Meskipun saat ini menteri pariwisata dari Kabinet Kerja
pasti sedang sibuk "mengeringkan badan" dari berbagai "guyuran
tudingan negatif" yang sedang menerpa dirinya, namun barangkali Arief
Yahya tentu tetap punya waktu untuk mendengar "suara rakyat" tentang
mimpi indah kepariwisataan yang selama ini tak kunjung menjadi
kenyataan.
Sebagai mantan CEO PT Telkom, kemampuan dan kapasitas serta
kepiawaian yang dimiliki Arief Yahya tentunya tidak patut diragukan
oleh siapapun, namun demikian untuk terwujudnya efektifitas kinerja
dari Kabinet Kerja maka barangkali tidak ada salahnya jika ada anak
bangsa yang bermaksud untuk berbagi mimpi kepariwisataan dengan dia.
Jika dalam konteks sebagai CEO PT Telkom, dulunya Arif Yahya
telah teruji kemampuannya untuk mengelola hampir Rp128 triliun aset PT
Telkom, maka dalam konteks sebagai Menteri Pariwisata dari Kabinet
Kerja maka kemampuannya akan diuji oleh lebih dari Rp130 juta triliun
aset kepariwisataan nasional yang dimiliki oleh negara, (baru dihitung
dengan pendekatan nilai NJOP berbagai tapak objek wisata milik negara
saja dan belum dihitung nilai aset yang dimiliki swasta dan komunitas
lokal).
Demikian pula halnya dengan kultur dan atmosfir bekerja yang
pasti akan sangat berbeda antara di PT Telkom dengan di Kementerian
Pariwisata.
Jika sebagai CEO sebuah perusahaan swasta Arief Yahya bisa
bertindak dan berlaku ibarat seperti "dewa" yang setiap detik bisa
memecat anak buahnya, maka dalam birokrasi pegawai negeri sipil Arief
Yahya tentunya harus bisa lebih banyak bersabar dan mengayomi.
"Mimpi Indah" Kepariwisataan Indonesia
"Mimpi indah kepariwisataan Indonesia sesungguhnya telah dimulai
oleh Bung Karno sejak tahun 1959, yaitu sejalan dengan dikeluarkannya
Keppres tentang Tata Ruang Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur).
Sedangkan Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1969 juga telah
mencanangkan Bali, Toba, Bunaken, Borobudur dan Toraja sebagai
Destinasi Tujuan Wisata (DTW).
Atas hal itu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya usia
pembangunan kepariwisataan kita tidaklah tergolong baru "akil balig"
lagi.
Dengan masa pembangunan yang sudah lebih dari 50 tahun
tersebut, yang sejak Repelita I sudah diimpikan sebagai penghasil
devisa no. 3 (setelah minyak dan gas) bagi negara, mestinya kinerja
kepariwisataan Indonesia sudah dapat memberikan kemakmuran pada rakyat
negeri ini, namun kenyataannya pada tahun 2013 lalu isu tentang
neraca kepariwisataan Indonesia yang berposisi minus hingga lebih dari
20 persen sulit dibantah.
Dalam persepektif tertentu Bali dapat dikatakan masih
menjadi "icon" terpenting bagi Indonesia, sedangkan dalam perspektif
lain barangkali tidak salah pula jika ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya Bali telah "over exposed" dan kelelahan, serta sedang
menggali lubang kuburnya sendiri.
Sedangkan empat DTW lainnya barangkali masih tergolong dalam
posisi "mati segan hidup tak mau"; baik karena telah "diabaikan"
selama puluhan tahun ataupun karena terlalu sering menjadi "korban"
pembangunan yang bersifat "trial and error" ataupun karena hanya
menjadi objek dari suatu "pembangunan basa-basi" yang tidak masuk
dalam skala ekonomi.
Sejak beberapa tahun lalu Malaysia telah mengklaim
mendapatkan lebih dari 24 juta wisatawan asing, dan telah berani pula
menyatakan diri sebagai "TheTruly Asia", sedangkan negara kita hanya
berkutat pada angka 7-8 juta saja dan masih bermain pada jargon-jargon
promosi "wonderful Indonesia" ataupun "beautiful Indonesia" saja.
Kepariwisataan Indonesia bukan hanya belum bisa menjadi
sumber kemakmuran bagi rakyat negeri ini, serta bukan pula hanya telah
kehilangan "actual demand", melainkan juga telah kehilangan
kepercayaan diri untuk menjaga eksistensi dan mengeskpresikan
eksistensi itu sendiri.
Bahkan, sejalan dengan diberlakukannya aturan PMA (penanaman
modal asing) yang mengizinkan bangsa lain mengusai lahan usaha (HGU)
di negeri ini hingga 90 tahun serta diberlakukannya aturan penguasaan
modal asing bisa mencapai 91 persen, maka bukan tidak mungkin suatu
hari mendatang sektor kepariwisataan akan menjadi sumber utama untuk
terciptanya dengan cepat koloni-koloni benih penjajahan seperi zaman
VOC dulu.
Potensi Kepariwisataan Indonesia
Tentu kita tidak perlu terlalu bersusah payah untuk membayangkan
betapa besarnya potensi pariwisata yang dimiliki oleh negeri kita ini.
Negeri ini memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan 400-an suku yang
mendiaminya.
Dalam konteks wisata alam, bayangkan berapa luas lautan
(dan berapa luas "kolam air" nya) yang bisa diarungi oleh para
"yachters" serta "divers" dunia, begitu juga berapa ribu kilometer
panjang pantainya yang bisa menjadi tempat terselenggaranya berbagai
kegiatan "coastal tourism" di berbagai pulau yang ada.
Sejak tahun 1980 Departemen Kehutanan (kini Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK) telah pula "menyelamatkan" hutan
alam tropika kita melalui penetapan 50 taman nasional dan ratusan
kawasan konservasi lainnya, begitu pula dengan lebih dari 200 kawasan
wana wisata yang telah dikelola oleh PT Perhutani sejak puluhan tahun
lalu.
