Bogor (Antara Megapolitan) - Kementerian Pertanian terus berupaya mewujudkan pertanian berkelanjutan yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim, salah satu kebijakan yang ingin didorong dengan menggerakkan rakyat untuk melakukan penghematan dan panen air.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono dalam kegiatan Workshop Penanganan Dampak Perubahan Iklim Sektor Pertanian dengan tema "Gerakan Panen dan Hemat Air Untuk Peningkatan Produksi Pangan Menghadapi Perubahan Iklim" di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.

"Salah satu rumusan yang ingin kita dengarkan dari workshop ini adalah bagaimana hemat dan panen air ini menjadi gerakan rakyat untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan," kata Hari.

Hari menyebutkan perubahan iklim global sudah nyata dan menjadi ancaman bagi pembangunan pertanian ke depan. Dampak perubahan iklim terjadi pada perubahan pola hujan, intensitas curah hujan bulanan dengan keragaman dan deviasi yang semakin tinggi.

Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pergeseran awal musim hujan, dan musim kemarau, serta meningkatkan frekuensi kejadian iklim ekstrim, curah hujan, banjir rob, dan angin.

"Ancaman banjir yang sering terjadi pada area sawah menyebabkan berkurangnya area tanam dan produksi, karena menjngkatnya hama dan serangga," katanya.

Menghadapi situasi itu lanjutnya, konsep pembangunan pertanian ke depan dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim, Kementerian Pertanian mengembangkan bioindustri.

"Dengan bioindustri diharapkan ketahanan pangan nasional dapat dipertahankan walaupun ada dipengaruhi oleh perubahan iklim," kata Hari.

Lebih lanjut Hari mengatakan workshop yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) bekerja sama dengan Kementerian Pertanian berupaya untuk mendiskusikan bahwa perubahan iklim harus diantisipasi dengan perubahan sistem usaha tani.

"Bergesernya musim hujan, intensitas curah hujan yang meningkat, maka pola pertaniannya juga harus disesuaikan," katanya.

Terbatasnya daya dukung air karena penggundulan hutan, dan mendangkalnya aliran sungai, maka perlu dipikirkan untuk mengelola air dengan baik. Istilahnya panen air, tidak membiarkan air terbuang ke laut, baik dari hujan, maupun hulu harus bisa dimanfaatkan.

Hari mengatakan beberapa negara maju telah mengembangkan itu air dapat didaur ulang dipakai lalu diperbaharui, dan dipakai kembali. Sangat berbeda di Indonesia, air dipakai sekali langsung mengalir ke laut.

"Antisipasi kelangkaan air perlu dipikirkan langkah untuk panen air dari curah hujan, saluran pembuangan dan hulu sungai bisa dimanfaatkan agar bisa mendukung usaha pertanian yang ada," katanya.

Upaya selanjutnya yakni hemat air, di mana pada saat-saat tertentu tidak perlu penggenangan air di sawah yang terpenting adalah air tersedia mengikuti pertumbuhan tanaman.

Menurut Hari, perlu ada perubahan cara pandang terhadap perubahan iklim tidak hanya sebagai ancaman saja, tetapi juga sebagai peluang. Dengan air terbatas, pola usaha petani terbatas, maka petani perlu mencoba menanam komoditi yang mampu menghemat air.

"Misalnya hortikultura, palawija yang tidak butuh banyak air seperti padi yang rakus terhadap air. Termasuk juga sawit. Perlu kita rumuskan bagaimana pengelolaan air di lahan perganian dan perkebunan sawit sehingga berkesinambungan," kata Hari.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017