Sikap Joko Widodo (Jokowi) yang mendatangi para pemimpin partai
politik di Koalisi Merah Putih (KMP) dapat dikatakan sebagai
suatu permulaan yang sangat baik untuk terwujudnya rekonsiliasi
nasional.

Pada berbagai media telivisi, kita semua juga dapat melihat
secara utuh bahwa "pandangan mata", "gerak tubuh" dan "suara"
serta "isi ucapan" yang disampaikan oleh Jokowi dan Prabowo
Subianto sebagai tokoh sentral yang sedang hangat diperbincangkan
dapat digolongkan secara objektif termasuk suatu komunikasi
politik yang tulus.

Terlepas dari masih adanya sebagian di antara kita yang masih
"meragukan" ketulusan antara Jokowi dan Prabowo tersebut, tidak
sedikit pula di antara kita yang mempercayainya serta merindukan
langkah awal "rekonsiliasi politik" tersebut bisa diikuti pula
oleh para anggota "barisan politik" (dari kedua belah pihak) yang
telah terlanjur  "khilaf" dan terlalu bersemangat menyudutkan
ataupun "menghinakan" pihak lain selama perseteruan politik, 3-4
bulan yang lalu.

Tentu akan sangat indah dan menyejukkan rasanya bagi kita semua jika
tokoh-tokoh kunci lainnya juga mau secara terbuka menyatakan khilafnya
karena telah terlalu vulgar dan agitatif mendiskreditkan pihak lain.

Mudah-mudahan Allah Yang Maha Esa berkenan membuka mata dan pintu
hati mereka semua untuk benar-benar mau mengulurkan tangan
meminta maaf dan saling memaafkan atas khilaf mereka
masing-masing.


Pemeo, Dinamika dan Hakikat Politik

Selama masa pilpres yang lalu, kita semua telah menjadi saksi berbagai
pemeo politik di dunia telah terjadi secara utuh di negara kita.
Anggapan "segalanya halal demi kekuasan dan jabatan" telah kita
saksikan bersama melalui perilaku "kutu loncat" dan perilaku "khianat"
yang dilakukan oleh beberapa oknum tertentu.

        Ungkapan "politik itu kotor" juga telah kita saksikan melalui
perilaku "zero sum game" yang saling "menyandera" dan bahkan ada
yang "memfitnah" serta melakukan "pembunuhan karakter" dengan
sangat berlebihan dan vulgar pula.

Pemeo "politik itu cair" bukan saja hanya telah menjadi bahan
lelucon bagi kita melainkan juga telah menyadarkan kita tentang
betapa masih banyaknya para "politikus karir" di bangsa kita yang
tergolong "tong kosong nyaring bunyinya" dan terlalu sering
mengambil sikap --apa yang disebut Orang Minang-- perilaku
"gadang arang" (besar mulut) belaka.

Demikian juga dengan pemeo "free rider" telah dengan nyata telah
kita saksikan dari perilaku para narasumber dan akademisi yang
telah ikut meramaikan perseteruan politik yang terjadi selama
proses pilpres yang lalu.

Apakah "politik" itu sedemikian buruknya, serta mengapa pula kita
semua selalu terperangkap dalam berbagai pemeo global tersebut?
Apakah kita memang perlu berpolitik dan mempertahankan kata
"politik" tersebut dalam perbendaharaan hidup kita?

Jika kita mencermati berbagai buku pelajaran tentang politik yang
beredar saat ini, maka nampaknya memang hanya tinggal sebagian kecil
saja buku yang masih secara tegas mengungkapkan bahwa sesungguhnya
"politik" adalah suatu kebutuhan dasar manusia, dengan tujuan mulia
berupa tercapai kemadanian bersama.

Sebagian besar buku yang ada nampaknya lebih suka hanya
mengajarkan berbagai teori dan metoda untuk "memenangkan"
pertarungan politik, ataupun malah terperangkap dalam diskursus
semantik dan dialektikal tentang dinamika politik yang terjadi.

Jika kita tertarik untuk merenungkan dan mencari hakekat serta
contoh terbaik tentang politik, maka barangkali ada baiknya jika
kita mau membuka kembali catatan ilahiah tentang bagaimana Tuhan
Yang Maha Esa mengatur hidup dan kehidupan seisi jagad raya ini.
Jika kita renungkan dengan jernih, apapun agama kita, maka tentu
kita akan sepakat bahwa sesungguhnya "politik" itu pertama kali
telah diajarkan oleh Dia Yang Maha Pencipta.

Sehingga kita tidak perlu menjadi heran mengapa pula kosa kata
"politik" menjadi hadir dalam kehidupan kita di dunia ini.