Sejak masa Orde Reformasi, berbagai Taman Hutan Raya
(Tahura) juga telah terus dibangun di berbagai provinsi yang ada.
Selain keindahan panorama yang dimiliki berbagai tapak
wisata tersebut, maka bayangkanlah pula berapa harga jasa lingkungan
dari berbagai jenis ekosistem yang mengandung ratusan hingga ribuan
jenis flora dan fauna endemik dalam areal tersebut, belum lagi ratusan
jenis ikan hias yang ada di lautan kita.
Jika saja setiap suku di Tanah Air kita ini masing-masing
memiliki lima jenis atraksi budaya,lima jenis "material heritage" dan
lima jenis makanan saja --realitasnya pasti jauh lebih banyak dari
lima-- maka tentunya negeri kita ini secara total setidaknya mempunyai
lebih dari 6000 atraksi wisata budaya yang bisa ditawarkan pada
wisatawan dunia.
Jika satu hari butuh mempromosikan satu budaya saja, maka
secara potensial bisa dikatakan kita mempunyai promotion material yang
lebih dari cukup untuk selama 20 tahun, bukan?
Atas hal itu, mengapa pula saat ini malah budaya kontemporer
yang menjadi marak meracuni pemikiranserta jiwa generasi muda kita?
Bersamaan dengan ratusan gunung berapi dan ratusan sungai yang
ada di negeri ini, maka ratusan pula lah jenis traditional "martial
art" yang tersimpan pada anak negeri penjaga gunung dan sungai
tersebut.
Sebegitu banyaknya pulalah sesungguhnya keahlian pengobatan
tradisional yang mereka kuasai, lengkap dengan berbagai ramuan obat
tradisional yang mereka pelajari turun temurun dari nenek moyang
mereka.
Bahkan, setiap kepala keluarga dari masyarakat dayak yang
tinggal di sepanjang Pegunungan Muller Kalimantan pasti memiliki tiga
jenis ramuan obat tradisional yang secara rahasia mereka miliki
sebagai salah satu kekuatan dasar eksistensi setiapkepala keluarga.
Jika kita petakan semua potensi sumber daya kepariwisataan
yang kita miliki, maka secara objektif semua potensi yang ada adalah
berada dalam kondisi "golden values", baik jumlahnya, jenisnya,
keindahannya, keunikannya, kelangkaannya, sebarannya dan pasarnya.
Tunjuklah potensi mana saja yang akan kita pilih, maka
dipastikan potensi sumber daya wisata itu memiliki populasi "potential
demand"-nya yang relatif cukup besar dan bisa mengakses sumber daya
tersebut dalam waktu paling lama tiga jam saja.
Jika pun selama ini "potential market" tersebut belum
terwujud seutuhnya menjadi "actual market" secara optimal, maka itu
adalah lebih disebabkan oleh dua hal saja, yaitu: karena masih
rendahnya alokasi "disposible income" untuk berekreasi dan wisata di
tengah masyarakat kita secara nasional, dan karena masalah
infrastruktur dan fasiltas dasar.
Penyebab Mandul Kinerja Kepariwisataan
Di antara sekian banyak penyebab mandulnya kinerja kepariwisataan
selama ini, barangkali ada dua masalah penting yang perlu kita soroti,
yaitu: (1) Kompetensi SDM, serta (2). Politik dan Kebijakan.
Dampak kedua masalah tersebut bersifat resiprokal dan
menyebabkan terjadinya efek domino.
Rendahnya kompetensi SDM kepariwisataan Indonesia berakar
pada tidak lengkap serta buruknya sistem pendidikan kepariwisataan
selama ini.
Setidaknya hampir selama 20 tahun sejak NHI berdiri di
Bandung pada tahun 1956 pendidikan kepariwisataan di Indonesia hanya
meliputi pendidikan vokasional dengan jenjang diploma tiga (D3). Itu
pun hanya fokus pada dua aspek kepariwisataan saja, yaitu
"accomodation management" dan "travel management".
Kelompok ilmu manajemen akomodasi cenderung fokus pada
perhotelan dan restoran, sedangkan kelompok ilmu manajemen perjalanan
fokus pada "ticketing" dan "tour operating".
Jikapun pada awal hingga pertengahan tahun 70 telah mulai
berdiri beberapa Sekolah Tinggi Pariwisata, namun fokus keilmuannya
hanya bertambah dengan kelompok ilmu ekonomi pariwisata saja.
Meskipun di Jurusan Planologi ITB juga telah membicarakan
kepariwisataan, namun hanya dalam bentuk satu atau dua mata kuliah
saja.
Demikian pula halnya dengan IPB yang memulai langkahnya
dengan mempelajari pariwisata sebagai ilmu wilayah, dengan fokus pada
wilayah sektor kehutanan.
Meskipun dalam 10-15 tahun terakhir ini sudah semakin
banyak institusi pendidikan tinggi yang memberi perhatian pada
keilmuan pariwisata, mulai dari ketrampilan vokasi D3 hingga sains dan
teknologi jenjang S1 sampai S3, namun nampaknya sebagian besar
perguruan tinggi masih gamang untuk mengambil "scientific niche" atau
relung ilmu pengetahuan kepariwisataan yang akan dikembangkannya,
kecuali IPB yang tetap fokus mengembangkan ilmu pariwisata sebagai
ilmu pembangunan wilayah dengan memperluas aspek wilayah sektor
kehutanan menjadi ekowisata dan pariwisata berkelanjutan.
Di IPB, kemampuan mahasiswa tingkat vokasi dibangun
dengan pendekatan "leisure science", di tingkat S1 diberi kemampuan
ilmu pengetahuan pembangunan ekowisata pada kawasan konservasi,
sedangkan pada tingkat S2 dan S3 mahasiswa mereka diberi kemampuan
pembangunan ekowisata pada tingkat wilayah dan nasional.
Atas situasi itu, maka dapat dikatakan bahwa terdapat
"kelangkaan" relung dan kedalaman komprehensifitas kompetensi SDM
kepariwisataan.
