Jakarta (Antara Megapolitan) - Selain berkelompok dan terorganisasi, teroris kini makin nekat melancarkan aksinya secara individu alias perorangan.

Nur Rohman, pengendara motor yang meledakkan bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Surakarta pada hari terakhir Ramadhan lalu atau 5 Juli lalu, merupakan salah satu contohnya.

Contoh lain akhir-akhir ini merebak di Eropa, seorang warga Jerman keturunan Iran berusia 18 tahun menembak mati sedikitnya sembilan orang pada Jumat (22/7) dengan menembaki pengunjung Olympia, pusat perbelanjaan terbesar di Munchen.

Saat perayaan Hari Nasional di Nice, Prancis, pada 14 Juli lalu, seorang pengemudi Lahouaiej-Bouhlel, 31 tahun asal Tunisia, mengendarai truknya dengan menabrak orang-orang dan kendaraan di depannya sehingga menewaskan 84 orang.

Tentu saja teror itu amat mengerikan sehingga perlu kewaspadaan terhadap individu-individu yang ditengarai terkait dengan kegiatan terorisme.

Kelompok atau organisasi yang diduga teroris kerap diperangi seperti Al-Qaeda dan ISIS, namun secara individu, para simpatisannya, bergerak secara perorangan sehingga bila tak diwaspadai akan menjadi persoalan.

Butuh kemampuan untuk mendeteksi secara maksimal terhadap orang per orang, namun bila dalam mewaspadai tidak berlangsung secara cermat justru akan menimbulkan masalah baru yakni saling mencurigai antarsesama individu.

Pemberangusan kelompok atau organisasi teroris membuat kondisi belum tentu aman dari ancaman teroris, karena sel-sel jaringan kelompok lain boleh jadi sedang menghimpun kekuatan untuk menebar ketakutan publik melalui serangkaian ancaman teror.

Sel-sel itu bisa bergerak secara perorangan, apalagi keanggotaan kelompok atau organisasi teroris internasional itu berasal dari banyak negara.

Memberantas teroris atau mereka yang berpaham radikal yang melakukan tindakan anarki, merupakan langkah penting yang selalu diambil pemerintah dan aparat keamanan, namun upaya pencegahan merupakan langkah yang jauh lebih penting dilakukan.

Penyelenggaraan "International Meeting for Counter Terrorism" alias Pertemuan Internasional Melawan Terorisme yang hari ini sedang berlangsung di Nusa Dua, Bali, juga membahas soal ancaman teroris individual.

Pertemuan tersebut diikuti oleh para peserta dan pembicara dari 20 negara seperti Australia, AS, Belgia, Belanda, Prancis, Rusia, Tiongkok, Selandia Baru, Turki, India, Filipina, Inggris, Malaysia, Pakistan, dan Kanada. Selain itu juga turut hadir tiga organisasi internasional yakni ASEAN, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Interpol.

Pada forum itu, pemerintah Indonesia mengajak komunitas internasional mengantisipasi teroris individual yang sebelumnya bergabung dalam ISIS, sebagai tantangan baru dalam menanggulangi terorisme lintas negara.

Menarik apa yang disampaikan oleh Menkopolhukam Wiranto pada forum itu bahwa teroris individual itu merupakan fenomena baru dalam terorisme yang dikenal "lone wolves".

Menjadi logis ketika kekuatan ISIS digempur lalu anggota-anggotanya kembali ke negaranya atau negara lain lalu secara individual menebar terorisme sehingga sulit untuk diantisipasi.

Kembalinya anggota ISIS ke negaranya masing-masing menciptakan fenomena baru yang dikenal "lone wolves". Fenomena ini tantangan baru yang perlu kita antisipasi.

Menurut Wiranto, beberapa di antara "lone wolves" tersebut merupakan anggota ISIS yang pernah berperang di Suriah dan Irak, beberapa lainnya direkrut oleh ISIS dan yang lainnya menjadi radikal setelah didoktrin melalui media sosial oleh kelompok ekstremis.

