Mengkaji Kembali Urgensitas RUU Penyadapan
Sabtu, 28 Maret 2020 19:20 WIB
Ketiadaan aturan tunggal tersebut akan membuka peluang terjadinya saling klaim berdasarkan kepentingan masing-masing institusi.
Jakarta (ANTARA) - Pro kontra mengenai tindakan penyadapan kembali mencuat ke publik setelah Ketua DPR-RI Bambang Soesatyo dilansir detiknews.com meminta pembahasan RUU tentang Penyadapan kembali dilanjutkan. Bambang menghimbau Komisi III DPR-RI mengundang institusi penegak hukum untuk membahas RUU tersebut.
Perdebatan tindakan dan kewenangan penyadapan pada dasarnya sudah terjadi sejak lama pada saat RUU tentang Intelijen, karena memberikan wewenang pada Badan Intelijen Negara untuk melakukan penyadapan atau intersepsi. Sebenarnya di Indonesia, aturan penyadapan tersebar dalam 16 UU seperti UU KPK, UU Narkotika, UU Komisi Yudisial (KY), UU Intelijen, UU Telekomunikasi, UU Advokat, UU Tindakan Pidana Perdagangan Orang hingga UU Informasi dan Transaksi Elektroni (ITE). Dikarenakan, banyaknya aturan tersebut yang mengatur perihal yang sama, sehingga perlu dibuat aturan tersendiri tentang penyadapan.
Merujuk regulasi izin penyadapan di beberapa Negara. Dalam buku 'Penyadapan vs Privasi' yang ditulis Reda Mantovani, diceritakan detil proses penyadapan di AS, Inggris, Prancis dan Belanda.
Di Amerika Serikat (AS), penyadapan diatur dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968, Foreign Intelligence Surveillance Act 1978, The Pen Register and Trap and Trace Devices Chapter of Title 18 in 18 U.S.C 3121-3127. Tindakan penyadapan dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968 harus mendapatkan perintah pengadilan untuk pelaksanaannya. Begitu juga dengan aturan lain, semua penyadapan harus seizin pengadilan. Kualifikasi kejahatan yang bisa disadap yaitu dilakukan terhadap kejahatan berat, terhadap kejahatan yang mengancam keamanan negara (oleh intelijen) dan teroris.
Berbeda dengan AS, penyadapan di Inggris harus memerlukan izin dari The Secretary of State atau The Home Secretary, sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk hukum dan ketertiban Inggris. Penyadapan ini ditujukan kepada kepentingan keamanan nasional yang bertujuan melindungi dari kejahatan serius, perekonomian nasional atau memberikan efek kepada ketentuan yang mengatur perjanjian bantuan hukum internasional.
Sedangkan di Perancis, penyadapan ini dilakukan dengan dua tujuan yaitu penindakan hukum dan menjaga keamanan nasional. Termasuk pula dalam kategori ini dalam upaya pencegahan terorisme dan kejahatan yang membahayakan warisan ilmu pengetahuan dan ekonomi. Tindakan penyadapan di Prancis diatur ketat dan harus benar-benar seizin pengadilan. Penyadapan ini juga diawasi oleh sebuah komisi independen, yang ditunjuk oleh Presiden untuk masa jabatan 6 tahun.
Sementara di Belanda, penyadapan ini ditujukan untuk kejahatan serius seperti yang ancaman pidananya di atas 4 tahun penjara, kepentingan intelijen, keamanan nasional dan pertahanan negara. Dalam melakukan penyadapan, penyidik harus mendapatkan surat perintah yang dikeluarkan hakim.