Hal ini bukan hanya menyebabkan dipertanyakannya buah-buah
fikir yang mereka hasilkan selama ini melainkan juga menjadi penyebab
utama timbulnya konflik arogansi keilmuan dan/atau timbulnya apa yang
oleh masyarakat di Indonesia Bagian Timur disebut sebagai
"Akademisi/Intelektual Rheumason", yaitu para kaum terdidik bergelar
profesor/doktor yang kehilangan marwah mereka karena telah "mengobral"
gelar akademisnya untuk ikut secara dominan dalam berbagai proyek
pembangunan yang sebenarnya tidak dia kuasai.
Pada tingkat nasional, dampak negatif dari kelangkaan
kompetensi SDM tersebut telah mencapai puncaknya dengan (maaf)
buruknya isi UU No. 10 tahun 2009 tentang Pariwisata dan PP No. 50
tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional.
Bahasa hukum dalam UU No. 10 tidak saja banyak yang terlalu
sumir dan multi-tafsir, melainkan juga banyak esensi subjek dan objek
yang diatur di dalamnya seharusnya adalah merupakan porsi dari
peraturan yang lebih rendah.
Sedangkan dalam PP No. 50, negeri yang seluas ini telah
dibagi menjadi 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), 88 Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) serta 222 Kawasan Pembangunan
Pariwisata Nasional (KPPN) tanpa kejelasan benang merah dan
keterkaitannya satu sama lain.
Dengan nomenklatur yang sebanyak itu maka jangankan proses
pembangunannya yang akan bisa diharapkan selesai pada tahun 2025
nanti, bahkan dokumen perencanaannya saja barangkali bisa dipastikan
tidak akan selesai disusun, bukan?
Di Kementerian Pariwisata sesungguhnya masih relatif cukup
tersedia para birokrat yang cerdas dan pekerja keras, namun sudah
menjadi rahasia umum bahwa mereka menjadi sering "bungkam" dan
"terpinggirkan" oleh dinamika "office politicking" yang dimainkan
oleh para oknum non-struktural yang menjual nama menteri atau memang
menjadi penyambung lidah menteri.
Ada pun di tingkat daerah, para Kepala Dinas Pariwisata
provinsi/kabupaten/kota dapat dikatakan sesungguhnya sudah memiliki
motivasi yang baik dalam menjalankan tupoksinya,namun demikian kinerja
mereka sering tidak tuntas karena dinamika sistem politik lokal yang
syarat dengan dinamika "turn over" berupa pergantian jabatan
tiba-tiba.
Semua itu menyebabkan terjadinya "policy and budgeting
discountinued" yang berefek negatif serta sangat signifikan dalam
banyak hal.
Keterbatasan kompetensi SDM tersebut tidak hanya berdampak
negatif pada kapasitas teknis yang mereka miliki, namun juga sangat
terasa pada kapasitas politik sektoral yang harus dijaga. Sebagai
contoh, cobalah selidiki mengapa berbagai iklan komponen industri
pariwisata kita begitu menyedihkan selama ini, berapa efektifitas
iklan tersebut dan siapa saja yang diuntungkan.
Coba telisik perusahan dari negara mana yang bertahun-tahun
mendikte konsep dan tampilan iklan PT Garuda Indonesia, coba juga
telusuri siapa saja yang menjadi penyelenggara MICE berskala
internasional selama ini.
Tender terbuka adalah tidak salah, namun bagaimana mungkin
kita akan menjadi diuntungkan jika konsep dan produk promosi kita
didikte oleh orang-orang negara pesaing.
Gagalnya para pengusaha lokal untuk memenangkan tender
berbagai pekerjaan bernilai triliunan rupiah tersebut tentunya adalah
bukan hanya karena adanya berbagai dikte dari para oknum (seperti
diisukan banyak pihak), melainkan juga karena lemahnya kompetensi para
pengusaha nasional.
Keterbatasan pemikiran yang mereka miliki tidak saja telah
menjadikan mereka gagal membentuk kelompok kerja yang harmonis,
sehingga gagal pula membetuk konsorsium untuk mendukung kebutuhan
finansial, melainkan juga cenderung berkompetisi negatif satu sama
lain. Bahkan, tidak sedikit pula diantara mereka yang tidak malu untuk
sekedar menjadi "calo" dalam mencari investor asing dengan cara yang
merugikan kepentingan nasional.
Kemaritiman dan Kepariwisataan
Kesungguhan Presiden Jokowi untuk memajukan pariwisata secara
nasional dapat kita indikasikan dengan tidak jadi ditunjuknya AA Gede
Ngurah Puspayoga sebagai Menteri Pariwisata (sebagaimana diisukan
sebelumnya), di mana hal ini bisa dimaknai sebagai terus
dilanjutkannya proses penyelarasan dan penyeimbangan "Bali First
Policy" dalam percaturan politik pembangunan pariwisata nasional.
Sedangkan perubahan nomenklatur dan posisi Kementerian
Pariwisata ke dalam Kementerian Koordinator Maritim harus kita sambut
gembira dan maknai sebagai pemberian wewenang yang lebih baik untuk
kementerian tersebut.
Selain untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari berbagai
potensi laut dan pesisir yang kita miliki melalui sektor pariwisata,
maka dengan posisi baru tersebut hendaknya juga bisa dijadikan sebagai
suatu kesempatan emas untuk merubah posisi "jenderal detasemen markas"
menjadi "jenderal teritorial".
Hal tersebut tentunya membutuhkan penyelarasan dan
penyempurnaan konsep-konsep dan strategi pembangunan. Jika selama ini
hanya berorientasi pada penciptaan manfaat dan nilai tambah ekonomi
yang bisa ditimbulkan, maka sekarang kementerian tersebut harus
didorong dan dibantu untuk mempunyai kewenangan dan kemampuan guna
secara langsungbisa bertindak sebagai "leading exsecutor" dalam proses
pembangunan suatu wilayah secara utuh, mulai dari alamnya hingga
manusianya secara bersamaan dan seimbang (penerapan Teori Gaia).
