Jakarta (ANTARA) - Di tengah derasnya arus informasi yang menggulung seperti ombak tanpa henti, pers Indonesia menghadapi tantangan dan peluang yang belum pernah ada sebelumnya.
Era digital telah mengubah wajah industri media secara fundamental. Dulu, redaksi surat kabar sibuk dengan mesin cetak dan deadline edisi pagi. Kini, mereka berlomba dengan kecepatan algoritma dan keterlibatan audiens di media sosial.
Transformasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di seluruh dunia, media bergulat dengan disrupsi digital.
Di Amerika Serikat, raksasa media seperti The New York Times berhasil bermetamorfosis menjadi kekuatan digital global dengan model berlangganan yang kuat.
Di Inggris, The Guardian memilih jalur donasi sukarela, mengandalkan solidaritas pembacanya untuk menjaga kebebasan pers tetap hidup.
Indonesia memiliki dinamika yang unik. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, sebagian besar mengakses berita melalui ponsel pintar, terutama dari platform media sosial seperti Facebook, Instagram, X, dan TikTok.
Namun, ketergantungan pada media sosial membawa risiko tersendiri yakni algoritma yang memprioritaskan keterlibatan sering kali mengedepankan sensasi daripada substansi.
Salah satu studi kasus yang menarik adalah bagaimana media-media mencoba beradaptasi. Kompas, misalnya, sebagai salah satu koran terbesar di Indonesia, mulai memperkuat kehadiran digitalnya melalui Kompas.id dengan model berlangganan yang bertujuan membangun loyalitas pembaca.
Sementara Tempo memanfaatkan kekuatan jurnalisme investigasi untuk menarik pembaca yang haus akan berita mendalam dan analitis, serta memperluas jangkauan dengan platform multimedia seperti video dan podcast.
Meski demikian, tantangan tetap ada dalam hal monetisasi konten digital di pasar yang terbiasa dengan akses gratis.
Dalam konteks ekonomi, industri pers di Indonesia menghadapi tekanan dari dua arah. Di satu sisi, pendapatan dari iklan menurun drastis karena migrasi anggaran pemasaran ke platform digital global seperti Google dan Facebook, yang mampu menawarkan target audiens yang lebih spesifik dengan biaya lebih rendah.
Di sisi lain, belum banyak media yang berhasil menemukan model bisnis berkelanjutan yang dapat menggantikan ketergantungan pada iklan tradisional.
Hal ini menciptakan ketimpangan, di mana media kecil kesulitan bertahan, sementara hanya segelintir pemain besar yang mampu beradaptasi.
Di Hari Pers Nasional ini, refleksi tentang masa depan pers Indonesia harus mencakup komitmen untuk terus berkembang secara profesional, etis, dan ekonomi.
Dengan memanfaatkan teknologi, memperkuat model bisnis, dan menjunjung tinggi prinsip jurnalistik, pers Indonesia tidak hanya bisa bertahan di era digital ini, tetapi juga berkembang menjadi kekuatan yang lebih relevan dan berdampak.
Masa depan pers ada di tangan mereka yang berani berinovasi tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi profesi ini.
Dalam menghadapi tantangan zaman, pers Indonesia harus terus menjadi cermin, suara, dan penuntun bagi masyarakat, sambil memastikan bahwa keberlanjutan ekonominya terjaga untuk generasi yang akan datang.
Selamat Hari Pers Nasional, insan media!
*) Penulis adalah Dosen Universitas Catur Insan Cendikia (UCIC) Cirebon.
Baca juga: Khofifah ajak pers bagikan pesan edukatif
Baca juga: Wamenkomdigi nilai HPN 2025 momentum kolaborasi hadapi disrupsi digital