Jakarta, (Antara Megapolitan) - "Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kalah Lagi" menjadi tema pemberitaan hampir di seluruh media, baik elektronik, cetak, maupun "online", pada hari Selasa (26/5) pascaputusan hakim Haswandi yang mengabulkan gugatan praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo.

Kekalahan tersebut merupakan kekalahan ketiga yang diderita KPK dalam "laga" praperadilan setelah kalah dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen Polisi Budi Gunawan dan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Dalam amar putusannya, hakim Haswandi menyatakan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan KPK atas Hadi Poernomo dalam dugaan korupsi penerimaan seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan Badan PT BCA Tbk. tahun pajak 1999 adalah tidak sah.

Terkait dengan penetapan tersangka, Haswandi menyatakan bahwa KPK tidak melaksanakannya sesuai dengan prosedur yang diatur di dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Hadi ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 21 April 2014 bertepatan dengan dinaikkannya penanganan dugaan korupsi Hadi dari tahap penyelidikan ke penyidikan yang ditandai dengan terbitnya Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin Dik-17/01/04/2014.

"Menimbang, dengan demikian harus ada penyidikan terlebih dahulu sebelum ditetapkan tersangkanya," tuturnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (26/5).

Hakim menjelaskan bahwa dalam UU KPK tidak diatur secara tegas mengenai waktu penetapan tersangka apakah di awal atau di akhir penyidikan sehingga merujuk pada Pasal 38 UU tersebut maka segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam UU KPK harus didasarkan pada UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).

Selain itu, dikabulkannya permohonan praperadilan Hadi didasarkan pada pertimbangan bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum karena dilakukan oleh penyelidik dan penyidik independen yang pengangkatannya tidak sah.

"Undang-undang tidak memberikan peluang pada KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen," ujar hakim Haswandi.

Hakim juga menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan Pasal 43 dan Pasal 45 UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya, baik itu Polri maupun kejaksaan.

Penyelidik dalam kasus Hadi, yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK. Dadi sendiri berstatus sebagai auditor pada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebelum bergabung dengan KPK.

Sementara itu, Ambarita Damanik--penyidik yang menangani kasus Hadi--merupakan penyidik Polri yang sudah diberhentikan secara hormat dari institusi Polri pada tanggal 25 November 2014. Dengan pemberhentian tersebut, hakim berpendapat bahwa Ambarita juga sudah kehilangan status penyidik yang melekat pada dirinya sehingga segala tindakan penyidikan yang dilakukan olehnya dianggap batal demi hukum.

"Maka, anggota Polri yang telah pensiun atau berhenti tidak melekat status penyidik ataupun penyelidik. Jika anggota Polri yang telah pensiun ingin diangkat menjadi penyelidik ataupun penyidik maka harus diangkat sebagai PPNS pada KPK," kata hakim.

Karena penetapan tersangka, penyelidikan, dan penyidikan dianggap tidak sah, tindakan penyitaan dan penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK terhadap Hadi juga dinyatakan batal demi hukum.

"Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karena itu, diperintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan berdasarkan Sprin.Dik-17/01/04/2014," tutur Haswandi yang merupakan Ketua PN Jakarta Selatan itu.
    
Tantangan Berat

Dikabulkannya permohonan praperadilan Hadi Poernomo menjadi pukulan sekaligus tantangan berat bagi KPK untuk mempertahankan eksistensi dan tugasnya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di negeri ini.

Bagaimana tidak, sejak Januari lalu, lembaga antirasuah itu terus-menerus dibombardir dengan serangkaian upaya praperadilan yang diajukan oleh para tersangka korupsi. Belum lagi, upaya "kriminalisasi" yang dialamatkan kepada pimpinan KPK, seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, dan yang terakhir Novel Baswedan.

Hukum pun seakan tidak berpihak pada KPK karena sejak 28 April 2015 Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memperluas kewenangan lembaga praperadilan di luar ketentuan Pasal 77 KUHAP, yaitu dengan memasukkan penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan dalam objek praperadilan.

Putusan MK yang dianggap final dan mengikat itulah yang kemudian dijadikan dasar bagi hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati dalam mengabulkan praperadilan Ilham Arief Sirajuddin. Begitu pula, hakim Haswandi saat memenangkan praperadilan Hadi Poernomo.

"Semua putusan pengujian atas UU yang telah diputuskan oleh MK berlaku sebagai UU sehingga penetapan tersangka, penyitaan, dan penggeledahan secara yuridis adalah objek praperadilan," kata Haswandi.

Menanggapi putusan tersebut, anggota Biro Hukum KPK Yudi Kristiana mengatakan bahwa praperadilan yang ditempuh oleh beberapa tersangka kasus korupsi merupakan upaya hukum sistematis untuk mendegradasi dan mendekonstruksi eksistensi lembaga antikorupsi itu.

"Dari putusan (hakim Haswandi) tadi terlihat tidak ada urgensinya lagi KPK menjalankan pemberantasan korupsi," tuturnya usai sidang putusan praperadilan Hadi Poernomo di PN Jakarta Selatan, Selasa (26/5).

Yudi sendiri menyesalkan pertimbangan hakim Haswandi yang pada pokoknya mempermasalahkan pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK, padahal sejak KPK berdiri pada tahun 2002, pengangkatan penyelidik dan penyidik KPK telah diatur dalam UU KPK yang di antaranya menegaskan bahwa pimpinan KPK berwenang mengangkat dan memberhentikan penyelidik dan penyidik independen.

Ia khawatir bahwa pertimbangan hakim yang mempermasalahkan status penyelidik dan penyidik KPK tersebut akan dijadikan alat bagi para terdakwa atau terpidana korupsi untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) atas dasar penyelidikan dan penyidikan yang tidak sah.