Jika berbagai hal yang telah didiskusikan di atas dapat
diterima kebenarannya, maka pertanyaan yang timbul dan perlu kita
jawab sekarang adalah: "Apakah gagasan Arief Yahya untuk menjadikan
ICT (information and communication technology) sebagai pilihan
manajemen strategisnya untuk pencapaian target 20 juta turis
macanegara dalam beberapa tahun mendatang adalah sudah yang terbaik?.
Apakah memang teknologi komunikasi dan informasi (ICT) yang
selama ini menjadi ranah kepiawaian Arief Yahya merupakan jawaban bagi
semua permasalahan dan kendala yang telah dipaparkan di atas?
Barangkali jawabannya adalah "Tidak".
Perancangan dan penginstalasian sistem ICT setidaknya akan
memakan waktu dua tahun, dan akan sulit sekali bisa dijelaskan
objektifitas logika pengaruh ICT akan mampu meningkatkan "actual
demand" sebesar 12 juta wisatawan asing dalam tiga tahun berikutnya.
Sedangkan sejalan dengan mahalnya biaya ICT tentunya perlu
pula ditentukan tolok ukur keberhasilannya secara objektif.
Tanpa penjelasan yang memadai maka tentunya menjadi tidak
salah jika akan banyak yang nantinya beranggapan bahwa pilihan ICT
sebagai kekuatan manajemen strategis Arief Yahya tersebut hanya akan
menjadikan Kementerian Pariwisata sebagai ladang untuk memperkaya
pundi-pundi kelompok perusahaan-perusahaan ICT yang dulu salah
satunya pernah dipimpinnya.
Jika terjadi seperti itu, tentunya tidak elok bukan?
Lebih lanjut, sadar akan posisi negara kita yang bukan termasuk
negara kontinental, maka barangkali kriteria "jumlah pengunjung"
(number of visitor) bukanlah pilihan yang tepat untuk menjadi target
dan sasaran pembangunan pariwisata kita dalam lima tahun mendatang.
Dengan berbagai kondisi yang ada saat ini, maka barangkali
kita lebih membutuhkan "loyalitas pengunjung" (visitor loyality), yang
diwujudkan dalam bentuk peningkatan "jumlah kunjungan" (number of
visit), "lama tinggal" (length of stay) dan "pengeluaran total" (total
expenditure).
Dalam lima tahun ke depan, barangkali lebih baik kita tetap
memiliki 7-8 juta pengunjung yang loyal, dengan lama tinggal yang
lebih panjang dari 9 hari (katakanlah menjadi 14 hari sebagai target
baru) dan dengan pengeluaran yang meningkat menjadi 200-an dolar
AS/hari, ketimbang memiliki 20 juta pengunjung yang berpotensi kecewa
karena kondisi infrastruktur serta fasilitas destinasi yang ada saat
ini menjadikan tidak terpenuhinya motivasi dan ekspektasi mereka dalam
berkunjung.
Lagi pula, eksistensi potensi pariwisata Indonesia
sesungguhnya sudah lama mendunia serta sudah puluhan tahun pula mampu
bersaing dan bertahan, sehingga hal yang kita butuhkan sesungguhnya
barangkali bukanlah ICT.
Dalam "modern marketing", ICT memang umumnya dijadikan
sebagai "tools" yang handal untuk mendukung proses "penetrasi pasar"
(market penetration). Namun demikian barangkali perlu kita sadari dan
sepakati bersama bahwa permasalah mendasar kita adalah pembenahan dan
pembangunan destinasi serta pemenuhan infrastruktur dan fasilitas
dasar.
Selain berbagai masalah dan kendala yang telah didiskusikan
di atas, maka salah satu masalah utama yang pasti juga akan dihadapi
Arief Yahya dalam memacu proses pembangunan pariwisata nasional adalah
keterbatasan jatah dana pembangunan untuk kementerian yang
dipimpinnya.
Atas hal itu, sebagai opsi sumber dana maka barangkali tidak
akan terlalu salah kalau melalui tulisan ini kita cuatkan dan
diskusikan isu rendahnya efisiensi dan efektifitas penggunaan dana CSR
(tanggung jawa sosial perusahaan) yang berjumlah triliun rupiah
setiap tahun di negara kita ini.
Jika selama ini efisiensi dan efektifitas dana-dana CSR di
negeri ini telah diisukan dan dikeluhkan banyak pihak adalah sangat
rendah dan sangat tidak transparan serta cenderung menjadi ATM dan
"mbancak-an" (rebutan) oknum politikus dan/atau LSM tertentu serta
bahkan juga disalah gunakan oleh perusahaanitu sendiri, maka
barangkali kini lah saatnya untuk kita mengusulkan kepada Presiden
Jokowi agar dilakukan pemusatan penggunaan dana CSR untuk pembangunan
pariwisata nasional dalam lima tahun ke depan.
Jumlah dana yang tersedia sangat banyak, birokrasi
penggunaannya tidak terlalu kompleks, tinggal strategi dan integritas
implementasinya serta "political will" dari Presiden Jokowi saja yang
menjadi kunci keberhasilannya.
Jika dalam lima tahun ke depan Arief Yahya bisa
memanfaatkan dana CSR untuk membangun masing-masing satu destinasi
bertaraf internasional di Indonesia Bagian Timur dan Sumatera maka
tentunya namanya akan menjadi sangat dihormati dalam kancah pariwisata
nasional.
Kawasan Danau Sentani barangkali sudah sangat siap untuk
menerima sentuhan "tangan dingin" Arief Yahya, sedangkan Minangkabau
sebagai satu-satunya sisa wilayah matrilineal di Indonesia juga
sangat patut dan siap untuk dijadikan sebagai destinasi bertaraf
internasional oleh "tangan dingin" Arief Yahya.
Mudah-mudahan Arief Yahya juga sepakat atas berbagai
diskursus di atas, serta bisa pula meyakinkan Presiden Jokowi untuk
berkenan menetapkan kebijakannya. Mari kita bantu dan doakan bersama.
*Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), salah
satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014
pasti sedang sibuk "mengeringkan badan" dari berbagai "guyuran
tudingan negatif" yang sedang menerpa dirinya, namun barangkali Arief
Yahya tentu tetap punya waktu untuk mendengar "suara rakyat" tentang
mimpi indah kepariwisataan yang selama ini tak kunjung menjadi
kenyataan.
Sebagai mantan CEO PT Telkom, kemampuan dan kapasitas serta
kepiawaian yang dimiliki Arief Yahya tentunya tidak patut diragukan
oleh siapapun, namun demikian untuk terwujudnya efektifitas kinerja
dari Kabinet Kerja maka barangkali tidak ada salahnya jika ada anak
bangsa yang bermaksud untuk berbagi mimpi kepariwisataan dengan dia.
Jika dalam konteks sebagai CEO PT Telkom, dulunya Arif Yahya
telah teruji kemampuannya untuk mengelola hampir Rp128 triliun aset PT
Telkom, maka dalam konteks sebagai Menteri Pariwisata dari Kabinet
Kerja maka kemampuannya akan diuji oleh lebih dari Rp130 juta triliun
aset kepariwisataan nasional yang dimiliki oleh negara, (baru dihitung
dengan pendekatan nilai NJOP berbagai tapak objek wisata milik negara
saja dan belum dihitung nilai aset yang dimiliki swasta dan komunitas
lokal).
Demikian pula halnya dengan kultur dan atmosfir bekerja yang
pasti akan sangat berbeda antara di PT Telkom dengan di Kementerian
Pariwisata.
Jika sebagai CEO sebuah perusahaan swasta Arief Yahya bisa
bertindak dan berlaku ibarat seperti "dewa" yang setiap detik bisa
memecat anak buahnya, maka dalam birokrasi pegawai negeri sipil Arief
Yahya tentunya harus bisa lebih banyak bersabar dan mengayomi.
"Mimpi Indah" Kepariwisataan Indonesia
"Mimpi indah kepariwisataan Indonesia sesungguhnya telah dimulai
oleh Bung Karno sejak tahun 1959, yaitu sejalan dengan dikeluarkannya
Keppres tentang Tata Ruang Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur).
Sedangkan Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1969 juga telah
mencanangkan Bali, Toba, Bunaken, Borobudur dan Toraja sebagai
Destinasi Tujuan Wisata (DTW).
Atas hal itu, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya usia
pembangunan kepariwisataan kita tidaklah tergolong baru "akil balig"
lagi.
Dengan masa pembangunan yang sudah lebih dari 50 tahun
tersebut, yang sejak Repelita I sudah diimpikan sebagai penghasil
devisa no. 3 (setelah minyak dan gas) bagi negara, mestinya kinerja
kepariwisataan Indonesia sudah dapat memberikan kemakmuran pada rakyat
negeri ini, namun kenyataannya pada tahun 2013 lalu isu tentang
neraca kepariwisataan Indonesia yang berposisi minus hingga lebih dari
20 persen sulit dibantah.
Dalam persepektif tertentu Bali dapat dikatakan masih
menjadi "icon" terpenting bagi Indonesia, sedangkan dalam perspektif
lain barangkali tidak salah pula jika ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya Bali telah "over exposed" dan kelelahan, serta sedang
menggali lubang kuburnya sendiri.
Sedangkan empat DTW lainnya barangkali masih tergolong dalam
posisi "mati segan hidup tak mau"; baik karena telah "diabaikan"
selama puluhan tahun ataupun karena terlalu sering menjadi "korban"
pembangunan yang bersifat "trial and error" ataupun karena hanya
menjadi objek dari suatu "pembangunan basa-basi" yang tidak masuk
dalam skala ekonomi.
Sejak beberapa tahun lalu Malaysia telah mengklaim
mendapatkan lebih dari 24 juta wisatawan asing, dan telah berani pula
menyatakan diri sebagai "TheTruly Asia", sedangkan negara kita hanya
berkutat pada angka 7-8 juta saja dan masih bermain pada jargon-jargon
promosi "wonderful Indonesia" ataupun "beautiful Indonesia" saja.
Kepariwisataan Indonesia bukan hanya belum bisa menjadi
sumber kemakmuran bagi rakyat negeri ini, serta bukan pula hanya telah
kehilangan "actual demand", melainkan juga telah kehilangan
kepercayaan diri untuk menjaga eksistensi dan mengeskpresikan
eksistensi itu sendiri.
Bahkan, sejalan dengan diberlakukannya aturan PMA (penanaman
modal asing) yang mengizinkan bangsa lain mengusai lahan usaha (HGU)
di negeri ini hingga 90 tahun serta diberlakukannya aturan penguasaan
modal asing bisa mencapai 91 persen, maka bukan tidak mungkin suatu
hari mendatang sektor kepariwisataan akan menjadi sumber utama untuk
terciptanya dengan cepat koloni-koloni benih penjajahan seperi zaman
VOC dulu.
Potensi Kepariwisataan Indonesia
Tentu kita tidak perlu terlalu bersusah payah untuk membayangkan
betapa besarnya potensi pariwisata yang dimiliki oleh negeri kita ini.
Negeri ini memiliki lebih dari 17 ribu pulau dan 400-an suku yang
mendiaminya.
Dalam konteks wisata alam, bayangkan berapa luas lautan
(dan berapa luas "kolam air" nya) yang bisa diarungi oleh para
"yachters" serta "divers" dunia, begitu juga berapa ribu kilometer
panjang pantainya yang bisa menjadi tempat terselenggaranya berbagai
kegiatan "coastal tourism" di berbagai pulau yang ada.
Sejak tahun 1980 Departemen Kehutanan (kini Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan/LHK) telah pula "menyelamatkan" hutan
alam tropika kita melalui penetapan 50 taman nasional dan ratusan
kawasan konservasi lainnya, begitu pula dengan lebih dari 200 kawasan
wana wisata yang telah dikelola oleh PT Perhutani sejak puluhan tahun
lalu.
Sejak masa Orde Reformasi, berbagai Taman Hutan Raya
(Tahura) juga telah terus dibangun di berbagai provinsi yang ada.