Argumentasi bahwa penyadapan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi alasan kelompok yang tidak setuju pada tindakan penyadapan. Salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menilai tindakan penyadapan bertentangan dengan prinsip-prinsi HAM. Wakil Ketua Komnas HAM, Hairansyah menyebut setidaknya ada enam hal yang harus dicermati lagi oleh DPR dan pemerintah. Salah satunya adalah menyangkut istilah penyadapan dan jangka waktu penyadapan, serta aturan spesifik yang saat ini masih berbeda-beda diantara sejumlah lembaga terkait. Selain itu, persoalan perlindungan privasi sebagai salah satu hak asasi yang dapat dikurangi atau derogable right. Komnas HAM menilai perlu ada batasan yang jelas sejauh mana hak privasi seseorang dapat dibatasi tanpa merusak demokrasi dan ketertiban umum.
Untuk itu, perlu ditegaskan pemahaman tindakan penyadapan sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia atau pembatasan hak asai manusia. Pemikiran tentang sejauh manakah tindakan penyadapan dapat dilakukan atau melanggar hak asasi manusia sangat penting untuk dipahami, mengingat arah hukum pidana materiil maupun formil nasional sudah mengakui tindakan penyadapan.
UUD 1945 pun memberikan satu penegasan tegas bahwa pelaksanaan hak asasi harus didasarkan pada kepentingan umum dan tertuang dalam Undang-Undang. Artinya, penyadapan diperbolehkan sepanjang dilakukan demi kepentingan umum dan diatur secara tegas dalam sebuah produk Undang Undang. Atau dengan kata lain, hak asasi manusia yang melekat pada individu harus dipahami dalam konteks kebersamaan yang saling bertanggungjawab namun tidak boleh sesuka hati. Dalam hal ini, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan substansi yaitu, memuat alasan-alasan yang tidak mengada-ada (reasonable) dan tidak sewenang-wenang (not arbitrary). Pelaksanan tindakan penyadapan sudah sepatutnya menjadi perhatian serius bagi Pemerintah karena berkaitan dengan keamanan nasional, dengan mulai kembali menyusun dan mengharmonisasikan pengaturan tindakan penyadapan baik dari sisi substansi maupun prosedur. Implikasi dari ketiadaan aturan tunggal terkait penyadapan sangat mengkhawatirkan, terutama berkaitan dengan penyeragaman mekanisme pemantauan dan kontrol dalam tindakan penyadapan. Karena, ketiadaan aturan tunggal tersebut akan membuka peluang terjadinya saling klaim berdasarkan kepentingan masing-masing institusi. (24/*).
Perdebatan tindakan dan kewenangan penyadapan pada dasarnya sudah terjadi sejak lama pada saat RUU tentang Intelijen, karena memberikan wewenang pada Badan Intelijen Negara untuk melakukan penyadapan atau intersepsi. Sebenarnya di Indonesia, aturan penyadapan tersebar dalam 16 UU seperti UU KPK, UU Narkotika, UU Komisi Yudisial (KY), UU Intelijen, UU Telekomunikasi, UU Advokat, UU Tindakan Pidana Perdagangan Orang hingga UU Informasi dan Transaksi Elektroni (ITE). Dikarenakan, banyaknya aturan tersebut yang mengatur perihal yang sama, sehingga perlu dibuat aturan tersendiri tentang penyadapan.
Merujuk regulasi izin penyadapan di beberapa Negara. Dalam buku 'Penyadapan vs Privasi' yang ditulis Reda Mantovani, diceritakan detil proses penyadapan di AS, Inggris, Prancis dan Belanda.
Di Amerika Serikat (AS), penyadapan diatur dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968, Foreign Intelligence Surveillance Act 1978, The Pen Register and Trap and Trace Devices Chapter of Title 18 in 18 U.S.C 3121-3127. Tindakan penyadapan dalam Title III of Ombnibus Crime and Safe Street Act 1968 harus mendapatkan perintah pengadilan untuk pelaksanaannya. Begitu juga dengan aturan lain, semua penyadapan harus seizin pengadilan. Kualifikasi kejahatan yang bisa disadap yaitu dilakukan terhadap kejahatan berat, terhadap kejahatan yang mengancam keamanan negara (oleh intelijen) dan teroris.
