Bogor, (Antara Megapolitan) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggandeng Country Director UNDP Indonesia dalam proyek peningkatan sistem kawasan konservasi hutan di Sulawesi untuk pelestarian keanekaragaman hayati.
"EPASS merupakan proyek bantuan luar negeri yang dirancang guna membantu KLHK, khususnya pembangunan konservasi di Sulawesi," kata Direktur Konservasi Sumber Daya ALam Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Konservasi (KSDAE) Bambang Danohaji dalam Lokakarya Awal Enhanching the Protected Area System in Sulawesi for Biordiversity Conservation (EPASS) di Novotel Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Bambang mengatakan, proyek EPASS diinisiasi sejak 2011 dan telah mendapat dukungan pendaan dari Global Environment Facility (GEF) sebesar USD 6.265.000,- untuk jangka waktu lima tahun.
Bantuan proyek hibah tersebut, lanjut Bambang, diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, pendanaan yang berkelanjutan, penurunan laju kerusakan hutan dan perbaikan tata kelola kerja sama pengelolaan kawasan konservasi dengan masyarakat.
"Pengelolaan sehari-hari kegiatan proyek ini akan ditangani oleh Project Management Unit (PMU) yang berada di bawah pembinaan Direktorat KKH dan tiga unit pelaksana teknis yang menjadi lokasi demonstraksi proyek," katanya.
Bambangan mengatakan, proyek tersebut ada di tiga lokasi yakni Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Balai BKSDA Sulawesi Utara.
"Pelaksanaan proyek EPASS telah dimulai sejak April 2015 dan kelanjutannya akan dibahas dalam kegiatan lokakarya awal yang berlangsung selama dua hari ini Bogor (19-20 November)," kata Bambang.
Sekretaris Dirjen KSDAE, Novianto Bambang Wawandono menyebutkan Pulau Sulawesi sebagai salah satu bagian dari kawasan Wallacea yang dikenal dengan flora dan fauna dari perpaduan jenis biota Asia dan Australia, sehingga menjadikan Sulawesi sebagai salah satu kawasan ekoregion yang kaya akan sumber daya alam hayati dan globally significant dari sudut pandang konservasi.
"Kondisi saat ini keanekaragaman hayati di Sulawesi menghadapi berbagai ancaman kerusakan sebagai akibat dari penebangan liar, perambahan, penambangan, perburuan satwa, pencemaran dan berbagai aktivitas pembangunan lainnya yang sudah berlangsung sejak 1980," katanya.
Menurut Noviato, guna melindungi biota Sulawesi dari berbagai ancaman tersebut, pemerintah telah menetapkan sebanyak 63 kawasan konservasi darat dan enam kawasan konservasi perairan (laut) dengan total area sebesar 1.601.109 hektare atau 9,2 persen dari luas Pulau Sulawesi, dan 14,2 persen dari total luas hutanya.
"Upaya ini meski jauh dari mencukupi, karena kawasan konservasi yang ada ternyata hanya merepresentasikan sekitar 10 persen dari berbagai tipe ekosistem penting yang ada di Sulawesi," katanya.
Sementara itu, lanjut Novianto, kapasitas pemerintah (sumber daya teknis dan finansial) dalam melindungi kawasan konservasi yang telah adapun masih sangat terbatas sehingga diperlukan dukungan dari semua pihak guna memperkuat efektifitas pengelolaan dan kelangsungan pendanaan sistem kawasan konservasi.
"Salah satu dukungan yang kini tengah diupauakan adalah melalui pelaksanaan proyek bantuan luar negeri," katanya.
UNDP Regional Office, Mr Midori Paxton menambahkan, upaya melindungi kawasan hutan Sulawesi menjadi sangat penting agar keanekaragaman hayati di Indonesia bisa terjaga.
"Proyek ini sebagian besar didanai oleh GEF, yang artinya proyek di Sulawesi memiliki persuadaraan dengan proyek lainnya di seluruh dunia. EPASS bertujuan memastikan kelestarian sistem area lindung di dunia," katanya.
