Surabaya (ANTARA) - Pilpres 2024 agaknya cukup kencang mendorong Nahdlatul Ulama (NU) untuk masuk pusaran arus politik praktis, sehingga Pemilu 2024 mirip Pemilu NU, padahal NU merupakan ormas keagamaan.
Tak pelak, hal itu karena ada banyak kader NU dan kader yang "merasa" NU ada pada hampir semua pasangan calon yang ada. Ibarat Pemilu NU.
Misalnya, pasangan calon nomer urut 1 adalah Anies Baswedan yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang ketua umum PKB. Cak Imin adalah cicit dari pendiri NU, KH Bisri Syansuri (Pesantren Denanyar), sekaligus keponakan tokoh NU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan didukung Jusuf Kalla (mantan wapres/Mustasyar PBNU).
Lain halnya dengan pasangan calon nomer urut 2 yakni Prabowo Subianto yang meskipun tidak berpasangan dengan tokoh NU, tapi tim sukses yang ada melibatkan tokoh-tokoh NU, di antaranya Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Rais Aam Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah).
Prabowo juga menggandeng tokoh-tokoh NU yang lain dalam tim suksesnya, seperti Khofifah Indar Parawansa (Ketua Umum PP Muslimat NU/jubir dan "Mensos" era Gus Dur), dan Nusron Wahid (Ketua Umum PP GP Ansor 2010-2015).
Sementara itu, pasangan calon nomer urut 3 Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Prof Dr Mahfud Md (Menko Polhukam) yang merupakan tokoh intelektual NU dari Madura, Jatim.
Ya, "NU Politik" sangat dominan di Pilpres 2024, karena politisi NU ada dimana-mana.
Tidak hanya itu, NU yang ormas keagamaan itu agaknya memang selalu ditarik-tarik ke politik praktis pada setiap pemilu, karena NU memiliki massa riil dan NU juga memiliki sejarah pernah menjadi partai politik.
Pada Pemilu 1955, Partai NU pun masuk "tiga besar", karena pemenang Pemilu 1955 adalah PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Pada Pemilu 1971, Partai NU memiliki "suara terbesar" setelah Partai Golkar, padahal Golkar didukung negara dan aparat keamanan negara.
Saat terjadi fusi partai pada 1977 menjadi partai Islam (PPP), Golkar, dan partai nasionalis (PDIP), NU memperkuat fusi itu ke partai Islam dan ketika NU dirugikan dan keluar dari partai Islam justru partai Islam itu gembos. Semua itu menunjukkan bahwa massa NU itu riil.
Bahkan, NU memiliki peran politik kebangsaan yang riil sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, atau sebelum ada pemilu, karena berdirinya Republik Indonesia itu juga tidak lepas dari peran NU dengan Laskar Hizbullah/Sabilillah, yang memiliki "markas" di Blauran, Surabaya, pada 1945 dan "Markas Besar Oelama" (MBO) di Waru (perbatasan Surabaya-Sidoarjo pada periode 1945-1949.
NU Politik, Politik NU
Perubahan NU dari "NU politik" (partai) menjadi "Politik NU" (politik kebangsaan) itu dimulai dari Muktamar NU di Situbondo (1984), meski peran politik praktis itu masih tetap melekat, karena massa riil (santri, kiai, tarekat, dan pesantren) tetap diperhitungkan dari pemilu ke pemilu.
Godaan paling besar bagi NU atau ujian terbesar untuk aktivis dan pengurus NU adalah politik praktis, tapi NU memiliki jasa besar kepada negara, yakni NU selalu setia kepada negara ini dalam kondisi apapun dan bagaimanapun, sehingga Indonesia menjadi kuat karena ditopang kekuatan riil NU. Itulah NU.
Yang menarik, dukungan NU pada negeri ini memiliki basis agama, sehingga kuat. Artinya, kesetiaan atau kecintaan NU pada negeri ini didukung dengan sejumlah argumen agama sebagai "rumah tempat sujud", atau negara berbasis agama secara substansi, bukan negara agama.
Argumen agama yang pertama menguat di kalangan NU adalah pembentukan Komite Hijaz yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah untuk menemui Raja Ibnu Saudi di Hijaz (Arab Saudi) yang beraliran Wahabi untuk memurnikan agama dari musyrik/bid'ah, termasuk niat penguasa membongkar makam Nabi Muhammad SAW.