Selain keindahan panorama yang dimiliki berbagai tapak
wisata tersebut, maka bayangkanlah pula berapa harga jasa lingkungan
dari berbagai jenis ekosistem yang mengandung ratusan hingga ribuan
jenis flora dan fauna endemik dalam areal tersebut, belum lagi ratusan
jenis ikan hias yang ada di lautan kita.
Jika saja setiap suku di Tanah Air kita ini masing-masing
memiliki lima jenis atraksi budaya,lima jenis "material heritage" dan
lima jenis makanan saja --realitasnya pasti jauh lebih banyak dari
lima-- maka tentunya negeri kita ini secara total setidaknya mempunyai
lebih dari 6000 atraksi wisata budaya yang bisa ditawarkan pada
wisatawan dunia.
Jika satu hari butuh mempromosikan satu budaya saja, maka
secara potensial bisa dikatakan kita mempunyai promotion material yang
lebih dari cukup untuk selama 20 tahun, bukan?
Atas hal itu, mengapa pula saat ini malah budaya kontemporer
yang menjadi marak meracuni pemikiranserta jiwa generasi muda kita?
Bersamaan dengan ratusan gunung berapi dan ratusan sungai yang
ada di negeri ini, maka ratusan pula lah jenis traditional "martial
art" yang tersimpan pada anak negeri penjaga gunung dan sungai
tersebut.
Sebegitu banyaknya pulalah sesungguhnya keahlian pengobatan
tradisional yang mereka kuasai, lengkap dengan berbagai ramuan obat
tradisional yang mereka pelajari turun temurun dari nenek moyang
mereka.
Bahkan, setiap kepala keluarga dari masyarakat dayak yang
tinggal di sepanjang Pegunungan Muller Kalimantan pasti memiliki tiga
jenis ramuan obat tradisional yang secara rahasia mereka miliki
sebagai salah satu kekuatan dasar eksistensi setiapkepala keluarga.
Jika kita petakan semua potensi sumber daya kepariwisataan
yang kita miliki, maka secara objektif semua potensi yang ada adalah
berada dalam kondisi "golden values", baik jumlahnya, jenisnya,
keindahannya, keunikannya, kelangkaannya, sebarannya dan pasarnya.
Tunjuklah potensi mana saja yang akan kita pilih, maka
dipastikan potensi sumber daya wisata itu memiliki populasi "potential
demand"-nya yang relatif cukup besar dan bisa mengakses sumber daya
tersebut dalam waktu paling lama tiga jam saja.
Jika pun selama ini "potential market" tersebut belum
terwujud seutuhnya menjadi "actual market" secara optimal, maka itu
adalah lebih disebabkan oleh dua hal saja, yaitu: karena masih
rendahnya alokasi "disposible income" untuk berekreasi dan wisata di
tengah masyarakat kita secara nasional, dan karena masalah
infrastruktur dan fasiltas dasar.
Penyebab Mandul Kinerja Kepariwisataan
Di antara sekian banyak penyebab mandulnya kinerja kepariwisataan
selama ini, barangkali ada dua masalah penting yang perlu kita soroti,
yaitu: (1) Kompetensi SDM, serta (2). Politik dan Kebijakan.
Dampak kedua masalah tersebut bersifat resiprokal dan
menyebabkan terjadinya efek domino.
Rendahnya kompetensi SDM kepariwisataan Indonesia berakar
pada tidak lengkap serta buruknya sistem pendidikan kepariwisataan
selama ini.
Setidaknya hampir selama 20 tahun sejak NHI berdiri di
Bandung pada tahun 1956 pendidikan kepariwisataan di Indonesia hanya
meliputi pendidikan vokasional dengan jenjang diploma tiga (D3). Itu
pun hanya fokus pada dua aspek kepariwisataan saja, yaitu
"accomodation management" dan "travel management".
Kelompok ilmu manajemen akomodasi cenderung fokus pada
perhotelan dan restoran, sedangkan kelompok ilmu manajemen perjalanan
fokus pada "ticketing" dan "tour operating".
Jikapun pada awal hingga pertengahan tahun 70 telah mulai
berdiri beberapa Sekolah Tinggi Pariwisata, namun fokus keilmuannya
hanya bertambah dengan kelompok ilmu ekonomi pariwisata saja.
Meskipun di Jurusan Planologi ITB juga telah membicarakan
kepariwisataan, namun hanya dalam bentuk satu atau dua mata kuliah
saja.
Demikian pula halnya dengan IPB yang memulai langkahnya
dengan mempelajari pariwisata sebagai ilmu wilayah, dengan fokus pada
wilayah sektor kehutanan.
Meskipun dalam 10-15 tahun terakhir ini sudah semakin
banyak institusi pendidikan tinggi yang memberi perhatian pada
keilmuan pariwisata, mulai dari ketrampilan vokasi D3 hingga sains dan
teknologi jenjang S1 sampai S3, namun nampaknya sebagian besar
perguruan tinggi masih gamang untuk mengambil "scientific niche" atau
relung ilmu pengetahuan kepariwisataan yang akan dikembangkannya,
kecuali IPB yang tetap fokus mengembangkan ilmu pariwisata sebagai
ilmu pembangunan wilayah dengan memperluas aspek wilayah sektor
kehutanan menjadi ekowisata dan pariwisata berkelanjutan.
Di IPB, kemampuan mahasiswa tingkat vokasi dibangun
dengan pendekatan "leisure science", di tingkat S1 diberi kemampuan
ilmu pengetahuan pembangunan ekowisata pada kawasan konservasi,
sedangkan pada tingkat S2 dan S3 mahasiswa mereka diberi kemampuan
pembangunan ekowisata pada tingkat wilayah dan nasional.
Atas situasi itu, maka dapat dikatakan bahwa terdapat
"kelangkaan" relung dan kedalaman komprehensifitas kompetensi SDM
kepariwisataan.