Lokakarya awal EPASS berlangsung dau hari di Bogor (19-20 November) diikuti 100 orang peserta dari berbagai perwakilan unit kerja terkait lingkung Kementerian Lingkungan Hidup dan Hayati, Bappenas, Bangda, Kementerian Keuangan, UNDP Regional Office, UNDP Indonesia, Pemda terkait, Balai TN Lore Lindu, Balai BKSDA Sulut, Balai TN Bogani Nani Wartabone dan mitra lembaga NGO.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"EPASS merupakan proyek bantuan luar negeri yang dirancang guna membantu KLHK, khususnya pembangunan konservasi di Sulawesi," kata Direktur Konservasi Sumber Daya ALam Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Konservasi (KSDAE) Bambang Danohaji dalam Lokakarya Awal Enhanching the Protected Area System in Sulawesi for Biordiversity Conservation (EPASS) di Novotel Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Bambang mengatakan, proyek EPASS diinisiasi sejak 2011 dan telah mendapat dukungan pendaan dari Global Environment Facility (GEF) sebesar USD 6.265.000,- untuk jangka waktu lima tahun.
Bantuan proyek hibah tersebut, lanjut Bambang, diharapkan dapat berkontribusi terhadap peningkatan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi, pendanaan yang berkelanjutan, penurunan laju kerusakan hutan dan perbaikan tata kelola kerja sama pengelolaan kawasan konservasi dengan masyarakat.
"Pengelolaan sehari-hari kegiatan proyek ini akan ditangani oleh Project Management Unit (PMU) yang berada di bawah pembinaan Direktorat KKH dan tiga unit pelaksana teknis yang menjadi lokasi demonstraksi proyek," katanya.
Bambangan mengatakan, proyek tersebut ada di tiga lokasi yakni Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Balai BKSDA Sulawesi Utara.
"Pelaksanaan proyek EPASS telah dimulai sejak April 2015 dan kelanjutannya akan dibahas dalam kegiatan lokakarya awal yang berlangsung selama dua hari ini Bogor (19-20 November)," kata Bambang.
Sekretaris Dirjen KSDAE, Novianto Bambang Wawandono menyebutkan Pulau Sulawesi sebagai salah satu bagian dari kawasan Wallacea yang dikenal dengan flora dan fauna dari perpaduan jenis biota Asia dan Australia, sehingga menjadikan Sulawesi sebagai salah satu kawasan ekoregion yang kaya akan sumber daya alam hayati dan globally significant dari sudut pandang konservasi.
"Kondisi saat ini keanekaragaman hayati di Sulawesi menghadapi berbagai ancaman kerusakan sebagai akibat dari penebangan liar, perambahan, penambangan, perburuan satwa, pencemaran dan berbagai aktivitas pembangunan lainnya yang sudah berlangsung sejak 1980," katanya.
Menurut Noviato, guna melindungi biota Sulawesi dari berbagai ancaman tersebut, pemerintah telah menetapkan sebanyak 63 kawasan konservasi darat dan enam kawasan konservasi perairan (laut) dengan total area sebesar 1.601.109 hektare atau 9,2 persen dari luas Pulau Sulawesi, dan 14,2 persen dari total luas hutanya.
"Upaya ini meski jauh dari mencukupi, karena kawasan konservasi yang ada ternyata hanya merepresentasikan sekitar 10 persen dari berbagai tipe ekosistem penting yang ada di Sulawesi," katanya.
Sementara itu, lanjut Novianto, kapasitas pemerintah (sumber daya teknis dan finansial) dalam melindungi kawasan konservasi yang telah adapun masih sangat terbatas sehingga diperlukan dukungan dari semua pihak guna memperkuat efektifitas pengelolaan dan kelangsungan pendanaan sistem kawasan konservasi.
"Salah satu dukungan yang kini tengah diupauakan adalah melalui pelaksanaan proyek bantuan luar negeri," katanya.
UNDP Regional Office, Mr Midori Paxton menambahkan, upaya melindungi kawasan hutan Sulawesi menjadi sangat penting agar keanekaragaman hayati di Indonesia bisa terjaga.
"Proyek ini sebagian besar didanai oleh GEF, yang artinya proyek di Sulawesi memiliki persuadaraan dengan proyek lainnya di seluruh dunia. EPASS bertujuan memastikan kelestarian sistem area lindung di dunia," katanya.
Lokakarya awal EPASS berlangsung dau hari di Bogor (19-20 November) diikuti 100 orang peserta dari berbagai perwakilan unit kerja terkait lingkung Kementerian Lingkungan Hidup dan Hayati, Bappenas, Bangda, Kementerian Keuangan, UNDP Regional Office, UNDP Indonesia, Pemda terkait, Balai TN Lore Lindu, Balai BKSDA Sulut, Balai TN Bogani Nani Wartabone dan mitra lembaga NGO.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015