Mataram (ANTARA) - Ketika sinar matahari pagi mulai menerobos kabut tipis di atas Bukit Menjangan Barat, Bali, deru motor para wisatawan roda dua yang bersiap menukik ke arah pantai terdengar seperti simfoni pembangunan yang lama dinanti.
Dari kejauhan, garis pantai yang memantulkan cahaya keemasan seolah menjadi awal dari sebuah perjalanan panjang menuju timur, melintasi Lombok dengan gili-gilinya yang memikat, melewati Sumbawa yang masih perawan, hingga mencapai Flores yang kaya warna dan budaya.
Jika dilihat dari ketinggian, gugusan pulau Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) tampak seperti pita panjang yang mengikat satu mimpi besar, yaitu membangun superhub pariwisata dan ekonomi kreatif nasional.
Kawasan ini diharapkan bukan hanya menjual keindahan alam, tetapi juga membangun konektivitas, pemerataan ekonomi, dan identitas bersama.
Kesepakatan resmi tiga provinsi, Bali, NTB, dan NTT, pada awal November 2025 menjadi langkah awal dari kolaborasi yang berpotensi mengubah wajah pembangunan di kawasan ini.
Momentum itu bukan hanya seremoni antara gubernur dan pejabat tinggi, melainkan upaya nyata untuk menjahit kembali hubungan antarwilayah yang selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Namun, di balik pesona pasir putih, gili-gili legendaris, dan kekayaan budaya yang menawan, tersimpan pekerjaan rumah yang berat.
Tantangan infrastruktur yang belum merata, konektivitas udara dan laut yang belum efisien, pengelolaan sumber daya manusia pariwisata yang belum setara, serta ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan menjadi persoalan yang harus dihadapi bersama.
Tanpa perencanaan matang dan kerja lintas provinsi yang nyata, mimpi besar superhub itu berisiko tinggal sebagai wacana indah, seperti bayangan yang perlahan lenyap bersama kabut pagi di Bukit Menjangan.
Tantangan
Pulau Bali selama ini dikenal sebagai destinasi internasional unggulan Indonesia. Namun di era superhub, tantangan utamanya bukan lagi mencari wisatawan tapi mencari ruang baru.
Penataan ruang dan regulasi menjadi masalah utama yang perlu dijawab dengan serius, yaitu bagaimana mengendalikan laju pembangunan yang begitu cepat agar tidak merusak lingkungan dan menggerus budaya lokal.
Bali menghadapi risiko over-pariwisata serta kebutuhan untuk mendiversifikasi jenis wisata agar tetap kompetitif dan berkelanjutan.
Sedangkan NTB memiliki keunggulan alam luar biasa dengan deretan Gili, Gunung Rinjani, serta pantai-pantai indah di Lombok dan Sumbawa.
Namun di balik potensi besar itu, tantangan terbesar yang dihadapi adalah konektivitas udara, laut, dan darat yang belum sepenuhnya terintegrasi.
Karena itu, dalam kerja sama regional, NTB menegaskan bahwa sektor perhubungan akan menjadi prioritas utama untuk diwujudkan bersama.
Selain itu, SDM dan kesiapan industri kreatif lokal perlu ditingkatkan agar tidak hanya menjadi pengikut destinasi, melainkan penggerak nilai tambah.
Di NTT, seperti yang terangkum dalam wacana superhub, perhatian tidak hanya tertuju pada sektor pariwisata semata, tetapi juga mencakup bidang lain yang sama pentingnya seperti pertanian, ekonomi kreatif, dan keberlanjutan pasok.
Salah satu contohnya dapat dilihat di Labuan Bajo, di mana kebutuhan pokok masyarakat masih banyak bergantung pada pasokan dari luar kawasan.
Keterbatasan infrastruktur dasar serta lemahnya integrasi rantai nilai membuat NTT sulit mengoptimalkan potensi pariwisata sebagai pengungkit ekonomi yang inklusif.