Berbeda dengan AS, penyadapan di Inggris harus memerlukan izin dari The Secretary of State atau The Home Secretary, sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk hukum dan ketertiban Inggris. Penyadapan ini ditujukan kepada kepentingan keamanan nasional yang bertujuan melindungi dari kejahatan serius, perekonomian nasional atau memberikan efek kepada ketentuan yang mengatur perjanjian bantuan hukum internasional.
Sedangkan di Perancis, penyadapan ini dilakukan dengan dua tujuan yaitu penindakan hukum dan menjaga keamanan nasional. Termasuk pula dalam kategori ini dalam upaya pencegahan terorisme dan kejahatan yang membahayakan warisan ilmu pengetahuan dan ekonomi. Tindakan penyadapan di Prancis diatur ketat dan harus benar-benar seizin pengadilan. Penyadapan ini juga diawasi oleh sebuah komisi independen, yang ditunjuk oleh Presiden untuk masa jabatan 6 tahun.
Sementara di Belanda, penyadapan ini ditujukan untuk kejahatan serius seperti yang ancaman pidananya di atas 4 tahun penjara, kepentingan intelijen, keamanan nasional dan pertahanan negara. Dalam melakukan penyadapan, penyidik harus mendapatkan surat perintah yang dikeluarkan hakim.
Argumentasi bahwa penyadapan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia menjadi alasan kelompok yang tidak setuju pada tindakan penyadapan. Salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menilai tindakan penyadapan bertentangan dengan prinsip-prinsi HAM. Wakil Ketua Komnas HAM, Hairansyah menyebut setidaknya ada enam hal yang harus dicermati lagi oleh DPR dan pemerintah. Salah satunya adalah menyangkut istilah penyadapan dan jangka waktu penyadapan, serta aturan spesifik yang saat ini masih berbeda-beda diantara sejumlah lembaga terkait. Selain itu, persoalan perlindungan privasi sebagai salah satu hak asasi yang dapat dikurangi atau derogable right. Komnas HAM menilai perlu ada batasan yang jelas sejauh mana hak privasi seseorang dapat dibatasi tanpa merusak demokrasi dan ketertiban umum.
Untuk itu, perlu ditegaskan pemahaman tindakan penyadapan sebagai upaya perlindungan hak asasi manusia atau pembatasan hak asai manusia. Pemikiran tentang sejauh manakah tindakan penyadapan dapat dilakukan atau melanggar hak asasi manusia sangat penting untuk dipahami, mengingat arah hukum pidana materiil maupun formil nasional sudah mengakui tindakan penyadapan.
UUD 1945 pun memberikan satu penegasan tegas bahwa pelaksanaan hak asasi harus didasarkan pada kepentingan umum dan tertuang dalam Undang-Undang. Artinya, penyadapan diperbolehkan sepanjang dilakukan demi kepentingan umum dan diatur secara tegas dalam sebuah produk Undang Undang. Atau dengan kata lain, hak asasi manusia yang melekat pada individu harus dipahami dalam konteks kebersamaan yang saling bertanggungjawab namun tidak boleh sesuka hati. Dalam hal ini, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan substansi yaitu, memuat alasan-alasan yang tidak mengada-ada (reasonable) dan tidak sewenang-wenang (not arbitrary). Pelaksanan tindakan penyadapan sudah sepatutnya menjadi perhatian serius bagi Pemerintah karena berkaitan dengan keamanan nasional, dengan mulai kembali menyusun dan mengharmonisasikan pengaturan tindakan penyadapan baik dari sisi substansi maupun prosedur. Implikasi dari ketiadaan aturan tunggal terkait penyadapan sangat mengkhawatirkan, terutama berkaitan dengan penyeragaman mekanisme pemantauan dan kontrol dalam tindakan penyadapan. Karena, ketiadaan aturan tunggal tersebut akan membuka peluang terjadinya saling klaim berdasarkan kepentingan masing-masing institusi. (24/*).