Bogor (Antara Megapolitan) - Keberadaan Sungai Ciliwung memilki arti penting tidak hanya bagi warga bagian hulu yakni Bogor, tetapi juga kawasan Hilir DKI Jakarta, jejak keberadaannya telah diakui sebagai benteng alam sejak zaman kerajaan Pajajaran.

"Ciliwung Bogor sejatinya kental nilai historis, magis dan dihormati para pendahulu. menjadi salah satu dari empat benteng alam kerajaan Pajajaran," kata Anggit Saranta, aktivis Komunitas Peduli Ciliwung (KPC) Bogor, di Sabtu.

Dalam buku sejarah yang ditulis Sejarawan Bogor, Saleh Danasasmita (1933-1986) meriwayatkan keberadaan Ciliwung. Bahkan pada saat Pajajaran (1482-1567) masih berdiri sebagai kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa.

Kesultanan Banten memerlukan waktu 40 tahun lebih untuk bisa masuk ke ibukota Pakuan, sebagai pusat wilayah Pajajaran. Keberadaan dua sungai besar Ciliwung dan Cisadane ditambah Gunung Salak dan Pangrango menjadi kekuatan pertahanan kerajaan Pajajaran.

"Ekspedisi Kapten Adolf Winkler (1690) membuktikan letak ibukota Pakuan diantara dua sungai besar ini," kata Anggit.

Ia mengatakan, jejak Ciliwung juga tertuang dalam ekspedisi lanjutan yang dilakukan Scipio pada 1 September 1687 dan Tanuwijaya bersama pasukan `pekerja` -nya. Tanuwijaya adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (1684-1691) untuk membuka Hutan Pajajaran.

Dikisahkan, karena rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan membuatnya menghentikan okupasi di sisi utara Ciliwung.

"Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di daerah hulu (Ciawi dan Cisarua)," katanya.

Selanjutnya Tanuwijaya mendirikan sebuah perkampungan di sisi utara Ciliwung yang dalam paparan sejarah Bogor dikenal sebagai `Kampung Baru' yang menjadi cikal bakal terbentukanya pemukiman Bogor.

Saat pemerintah VOC mengincar komoditi kopi sebagai penyelamat keuangan paska jatuhnya harga gula di pasaran dunia tahun 1720, tahun 1721 atau dua tahun sebelum dipaksakannya Preangerstelsel tanah-tanah di Kampung Baru telah memberikan hasil kopi sebesar 61.000 pikul.

"Kopi-kopi ini umumnya ditanam di ladang-ladang yang tak jauh dari Ciliwung dan anak alirannya," katanya.

Menurut Anggit, tanah yang subur dengan ketersediaan air yang cukup menjadi alasan kenapa Bogor menjadi penting dalam setiap tahapan politik penguasa saat itu.

Pada satu waktu di tahun 1745 Bupati Demang Wartawangsa yang tengah berupaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kesejahteraan rakyat Bogor yang berbasis pertanian. Menggali terusan dari Ciliwung dari Katulampa ke Cimahpar sampai Nanggewer.

"Aliran Ciliwung yang konsisten ditujukan untuk menyuplai lahan pertanian di Cimahpar dan sekitarnya melalui Kali Baru," katanya.

Ia menamnahkan, sejarah pemanfaatan aliran Ciliwung berlanjut di Agustus 1776. Saleh Danasasmita mencatat adanya karya besar warga kota yang berhasil mempertemukan alur Cisadane dengan Ciliwung, yaitu dengan menggali terusan dan memotong alur Cipakancilan. Kemudian berbelok dan meneruskan aliran hingga daerah Warung Jambu.

Sebelum airnya tumpah ke Ciliwung aliran dari Cisadene itu dibelah menjadi dua dan sebagian airnya dibelokkan kearah Cipakancilan lewat kanal panjang. Maka berbaurlah air dari tiga sungai : Ciliwung-Cipakancilan-Cisadane yang dimanfaatkan untuk pengairan sawah di daerah sekitar Kedung Badak.

"Saluran buatan ini kemudian dipecah dua dengan kanal Cidepit yang airnya mengalir kembali ke Cisadane," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017