Jakarta (ANTARA) - Tas Hermès Birkin telah lama menjadi simbolisasi kemewahan yang diidamkan banyak orang, ikon gaya yang menjadi lambang status sosial bagi mereka yang merasa layak “divalidasi.”
Namun, siapa sangka tren terbaru justru lahir dari sebuah tempat yang jauh dari aura eksklusif Hermès, tepatnya dari sebuah toko ritel di AS, Walmart.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan yang memantik rasa ingin tahu tentang bagaimana jika kemewahan tak lagi harus mahal dan apakah ironi bisa menjadi elemen baru dalam mendefinisikan gaya hidup?
Dengan harga mulai dari 78 hingga 102 dolar AS, tas ini menjadi opsi bagi mereka yang ingin memiliki “gaya Birkin” tanpa harus menjual ginjal.
Sebagai perbandingan, tas Birkin asli yang dirilis Hermès dihargai mulai dari 9.000 dolar AS, itu pun belum termasuk daftar tunggu panjang yang membuat barang ini semakin diinginkan.
Sejak diluncurkan, Walmart Birkin yang juga dijuluki Walmès itu memang telah menjadi topik pembahasan yang hangat di media sosial, dari TikTok hingga Instagram.
Para konsumen muda, khususnya Gen Z dengan cepat mengadopsi tas ini, menjadikannya simbol baru dari semangat ironis dan pemberontakan terhadap tradisi mode yang elitis.
Fenomena ini bukan sekadar tentang replikasi estetika. Ada narasi yang lebih besar yang dapat dibaca dari tren ini yakni bagaimana kemewahan didefinisikan ulang di tengah masyarakat yang semakin menolak eksklusivitas dan lebih mementingkan kreativitas serta aksesibilitas.
Dalam konteks Walmart Birkin, tas ini menjadi pernyataan budaya. Bukan karena ia mencoba menyamai status Hermès Birkin, tetapi karena tas ini menawarkan ironi dan humor di tengah obsesi dunia terhadap barang mewah.
Fenomena ini mirip dengan apa yang dikemukakan Profesor di bidang tekstil dan pakaian, serta periset Studi Perempuan, Gender, dan Studi Budaya di University of California, Davis, Susan B. Kaiser, dalam bukunya Fashion and Cultural Studies (2012). Ia menyebut bahwa mode tidak hanya dipahami sebagai pakaian, tetapi sebagai ekspresi budaya yang sering kali merespons ketidakadilan sosial dan ekonomi.
Mengapa tren ini terjadi? Boleh jadi dan sangat mungkin karena mulai ada pergeseran nilai dalam dunia mode. Di masa lalu, kemewahan diukur dari harga dan kelangkaan.
Hermès Birkin, dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah dan proses pembuatan yang sangat eksklusif, adalah simbol utama kemewahan konvensional. Namun, di era digital, nilai itu mulai digeser oleh kreativitas dan humor.
Walmart Birkin adalah bukti bahwa generasi muda tidak lagi menganggap fesyen sebagai sesuatu yang serius dan eksklusif, tetapi sebagai ruang untuk bermain dan mengekspresikan diri.
Kemudian, media sosial dalam hal ini juga memainkan peran besar dalam mendukung tren ini. Dalam dunia yang didominasi oleh visual, estetika menjadi elemen utama yang menggerakkan tren.
Konsumen tidak peduli dengan kulit asli atau proses pembuatan manual karena yang penting adalah bagaimana sebuah produk terlihat di Instagram atau TikTok.
Tas Walmart Birkin yang sederhana, dengan harga di bawah 50 dolar AS, bisa memberikan efek visual yang sama mencoloknya seperti Hermès Birkin saat diunggah di media sosial.
Hal ini menciptakan budaya konsumsi yang lebih inklusif, di mana siapa pun bisa tampil "mewah" tanpa harus menguras tabungan. Dan mungkin, “Walmart Birkin” adalah cara membalas dendam atas kemewahan yang selama ini terasa elitis.