Untuk mengirim utusan itu diperlukan organisasi formal, maka dari sinilah cikal bakal kelahiran NU (Nahdlatul Ulama) pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H dalam pertemuan ulama Jawa-Madura di Bubutan, Surabaya.
Dari sejarah itu, tujuan kelahiran NU adalah menjaga ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), melindungi umat dari ajaran non-Aswaja yang mengancam Ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan Islam, dan membentuk umat berkarakter atau akhlak, untuk mencintai negeri sebagai "wadah" beragama.
Jadi, NU tidak hanya "NU politik", tapi juga ada "politik NU" yang terkait dengan masyarakat, dengan misi utama menjaga ukhuwah, menjaga Aswaja, dan menjaga akhlak, serta negara atau nasionalisme yang dijaga untuk kebaikan agama.
Adanya "politik NU" itulah yang diungkap tokoh NU Jatim H Choirul Anam (almarhum Cak Anam) dalam "buku babon NU" karyanya yang berjudul "Pertumbuhan dan Perkembangan NU" sebagai politik kebangsaan/nasionalisme.
Tiga motif NU
Bagi Cak Anam, ada tiga motif lahirnya NU. Pertama, motif agama, karena NU lahir atas semangat menegakkan dan mempertahankan Agama Allah SWT di Bumi Nusantara, meneruskan perjuangan Walisongo dalam mendakwahkan Islam yang toleran dan substansial.
Apalagi, Belanda-Portugal tidak hanya menjajah Nusantara, tapi juga menyebarkan agama Kristen-Katolik dengan sangat gencarnya. Mereka membawa para misionaris ke berbagai wilayah.
Kedua, motif Aswaja atau motif mempertahankan paham Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah, karena NU lahir untuk membentengi umat Islam, khususnya di Indonesia, agar tetap teguh pada ajaran Islam Ahlu al-sunnah wa al-Jama'ah yang damai dan berkarakter.
Dengan motif itu, maka umat tidak tergiur dengan ajaran-ajaran baru yang tidak dikenal pada zaman Rasul-Sahabat-Salafus Shaleh/ajaran ahli bid'ah, yaitu pembawa ajaran-ajaran bid'ah yang sesat.
Ketiga, motif nasionalisme, karena NU lahir dengan niatan kuat untuk menyatukan para ulama dan tokoh-tokoh agama dalam melawan penjajahan. Semangat nasionalisme itu pun terlihat juga dari nama Nahdlatul Ulama itu sendiri yang berarti "Kebangkitan Para Ulama".
Ya, nasionalisme ala NU itu ada sejak sebelum RI merdeka, karena para pemuda di berbagai daerah sudah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya, tetapi kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda yang bersifat nasionalis.
Organisasi bentukan para ulama itu dimulai pada tahun 1924, karena para pemuda pesantren (santri) mendirikan Shubban al-Wathan (Pemuda Tanah Air), yang kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), yang juga diikuti Laskar Hizbullah dan Sabilillah.
Tiga motif itu pula yang dinilai seorang Indonesianis, Martin van Bruinessen, telah mendorong lahirnya "Resolusi Jihad" yang tidak terlepas dari peran nyata Hizbullah dan berkumpulnya para kiai se-Jawa dan Madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) pada 21 Oktober 1945.
Rapat darurat sehari semalam di Bubutan itu mendeklarasikan seruan "jihad fi sabilillah" pada 22 Oktober 1945, yang belakangan dikenal dengan istilah "Resolusi Jihad".
Mustasyar PBNU KH Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) saat menghadiri Lailatul Ijtimak PWNU Jateng, 13 Januari 2024 menyatakan bahwa pola pikir NU itu seperti sikap kiai pesantren. Semua dilayani, menyediakan diri untuk masyarakat. Ulama tidak mengurusi politik saja, tapi bagaimana manfaat.
Ya, politik ala NU bukanlah politik praktis, meski ada sedikit kader yang menjadi politisi, karena fokus politik NU adalah politik tingkat tinggi, politik kebangsaan dan politik kerakyatan. NU sangat peduli kepada bangsa ini, karena Indonesia adalah tempat lahir, tempat tumbuh, tempat sujud. Layaknya rumah harus dijaga, bukan menjadi "posko politik".
Nahdlatul Ulama dan Pemilu 2024
Oleh Edy M Yakub Rabu, 17 Januari 2024 21:59 WIB