Dalam Islam --sebagai contoh salah satu referensi berfikir dan
merenung-- telah diajarkan bahwa Allah Sang Maha Pencipta telah
menetapkan tiga "aturan dasar" (sebagai salah satu wujud "produk
politik"), yaitu aturan "habblumminallah" (tatanan aturan
hubungan Allah SWT sebagai Sang Maha Pencipta dengan manusia
sebagai salah satu makhluk yang diciptakan-Nya), aturan
"habblumminannaas" (tatanan aturan sesama manusia sebagai
khalifah di muka bumi), serta "sunnatullah" sebagai aturan dasar
yang berlaku bagi semua makhluk yang diciptakan-Nya.

Terlepas dari perbedaan agama dan pemahaman yang ada maka
kesadaran pola "aturan ilahiah" tersebut sesungguhnya dengan
mudah dapat kita kenali pada setiap ajaran agama yang ada di
negeri kita ini; yang tentunya pasti juga telah diajarkan setiap
saat pada kelompok agama masing-masing.

Pada tulisan tedahulu telah kita diskusikan pula bahwa meskipun
Tuhan itu adalah Maha Kuasa ternyata Dia melakukan "proses
demokrasi" secara jujur dalam menciptakan segala makhluk yang Dia
ciptakan, yaitu dengan cara melakukan "dialog" terlebih dahulu
dengan setiap makhluk yang akan Dia ciptakan.

Di sisi lain, dalam keseharian kehidupan berbangsa dan bernegara
selama ini, kita juga tak henti-hentinya diingatkan oleh para
pemuka agama kita tentang tiga "aturan dasar" yang telah
ditetapkan Tuhan sebagai kisi-kisi hidup dan kehidupan kita di
dunia ini. Namun demikian, mengapa selama ini kita selalu lebih
suka mencontoh dan meniru serta membiarkan diri kita terperangkap
dalam "pola politik syaitan dan iblis"?

Dalam berbagai agama telah diajarkan bahwa "rasa iri" dan "rasa
sombong" pada syaitan dan iblis bukan saja telah berujung pada
pembangkangannya pada Ilahi, melainkan juga selalu diikuti dengan
perilaku berbohong dan menipu, menghasut dan mengadu domba, menghujat
dan membunuh, dan lain sebagainya termasuk perilaku tamak dan
menjajah.

Adam dan Hawa telah dibohongi dan ditipu oleh syaitan dan iblis;
sedangkan anak lelaki Adam dan Hawa telah tergelincir dalam rasa
iri serta masuk kedalam perangkap iblis untuk menghujat dan
membunuh saudara kandungnya sendiri.

Dalam Islam --sebagai salah satu referensi untuk berfikir dan
merenung-- telah dengan tegas dikatakan oleh Allah bahwa Dia akan
memberi rezeki pada semua makhluk-Nya, termasuk yang melata, Dia
beri tahu tempatnya dan Dia beri tahu pula caranya. Dan, juga
telah Dia ingatkan bahwa pada sebagian harta kita ada harta orang
lain.

Namun demikian, mengapa kita masih lebih suka mengikuti bujukan
syaitan dan iblis untuk berbuat tamak dan menjajah atas anak
bangsa kita sendiri?

Demikian juga halnya dengan "kenaifan" kita dalam menentukan pola dan
tatanan aturan (sebagai salah satu "produk politik") dalam menyusun
langkah bersama untuk menuju kemadanian bersama. Jika kita telaah
proses pengelaborasian suatu produk hukum, maka nampaknya
"compang-camping" nya berbagai produk hukum yang kita miliki saat ini
barangkali adalah bukan karena kebodohan akal dan fikiran kita dalam
menentukan serta menetapkan hukum yang harus kita patuhi bersama,
melainkan barangkali lebih disebabkan oleh karena terjeratnya kita
dalam pola "politik syaitan dan iblis".

Semua itu menjadi sempurna buruknya ketika dalam "perjalanan
politik" ternyata kitapun lebih suka mengotori "alam spiritual"
kita; yang di antaranya melalui perilaku, yang telah menjadi
rahasia umum, berupa pesta "topeng agama" (yang memicu tajamnya
politik agama serta etnik) maupun perilaku penyalahgunaan
kemampuan supranatural dan perdukunan untuk menggapai dan/atau
mempertahankan kekuasaan.