"Kalau konstruksi berpikir hukum seperti ini yang dipakai, seluruh terdakwa dan terpidana tindak pidana korupsi akan melakukan PK," tuturnya.

Pria yang juga bertugas sebagai jaksa penuntut umum di KPK itu juga mengusulkan moratorium penanganan kasus atau membekukan sementara institusi KPK sampai ada revisi UU KPK.
 
Implikasi Luas

Sependapat dengan Yudi, Pelaksana Tugas (Plt.) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa putusan hakim Haswandi dapat membahayakan penyelidik non-Polri di lembaga lain.

"Putusan dari hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mempermasalahkan mengenai penyelidik, jadi karena pengangkatan penyelidik tidak sah maka penyidikan juga tidak sah kalau ditanya dampaknya seperti apa? Maka, sangat luas bukan hanya KPK, melainkan aparatur penegak hukum lain," katanya dalam konferensi pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (26/5).

Menurut dia, selama ini proses tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain di luar korupsi, misalnya tindak pidana imigrasi, tindak pidana kehutanan, dan tindak pidana pasar modal, dilakukan oleh penyidik lembaga bersangkutan atau biasa disebut sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS).

"Artinya, ribuan atau ratusan ribu kasus, baik korupsi maupun di luar korupsi, akan menjadi persoalan yang serius sekali. Untuk KPK yang masih banyak menangani proses yang berjalan, baik penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan. Penuntutan ini, baik di pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun tingkat kasasi. Namun, kalau dikatakan penyelidikan tidak sah,berdampak pada proses yang berjalan maupun pada kasus yang sudah berjalan," tegas Indriyanto.

Sementara Plt. Ketua KPK Taufiquerachman Ruki mengatakan bahwa putusan hakim praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penyelidikan oleh penyelidik yang bukan berasal dari anggota Polri dengan merujuk ke Pasal 1 UU Nomor 8 tahun 1981 Pasal 1 angka 1, 2, 3 sampai dengan 8 dapat mementahkan banyak perkara.

"Artinya, mementahkan, saya ulangi, mementahkan semua penyidikan dan penanganan perkara yang ditangani oleh nonpenyidik Polri karena berdasarkan Pasal 7 UU No. 8/1981, seperti penyidik kejaksaan, penyidik pajak, penyidik bea cukai, penyidik kehutanan, penyidik perikanan, penyidik pasar modal, penyidik imigrasi, penyidik tindak pidana lingkungan, penyidik KPK, dan penyidik OJK," kata Ruki.

Karena menurut Ruki, dalam praktiknya penyelidik untuk tindak pidana tersebut tidak dilakukan oleh penyelidik anggota Polri.

Selain itu, kata Ruki, putusan hakim Haswandi juga mengancam 371 kasus korupsi yang ditangani KPK dan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

"Putusan (praperadilan) itu mengancam 371 kasus tindak pidana korupsi yang sudah punya kekuatan hukum tetap (yang ditangani KPK) sejak 2004 dan dapat menjadi tidak sah, padahal sudah diperiksa di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, dan yang sudah inkracht," katanya.
    
Pantang Menyerah

Menghadapi kekalahannya yang ketiga, KPK menegaskan akan tetap melanjutkan penyidikan dugaan tipikor yang disangkakan pada Hadi Poernomo.

"Meski putusan praperadilan memerintahkan KPK menghentikan kasus tersebut. Hadi tetap tersangka, kami tidak boleh menghentikan penyidikan," kata Ruki.

Menurut dia, putusan hakim Haswandi yang di antaranya memerintahkan KPK untuk menghentikan penanganan kasus tersebut bertentangan dengan Pasal 40 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.

"Putusan hakim praperadilan telah melampaui permohonan pemohon yang disebut 'ultrapetita' dan bertentangan dengan UU serta memiliki implikasi luas baik penegakan hukum maupun bagi pemberantasan korupsi," tegas Ruki.

Menurut Ruki, Hadi hanya menyatakan penyidikan yang dilakukan KPK terhadap Hadi tidak sah. Akan tetapi, malah memerintahkan penyidikan KPK terhadap kasus tersebut dihentikan.

"Pernyataan yang pengatakan penyidik dan penyelidik di luar Polri tidak sah. Sebagaimana diketahui untuk menyatakan sah atau tidak adalah masuk masalah administrasi dan bukan wewenang praperadilan," ungkap Ruki.

Ia menegaskan bahwa KPK akan tetap melanjutkan penyidikan perkara penerimaan keberatan pajak PT BCA Tbk. yang menyeret nama Hadi Poernomo.

Namun Ruki belum dapat memastikan apakah KPK tetap akan memanggil saksi-saksi dalam kasus tersebut.

"Kami sesuaikan dengan perkembangan dari penanganan kasus yang lebih mendasar. Akan tetapi, perkara ini tidak 'pending', perkara ini jalan terus," tambah Ruki.

Saksi terakhir yang dipanggil dalam kasus tersebut adalah Presiden Direktur PT BCA Jahja Setiaatmadja pada hari Jumat (22/5).

Selain itu, pimpinan KPK bertekad melakukan seluruh bentuk perlawanan hukum untuk melawan putusan hakim yang memenangkan gugatan praperadilan Hadi Poernomo.

"Komisi Pemberantasan Korupsi memutuskan akan melakukan segala cara untuk melakukan perlawanan hukum terhadap putusan praperadilan ini. Bukan saja untuk mempertahankan eksistensi KPK dan pemberantasan korupsi, melainkan juga meluruskan kembali penegakan hukum yang akan porak-poranda akibat dari praperadilan ini," katanya.

Pewarta: Yashinta Difa P.

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015