Institut Pertanian Bogor (IPB) University mengajak multipihak atau pentahelix berkonsentrasi mengatasi kekerasan fisik, seksual, perundungan dan intoleransi yang terjadi di masyarakat luas, khususnya dunia pendidikan.

IPB pun menggelar seminar solusi dan strategi mengatasi isu tiga dosa di bidang pendidikan (intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual) di IICC Botani Square Bogor, Senin.

"Tadi sudah kami sampaikan dua dari tiga anak di Indonesia ini pernah mengalami kekerasan fisik. Dan angka itu sangat berbahaya dan dari itu IPB merasa perlu sebagai perguruan tinggi ya, mengisi informasi di ruang publik bagaimana mengatasi masalah tersebut," kata Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan IPB Profesor Deni Noviana di sela kegiatan seminar tersebut.

Baca juga: IPB raih 11 penghargaan di Ajang PR Indonesia Award 2023

Deni menyatakan IPB sendiri melakukan hal-hal yang ril dengan membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sebagai bentuk komitmen perguruan tinggi yang tidak menginginkan tiga hal tersebut terus terjadi.

Wakil rektor IPB itu menyampaikan, di kampusnya juga ada beberapa kejadian di antara tiga jenis kekerasan tersebut, namun dapat diselesaikan dengan pendekatan persuasi secara internal melalui Satgas yang dibentuk.

"Bahwa IPB sudah membentuk satgas itu ya, itu dari kami bentuk komitmen. Mudah-mudahan hal seperti itu bisa diduplikasi oleh perguruan tinggi yang lain dan lembaga bahwa kekerasan fisik itu harus dieliminasi bahkan dihilangkan dari dimulai dari lingkungan paling kecil," katanya.

Baca juga: Hanter IPB undang 1.200 orang anggotanya pada Hari Pulang Kandang

Menurut Deni, perguruan tinggi dan multipihak perlu bersama-sama mengatasi perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi karena perhatian pemerintah juga sudah sangat besar dengan memberikan peraturan-peraturan yang bisa menjadi acuan.

Mengenai kekerasan, telah ada Kepres nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan konvensi hak anak, Undang-Undang nomor 23 tahun 2022 tentang perlindungan anak, Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak.

PP nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana

Peraturan Pemerintah (PP) nomor 70 tahun 2020 Perempuan dan Anak tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, serta PP nomor 78 tahun 2021 tentang perlindungan khusus bagi anak

Baca juga: Bima Arya ajak alumni Peternakan IPB kolaborasi bangun daerah bersama Pemkot Bogor

"Terakhir sudah ada perpres, sebelumnya juga ada Kemendikbud, itu artinya suatu komitmen dari pemerintah. Namun apa pun peraturan itu, yang penting kan bagaimana kita menjalankan itu. Dan hari ini kita sebagai perguruan tinggi melibatkan pentahelix ya, (di antaranya) ada lima unsur, ada perguruan tinggi, ada pemerintah, ada swasta, itu sangat peting agar program pemerintah juga berhasil," jelasnya.

Akan tetapi, lanjutnya, ketika sudah sampai kepada multipihak tersebut, yang paling penting adalah unsur yang paling kecil, yaitu unsur keluarga.

"Jadi lingkungan keluarga itu harus dibuat nyaman untuk anak. Jadi pendidikan yang paling penting adalah pendidikan di keluarga dulu. Bahwa pendidikan itu bukan hanya ilmu (pengetahuan) formal, tapi bagaimana anak-anak itu merasa nyaman," demikian Deni Noviana.

Pewarta: Linna Susanti

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023