Makassar (ANTARA) - Inklusi keuangan, yang merupakan bagian dari kebijakan makroprudensial dalam upaya mendorong pemulihan ekonomi nasional (PEN), membutuhkan penguatan fungsi intermediasi.
Inklusi keuangan, menurut Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan Causa Imam Karana, tidak dapat dipisahkan dalam upaya membantu percepatan pemulihan ekonomi nasional pascapandemi COVID-19.
Perkembangan di lapangan menunjukkan bahwa intermediasi yang dilakukan oleh lembaga perbankan atau pembiayaan di Indonesia mengalami peningkatan pertumbuhan.
Hal ini didorong oleh sektor perbankan yang mampu meningkatkan efisiensi di tengah penaikan suku bunga sebagai kebijakan moneter, termasuk pertumbuhan penyaluran kredit perbankan, yang juga didukung oleh permodalan memadai sehingga mampu menekan risiko pasar kredit dan menjaga likuiditas.
Dampak ketidakpastian perekonomian global juga berpotensi meningkatkan risiko sistem keuangan Indonesia akibat adanya tiga kerentanan utama.
Ketiga kerentanan itu adalah peningkatan kebutuhan pembiayaan eksternal, kemudian korporasi yang berpotensi meningkatkan dampak volatilitas nilai tukar dan suku bunga global terhadap korporasi.
Yang lainnya, perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga yang masih menjadi sumber dana utama bank sehingga berpotensi membatasi ekspansi penyaluran kredit dan menimbulkan tekanan likuiditas.
Ketiga, kondisi saving investment gap yang negatif di tengah pasar keuangan yang belum dalam, berpotensi meningkatkan dampak dari volatilitas aliran dana asing ke sistem keuangan Indonesia.
Terlepas dari persoalan tersebut, pihak Bank Indonesia terus mendorong inklusi keuangan sebagai bagian dari kebijakan makroprudensial untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.
BI di daerah berperan terus mendorong inklusi keuangan di segala sektor termasuk pariwisata, misalnya, menerapkan sistem pembayaran dengan uang elektronik atau quick response kode Indonesia standard (QRIS) yang digagas BI sebelum pandemi COVID-19.
Pada saat itu implementasi QRIS di lapangan memang masih berjalan lamban namun terus mengalami kenaikan transaksi. Saat awal pandemi tahun 2020, transaksi via QRIS terpacu, menyesuaikan kondisi yang menerapkan pembatasan sosial.
Penerapan QRIS tersebut sekaligus menguatkan sektor pariwisata khususnya di kawasan wisata karst Rammang-Rammang di Kabupaten Maros, Sulsel.
Juga mendorong pelaku UMKM menggunakan uang elektronik ketika bertransaksi dengan para pengunjung pada medio Desember 2021.
Sejak itu digitalisasi keuangan mulai diimplementasikan di objek wisata karst terpanjang kedua di dunia ini setelah China.
Hal itu dibenarkan petugas loket di kawasan karst Rammang-Rammang, Ariani.
Untuk karcis masuk ke salah satu situs Geopark Maros Pangkep yang sudah mendapatkan pengakuan dari UNESCO itu, pengelola sudah menggunakan barcode dengan sistem pembayaran digital.
Begitu pula dengan UMKM yang ada di kawasan objek wisata tersebut, misalnya, kafe dan resor, juga sudah menggunakan QRIS untuk bertransaksi.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Maros Ferdiansyah, penerapan transaksi digital tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap upaya mendorong pemulihan ekonomi nasional. Pihaknya terus mendorong penguatan sistem transaksi keuangan digital.
Langkah tersebut di Sulsel, sedikit banyak, telah memengaruhi ekonomi di daerah ini yang pada triwulan I 2023--dibandingkan triwulan I 2022-- mengalami pertumbuhan 5,29 persen (year on year/yoy) atau di atas pertumbuhan nasional sebesar 5,03 persen.
Inklusi keuangan melalui transaksi digital QRIS, untuk wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua), yang dibawahkan oleh BI Sulsel selaku Regional Timur, mencatat frekuensi terbesar secara nasional.
Hanya penggunaannya ini menjadi tantangan karena, misalnya, penggunaan QRIS di department store oleh pendatang di KTI, namun perusahaannya ada atau terdaftar di Jakarta, sehingga yang terbaca adalah Jakarta, meskipun transaksinya di KTI.