Hal ini bukan hanya menyebabkan dipertanyakannya buah-buah
fikir yang mereka hasilkan selama ini melainkan juga menjadi penyebab
utama timbulnya konflik arogansi keilmuan dan/atau timbulnya apa yang
oleh masyarakat di Indonesia Bagian Timur disebut sebagai
"Akademisi/Intelektual Rheumason", yaitu para kaum terdidik bergelar
profesor/doktor yang kehilangan marwah mereka karena telah "mengobral"
gelar akademisnya untuk ikut secara dominan dalam berbagai proyek
pembangunan yang sebenarnya tidak dia kuasai.
Pada tingkat nasional, dampak negatif dari kelangkaan
kompetensi SDM tersebut telah mencapai puncaknya dengan (maaf)
buruknya isi UU No. 10 tahun 2009 tentang Pariwisata dan PP No. 50
tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional.
Bahasa hukum dalam UU No. 10 tidak saja banyak yang terlalu
sumir dan multi-tafsir, melainkan juga banyak esensi subjek dan objek
yang diatur di dalamnya seharusnya adalah merupakan porsi dari
peraturan yang lebih rendah.
Sedangkan dalam PP No. 50, negeri yang seluas ini telah
dibagi menjadi 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), 88 Kawasan
Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) serta 222 Kawasan Pembangunan
Pariwisata Nasional (KPPN) tanpa kejelasan benang merah dan
keterkaitannya satu sama lain.
Dengan nomenklatur yang sebanyak itu maka jangankan proses
pembangunannya yang akan bisa diharapkan selesai pada tahun 2025
nanti, bahkan dokumen perencanaannya saja barangkali bisa dipastikan
tidak akan selesai disusun, bukan?
Di Kementerian Pariwisata sesungguhnya masih relatif cukup
tersedia para birokrat yang cerdas dan pekerja keras, namun sudah
menjadi rahasia umum bahwa mereka menjadi sering "bungkam" dan
"terpinggirkan" oleh dinamika "office politicking" yang dimainkan
oleh para oknum non-struktural yang menjual nama menteri atau memang
menjadi penyambung lidah menteri.
Ada pun di tingkat daerah, para Kepala Dinas Pariwisata
provinsi/kabupaten/kota dapat dikatakan sesungguhnya sudah memiliki
motivasi yang baik dalam menjalankan tupoksinya,namun demikian kinerja
mereka sering tidak tuntas karena dinamika sistem politik lokal yang
syarat dengan dinamika "turn over" berupa pergantian jabatan
tiba-tiba.
Semua itu menyebabkan terjadinya "policy and budgeting
discountinued" yang berefek negatif serta sangat signifikan dalam
banyak hal.
Keterbatasan kompetensi SDM tersebut tidak hanya berdampak
negatif pada kapasitas teknis yang mereka miliki, namun juga sangat
terasa pada kapasitas politik sektoral yang harus dijaga. Sebagai
contoh, cobalah selidiki mengapa berbagai iklan komponen industri
pariwisata kita begitu menyedihkan selama ini, berapa efektifitas
iklan tersebut dan siapa saja yang diuntungkan.
Coba telisik perusahan dari negara mana yang bertahun-tahun
mendikte konsep dan tampilan iklan PT Garuda Indonesia, coba juga
telusuri siapa saja yang menjadi penyelenggara MICE berskala
internasional selama ini.
Tender terbuka adalah tidak salah, namun bagaimana mungkin
kita akan menjadi diuntungkan jika konsep dan produk promosi kita
didikte oleh orang-orang negara pesaing.
Gagalnya para pengusaha lokal untuk memenangkan tender
berbagai pekerjaan bernilai triliunan rupiah tersebut tentunya adalah
bukan hanya karena adanya berbagai dikte dari para oknum (seperti
diisukan banyak pihak), melainkan juga karena lemahnya kompetensi para
pengusaha nasional.
Keterbatasan pemikiran yang mereka miliki tidak saja telah
menjadikan mereka gagal membentuk kelompok kerja yang harmonis,
sehingga gagal pula membetuk konsorsium untuk mendukung kebutuhan
finansial, melainkan juga cenderung berkompetisi negatif satu sama
lain. Bahkan, tidak sedikit pula diantara mereka yang tidak malu untuk
sekedar menjadi "calo" dalam mencari investor asing dengan cara yang
merugikan kepentingan nasional.
Kemaritiman dan Kepariwisataan
Kesungguhan Presiden Jokowi untuk memajukan pariwisata secara
nasional dapat kita indikasikan dengan tidak jadi ditunjuknya AA Gede
Ngurah Puspayoga sebagai Menteri Pariwisata (sebagaimana diisukan
sebelumnya), di mana hal ini bisa dimaknai sebagai terus
dilanjutkannya proses penyelarasan dan penyeimbangan "Bali First
Policy" dalam percaturan politik pembangunan pariwisata nasional.
Sedangkan perubahan nomenklatur dan posisi Kementerian
Pariwisata ke dalam Kementerian Koordinator Maritim harus kita sambut
gembira dan maknai sebagai pemberian wewenang yang lebih baik untuk
kementerian tersebut.
Selain untuk mengoptimalkan manfaat ekonomi dari berbagai
potensi laut dan pesisir yang kita miliki melalui sektor pariwisata,
maka dengan posisi baru tersebut hendaknya juga bisa dijadikan sebagai
suatu kesempatan emas untuk merubah posisi "jenderal detasemen markas"
menjadi "jenderal teritorial".
Hal tersebut tentunya membutuhkan penyelarasan dan
penyempurnaan konsep-konsep dan strategi pembangunan. Jika selama ini
hanya berorientasi pada penciptaan manfaat dan nilai tambah ekonomi
yang bisa ditimbulkan, maka sekarang kementerian tersebut harus
didorong dan dibantu untuk mempunyai kewenangan dan kemampuan guna
secara langsungbisa bertindak sebagai "leading exsecutor" dalam proses
pembangunan suatu wilayah secara utuh, mulai dari alamnya hingga
manusianya secara bersamaan dan seimbang (penerapan Teori Gaia).