Hal tersebut memerlukan perhatian serius dan membutuhkan kerja sama lanjutan.
                                                    
Perhatian bersama

Masalah terorisme menjadi perhatian bersama komunitas internasional, termasuk Indonesia. Terorisme terus memberikan ancaman serius, tidak hanya bagi perdamaian dan keamanan internasional tetapi juga pada pembangunan sosial ekonomi.

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang telah menyebabkan kerugian besar dan memakan banyak korban jiwa, namun tidak ada satu negarapun yang kebal terhadap terorisme.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia memandang bahwa semua negara dan organisasi internasional perlu meningkatkan kerja sama dalam mengatasi masalah terorisme.

Melalui pertemuan kontraterorisme yang akan diadakan di Bali itu, negara peserta membahas upaya untuk meningkatkan kemampuan bersama dalam mencegah terorisme, khususnya dalam mengatasi pergerakan teroris yang tidak terkendali.

Kegiatan dalam pertemuan kontraterorisme itu meliputi pertukaran pandangan dan berbagi informasi intelijen, pembelajaran bersama, dan juga contoh praktik terbaik dalam menangani terorisme, termasuk soal informasi pendanaan terorisme, penyelundupan senjata, kontra radikalisasi dan deradikalisasi.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa terorisme seakan tumbuh subur dan menjadi ancaman terbesar bagi masyarakat dunia?

Tidak berlebihan bila soal individualisme turut berpotensi melahirkan radikalisme dan terorisme.

Soal bahaya individualisme yang menjadi pemicu terorisme, antara lain didasari dari sikap dan pemikiran merasa paling benar, juga menjadi keprihatinan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid.

Ia memberikan penegasan bahwa individualisme harus dikoreksi dengan membiasakan perilaku untuk bermasyarakat dan bersosialisasi sehingga dapat menumbuhkan solidaritas sosial sebagai mahluk sosial.

Hidayat mencontohkan dari masjid kita bisa belajar hidup berjamaah. Dengan berjamaah maka kita bisa mengkoreksi perilaku menyimpang sikap individualisme.

Salah satu langkah lain untuk pencegahan adalah menyadarkan mereka yang terindikasi memiliki paham terorisme dan radikalisme.

Upaya penyadaran ini tak hanya harus dilakukan oleh pemerintah tetapi juga membutuhkan partisipasi masyarakat, terutama para pemuka agama, termasuk ulama. Perlu penyadaran bahwa paham radikal yang dianut pelaku terorisme adalah keliru, tidak benar, tidak sesuai Al Quran dan Hadist Rasulullah.

Untuk mencegah terorisme maka mesti mengetahui akar persoalan mengapa muncul terorisme. Terorisme tidak hanya terkait dengan paham atau ideologi dari mereka yang ingin menebar ketakutan dengan menyebar berbagai tindakan kekerasan tetapi juga masalah lain seperti ekonomi dan sosial.

Adalah menarik apa yang disampaikan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif bahwa untuk penyelesaian masalah terorisme di Indonesia harus dari akar masalahnya karena terorisme tidak hanya disebabkan faktor ideologi, tetapi juga akibat kesenjangan ekonomi dan sosial.

Buya, panggilan akrab Syafii, pada Dialog Pencegahan Paham Radikal Terorisme dan ISIS yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (28/7), mengingatkan bahwa selama selama akar masalah itu tidak diselesaikan maka jangan mimpi terorisme di Indonesia bisa diselesaikan secara utuh.

Tindakan terorisme bertentangan dengan semua agama karena konsep pemahamannya beraliran konsep kematian. Artinya, tidak ada satu pun teroris yang tidak siap mati. Semuanya siap mati, apa pun kondisinya. Pemikiran inilah yang berbahaya dan merupakan sebuah kekeliruan dalam memahami agama Islam yang "rahmatan lil alamin" (rahmat bagi semesta alam).

Inilah yang menjadi tanggung jawab semua pihak untuk bersama-sama menyelesaikan masalah ini.

Kenali orang per orang di sekitar kita tampaknya bisa mendeteksi secara dini dalam mewaspadai teroris. Bila ada yang mencurigakan jangan ragu untuk melaporkan kepada pihak berwajib. (Ant).
    

Pewarta: Budi Setiawanto

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016