahal di era digital yang penuh distraksi, sulit bagi sebuah bahasan atau wacana untuk bertahan lebih dari satu pekan.
Tapi #KaburAjaDulu bertahan, mengakar dalam percakapan, merayapi ruang-ruang diskusi.
Mengapa? Sebab ini bukan sekadar urusan ekonomi yang sedang lesu, melainkan sebuah rasa frustrasi mendalam terhadap arah kebijakan negara.
Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga Surabaya Suko Widodo mengatakan fenomena #KaburAjaDulu bisa saja muncul di kalangan anak muda Indonesia saat ini karena dipengaruhi oleh sikap semangat kebangsaan yang mulai goyah akibat keresahan mereka terhadap kondisi sosial ekonomi dan peluang kerja di dalam negeri.
Anak-anak muda juga melihat peluang di luar Indonesia lebih menggiurkan, misalnya tawaran memulai hidup baru di Jepang atau Kanada. Bukan karena mereka tak cinta negeri atau tak nasionalis, bukan karena mereka malas berjuang di negeri sendiri.
Sebuah survei yang dilakukan oleh JobStreet berjudul "Decoding Global Talent 2024: Tren Mobilitas Pekerja" mengungkapkan bahwa 67 persen orang Indonesia berminat untuk bekerja di luar negeri pada tahun 2023.
Alasan utama yang mendorong minat ini antara lain faktor ekonomi, pengembangan karier, kualitas hidup, serta keinginan untuk meningkatkan pengalaman dan jaringan global melalui lingkungan multikultural.
Lantas, solusi apa yang bisa dilakukan? Mungkin inilah saatnya negara melakukan audit besar-besaran terhadap kebijakan yang membuat generasi mudanya lebih memilih angkat kaki. Sederhananya, orang akan bertahan jika mereka melihat masa depan di sini.
Membangun harapan
Tagar #KaburAjaDulu populer di media sosial setelah banyak masyarakat yang sedang bekerja di luar negeri menyarankan netizen untuk mengikuti jejak mereka bekerja di luar Indonesia.
Tren tersebut meluas setelah sejumlah pihak menyebutkan banyak keuntungan bekerja di luar negeri, termasuk mendapatkan upah yang tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik.
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding mendorong peningkatan kapasitas pekerja migran Indonesia ketika merespons tren #KaburAjaDulu di media sosial.
Karding menganggap tren yang menyoroti tentang menariknya peluang kerja di luar negeri tersebut sebagai hal positif.
Namun, dia menekankan tentang perlunya bagi masyarakat untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan mereka sebelum memilih untuk bekerja di luar negeri. "Dengan catatan, masyarakat yang memiliki keinginan (untuk) terlebih dahulu meningkatkan keterampilan dan kemampuannya," kata dia.
Namun di luar itu, negeri ini sudah saatnya membangun kembali harapan agar tidak terlanjur memudar. Beberapa hal yang semestinya dilakukan di antaranya dengan mereformasi sistem ekonomi yang harus lebih konkret.
Wacana hilirisasi dan industri kreatif memang menjanjikan, tetapi jika kesempatan tetap dimonopoli segelintir orang, efeknya tak akan terasa luas.
Dibutuhkan kebijakan yang benar-benar membuka akses bagi anak muda untuk berdaya. Subsidi pendidikan bukan hanya untuk yang pintar, tetapi juga yang potensial.
Keterbukaan pasar tenaga kerja harus lebih luas agar kesempatan lebih merata. Dan yang terpenting, sistem yang menghargai keahlian, bukan koneksi.
Kemudian, negeri ini perlu mengoreksi budaya kerja. Negara maju menawarkan keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional, sementara di sini, kerap kali lembur tanpa batas dianggap dedikasi.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid menilai warganet yang mengikuti tren #KaburAjaDulu seolah menandakan kurangnya sikap patriotik dan cinta terhadap Tanah Air.
Pernyataan Nusron tersebut menanggapi tren warganet yang mengajak warga negara Indonesia (WNI) untuk menetap di luar negeri akibat situasi politik hingga ekonomi di Indonesia yang tak menentu.
"Kalau ada (tagar) Kabur Aja Dulu itu kan dia ini warga negara Indonesia apa tidak? Kalau kita ini patriotik sejati, kalau memang ada masalah kita selesaikan bersama," kata Nusron usai memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin.
Nusron menjelaskan bahwa kabur bukan menjadi solusi bersama jika ada persoalan yang harus diselesaikan. Menurut dia, tren tersebut menandakan sikap permisif warga negara yang tidak mau menyelesaikan masalah bersama.
Pemerintah, kata Nusron, terbuka terhadap masukan atau kritik yang diberikan masyarakat. Pemerintah pun siap berdialog jika ada isu atau masalah tertentu.
Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN menyatakan tren #KaburAjaDulu, di mana warganet mengajak WNI untuk menetap di luar negeri akibat situasi politik hingga ekonomi di Indonesia yang tak menentu, tidak akan mengancam penurunan populasi.
Sekretaris Kemendukbangga/BKKBN Budi Setiyono saat dihubungi melalui pesan singkat di Jakarta, Senin, mengatakan tren tersebut hanya sekadar luapan sesaat akibat ketidaktahuan warganet tentang prosedur panjang yang perlu ditempuh apabila ingin menjadi penduduk tetap di luar negeri.
“Saya kira tidak sampai sejauh itu, kecil kemungkinan untuk jadi ancaman penurunan populasi. Migrasi ke negara lain secara besar-besaran bukan suatu perkara mudah karena hanya orang yang memiliki kualifikasi tertentu yang dibutuhkan suatu negara bisa mendaftar visa kunjungan atau menjadi permanent resident (penduduk tetap) di suatu negara,” katanya.
Ia menegaskan, saat ini pemerintahan di bawah Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tengah bekerja keras melakukan penyesuaian anggaran agar program-program yang dijalankan dapat berjalan lebih efektif, optimal, dan tepat sasaran kepada masyarakat, utamanya para generasi muda.
“Pemerintah di bawah Presiden Prabowo justru sedang bekerja keras untuk menata masa depan generasi muda sebaik-baiknya. Kita justru sedang lakukan rightsizing (penyesuaian) anggaran agar pemerintahan berjalan lebih efektif dan program-programnya bermanfaat optimal bagi rakyat, jelas dan gamblang perintah Pak Presiden itu,” paparnya.
Namun, masyarakat perlu melihat tren #KaburAjaDulu dari sisi positif, karena fenomena brain drain yang muncul karena banyak generasi muda terdidik dan berbakat memilih untuk bekerja atau belajar di luar negeri justru dapat meningkatkan devisa negara.
“Itu (brain drain) justru akan memperluas diaspora, dan jejaring internasional, yang tentu saja bisa bermanfaat bagi negara,” ucapnya.
Kemendukbangga/BKKBN akan menanggapi fenomena tersebut sebagai masukan untuk bekerja lebih keras dalam rangka peningkatan kualitas SDM dan mengintegrasikan kebijakan kependudukan dengan ketenagakerjaan agar pengangguran berkurang.
“Kami juga melaksanakan berbagai program untuk meningkatkan kualitas pendampingan bagi anak muda (terutama generasi Z) dalam menghadapi tantangan sehingga tidak perlu meninggalkan negara untuk mencapai impian mereka,” tuturnya.
Baca juga: Gempuran tagar #KaburAjaDulu
Baca juga: Tren #KaburAjaDulu tanda warganet kurang cinta Tanah Air