Jika berbagai hal yang telah didiskusikan di atas dapat
diterima kebenarannya, maka pertanyaan yang timbul dan perlu kita
jawab sekarang adalah: "Apakah gagasan Arief Yahya untuk menjadikan
ICT (information and communication technology) sebagai pilihan
manajemen strategisnya untuk pencapaian target 20 juta turis
macanegara dalam beberapa tahun mendatang adalah sudah yang terbaik?.
Apakah memang teknologi komunikasi dan informasi (ICT) yang
selama ini menjadi ranah kepiawaian Arief Yahya merupakan jawaban bagi
semua permasalahan dan kendala yang telah dipaparkan di atas?
Barangkali jawabannya adalah "Tidak".
Perancangan dan penginstalasian sistem ICT setidaknya akan
memakan waktu dua tahun, dan akan sulit sekali bisa dijelaskan
objektifitas logika pengaruh ICT akan mampu meningkatkan "actual
demand" sebesar 12 juta wisatawan asing dalam tiga tahun berikutnya.
Sedangkan sejalan dengan mahalnya biaya ICT tentunya perlu
pula ditentukan tolok ukur keberhasilannya secara objektif.
Tanpa penjelasan yang memadai maka tentunya menjadi tidak
salah jika akan banyak yang nantinya beranggapan bahwa pilihan ICT
sebagai kekuatan manajemen strategis Arief Yahya tersebut hanya akan
menjadikan Kementerian Pariwisata sebagai ladang untuk memperkaya
pundi-pundi kelompok perusahaan-perusahaan ICT yang dulu salah
satunya pernah dipimpinnya.
Jika terjadi seperti itu, tentunya tidak elok bukan?
Lebih lanjut, sadar akan posisi negara kita yang bukan termasuk
negara kontinental, maka barangkali kriteria "jumlah pengunjung"
(number of visitor) bukanlah pilihan yang tepat untuk menjadi target
dan sasaran pembangunan pariwisata kita dalam lima tahun mendatang.
Dengan berbagai kondisi yang ada saat ini, maka barangkali
kita lebih membutuhkan "loyalitas pengunjung" (visitor loyality), yang
diwujudkan dalam bentuk peningkatan "jumlah kunjungan" (number of
visit), "lama tinggal" (length of stay) dan "pengeluaran total" (total
expenditure).
Dalam lima tahun ke depan, barangkali lebih baik kita tetap
memiliki 7-8 juta pengunjung yang loyal, dengan lama tinggal yang
lebih panjang dari 9 hari (katakanlah menjadi 14 hari sebagai target
baru) dan dengan pengeluaran yang meningkat menjadi 200-an dolar
AS/hari, ketimbang memiliki 20 juta pengunjung yang berpotensi kecewa
karena kondisi infrastruktur serta fasilitas destinasi yang ada saat
ini menjadikan tidak terpenuhinya motivasi dan ekspektasi mereka dalam
berkunjung.
Lagi pula, eksistensi potensi pariwisata Indonesia
sesungguhnya sudah lama mendunia serta sudah puluhan tahun pula mampu
bersaing dan bertahan, sehingga hal yang kita butuhkan sesungguhnya
barangkali bukanlah ICT.
Dalam "modern marketing", ICT memang umumnya dijadikan
sebagai "tools" yang handal untuk mendukung proses "penetrasi pasar"
(market penetration). Namun demikian barangkali perlu kita sadari dan
sepakati bersama bahwa permasalah mendasar kita adalah pembenahan dan
pembangunan destinasi serta pemenuhan infrastruktur dan fasilitas
dasar.
Selain berbagai masalah dan kendala yang telah didiskusikan
di atas, maka salah satu masalah utama yang pasti juga akan dihadapi
Arief Yahya dalam memacu proses pembangunan pariwisata nasional adalah
keterbatasan jatah dana pembangunan untuk kementerian yang
dipimpinnya.
Atas hal itu, sebagai opsi sumber dana maka barangkali tidak
akan terlalu salah kalau melalui tulisan ini kita cuatkan dan
diskusikan isu rendahnya efisiensi dan efektifitas penggunaan dana CSR
(tanggung jawa sosial perusahaan) yang berjumlah triliun rupiah
setiap tahun di negara kita ini.
Jika selama ini efisiensi dan efektifitas dana-dana CSR di
negeri ini telah diisukan dan dikeluhkan banyak pihak adalah sangat
rendah dan sangat tidak transparan serta cenderung menjadi ATM dan
"mbancak-an" (rebutan) oknum politikus dan/atau LSM tertentu serta
bahkan juga disalah gunakan oleh perusahaanitu sendiri, maka
barangkali kini lah saatnya untuk kita mengusulkan kepada Presiden
Jokowi agar dilakukan pemusatan penggunaan dana CSR untuk pembangunan
pariwisata nasional dalam lima tahun ke depan.
Jumlah dana yang tersedia sangat banyak, birokrasi
penggunaannya tidak terlalu kompleks, tinggal strategi dan integritas
implementasinya serta "political will" dari Presiden Jokowi saja yang
menjadi kunci keberhasilannya.
Jika dalam lima tahun ke depan Arief Yahya bisa
memanfaatkan dana CSR untuk membangun masing-masing satu destinasi
bertaraf internasional di Indonesia Bagian Timur dan Sumatera maka
tentunya namanya akan menjadi sangat dihormati dalam kancah pariwisata
nasional.
Kawasan Danau Sentani barangkali sudah sangat siap untuk
menerima sentuhan "tangan dingin" Arief Yahya, sedangkan Minangkabau
sebagai satu-satunya sisa wilayah matrilineal di Indonesia juga
sangat patut dan siap untuk dijadikan sebagai destinasi bertaraf
internasional oleh "tangan dingin" Arief Yahya.
Mudah-mudahan Arief Yahya juga sepakat atas berbagai
diskursus di atas, serta bisa pula meyakinkan Presiden Jokowi untuk
berkenan menetapkan kebijakannya. Mari kita bantu dan doakan bersama.
*Ketua Program Studi Pascasarjana Manajemen Ekowisata dan Jasa
Lingkungan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), salah
satu pendiri Perhimpunan Nasionalis Indonesia (Pernasindo).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014