Menuju Kemadanian Politik

Tanpa mengurangi tingginya harapan kita untuk bisa segera terciptanya
kemadanian politik berbangsa dan bernegara di negeri kita ini
--melalui langkah awal rekonsiliasi politik sebagaimana telah
dicontohkan oleh Jokowi dan Prabowo beberapa hari yang lalu -- maka
barangkali tidak ada salahnya jika kita cuatkan satu pepatah dari Muna
(Sulawesi Tenggara) berikut, yaitu: "Hansuru-hansuru bada sumanomo
koemo hansuru liwu. Hansuru-hansuru liwu sumanomo koemo hansuru
adhati. Hansuru-hansuru adhati, sumanomo koemo hansuru sara.
Hansuru-hansuru sara sumanomo notangka agama".

Secara harafiah arti pepatah tersebut adalah "Hancur-hancurlah
badan kami asal jangan hancur negeri kami. Hancur-hancurlah
negeri kami asal jangan hancur adat istiadat kami. Hancur-hancur
lah adat istiadat kami asalkan jangan hancur
pemimpin/pemerintahan kami. Hancur-hancurlah
pemimpin/pemerintahan kami asalkan agama kami tetap tegak".

Pepatah tersebut bukan hanya menggambarkan potensi kehancuran yang
akan terjadi jika kita semua gagal membangun kemadanian politik
berbangsa dan bernegara, melainkan juga menggambarkan keteguhan jiwa
manusia dalam mempertahankan hidup dan matinya dengan dasar keyakinan
agama yang dia miliki.

Atas hal itu, maka  kita patut segara menyadari berbagai khilaf
politik yang telah banyak kita lakukan selama ini. Kita juga
perlu menyadari bahwa sesungguhnnya anak bangsa negeri kita
sangat mencintai pemimpinnya, di mana posisi para pemimpin sangat
strategis dalam banyak hal.

Di sisi lain, kita juga perlu menyadari bahwa manusia tidak bisa
ditindas, karena secara genetis di dalam diri setiap manusia
telah tertanam rasa kecintaan dan kekuatan Tuhan yang
menciptakannya.

Jika dalam keseharian saja kita telah menyaksikan banyak manusia
yang sangat berani "membangkang" pada Tuhan-Nya, maka jangan
heran jika "penjajahan" oleh sesama manusia (baik oleh bangsa
sendiri maupun oleh bangsa asing) pasti akan dilawannya hingga
titik darah penghabisan.

Tentunya tidak satupun di antara kita yang menginginkan
kehancuran beruntun seperti yang digambarkan dalam pepatah
tersebut di atas, bukan?
    Sebagai salah seorang anak bangsa, barangkali penulis tidaklah
sendirian dalam berharap untuk segera bisa terwujudnya kemadanian
politik berbangsa dan bernegara di negeri kita ini.

Untuk itu, peran sentral para pemimpin tentunya menjadi sangat
kita harapkan. Atas hal ini, tidak akan salah jika ada anak
bangsa yang berfikir bahwa tugas utama Jokowi sebagai Presiden
setelah dilantik pada Senin (20 Oktober) bukan membentuk dan
menentukan strutuktur kabinet serta menetapkan para menteri yang
akan menjadi kekuatan kabinet yang dipimpinnya, melainkan dalah
melanjutkan rekonsiliasi nasional (rekonsiliasi kamar pertama)
yang telah dimulainya sejak beberapa hari yang lalu.

Hal tersebut bukan hanya untuk menjadi indikator penting atas
niat baik serta kesungguhannya untuk melakukan rekonsiliasi,
bukan pula hanya akan memberikan citra positif yang sangat besar
bagi dia, melainkan juga akan menjadi bukti bahwa dia bukanlah
boneka partai serta hanya individu yang lemah seperti yang
diisyukan beberapa pihak selama ini.

Di sisi lain, bagi para "politikus senior" barangkali
rekonsiliasi nasional tersebut bukan hanya akan menjadi
kesempatan emas untuk menunjukkan kecintaan pada negeri dan
bangsa sendiri, melainkan juga akan menjadi peluang terbaik untuk
menjalani masa senja kehidupan menjadi lebih baik dari sekedar
posisi "harimau mati meninggalkan belang".

Ada pun bagi "politikus yunior", proses rekonsiliasi nasional
(kamar pertama) tersebut haruslah disambut sebaga suatu proses
pembelajaran terbaik untuk menuju kecemerlangan masa depan
bangsa.  Demikian juga halnya dengan para "netizer" yang telah
ikut bermain dalam politik praktis sebaiknya berkenan untuk
mengganti pola hiruk pikuk perbedaan dan/atau euforia kemenangan
dengan bertafakur bersama agar kiranya Allah SWT berkenan
membukakan mata dan pintu hati para pemimpin kita untuk bersatu
padu memimpin pembangunan bangsa dan negara kita secara baik dan
benar. Aamiin ya Rab.


*)Salah satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo), saat
ini Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB)

Pewarta: Dr Ir Ricky Avenzora, M.Sc

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014