PBB (ANTARA) - Pembunuhan massal yang mengarah pada pembasmian etnis tertentu, dikenal dengan istilah genoside, mengguncang sejumlah belahan bumi, akibat perang atau konflik berkepanjangan.
Salah satu genosida terjadi di Sudan, Afrika.
Dewan Keamanan PBB harus menyelidiki "genosida" yang sedang berlangsung di Kota Al Fashir, Darfur, Sudan, kata Perwakilan Tetap Sudan untuk PBB, Al-Harith Idriss al-Harith Mohamed pada Kamis (30/10).
Sebelumnya pada Rabu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengecam laporan pembunuhan yang dilakukan pasukan Dukungan Cepat (RSF) terhadap 460 lebih warga sipil dan penculikan enam tenaga kesehatan Rumah Sakit Bersalin Saudi di Darfur Utara.
"Kami mendesak Dewan (DK PBB) untuk membuka penyelidikan terhadap genosida yang dialami penduduk kota Al Fashir demi mendorong proses pertanggungjawaban," kata Al-Harith pada sesi DK PBB yang membahas situasi di Sudan.
"Setiap hari milisi mengeluarkan ancaman pembunuhan massal," katanya.
Sejak 2023 Sudan dilanda konflik yang melibatkan militer Sudan dan paramiliter RSF. Pada Maret lalu militer telah mengumumkan bahwa pihaknya berhasil mengusir pemberontak dari Ibu Kota Khartoum. Namun, pada April RSF menggencarkan serangannya di wilayah barat dan selatan Sudan dan mengumumkan pembentukan pemerintahan tandingan.
WHO mengatakan eskalasi kekerasan di negara tersebut telah memaksa sekitar 28.000 orang mengungsi dari Kota Al Fashir dalam beberapa hari terakhir.
Dalam waktu dekat, 100.000 orang lainnya juga diperkirakan akan mengungsi ke wilayah tetangga, Tawila.
Sementara itu, lebih dari 260.000 warga sipil masih terjebak di Al Fashir dengan keterbatasan akses pangan dan air.
Pada awal Oktober PBB telah mendesak tindakan segera untuk menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin memburuk di Sudan, di mana sekitar 30 juta orang saat ini membutuhkan bantuan kemanusiaan di tengah konflik yang hingga kini masih berlangsung.
Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat Tom Fletcher pada Kamis (30/10) menyesalkan apati internasional terhadap kekejaman yang terjadi di Sudan.
"Kota El Fasher, yang telah menjadi lokasi penderitaan manusia di level yang katastropik, kini terjerumus ke dalam neraka yang lebih kelam, dengan laporan-laporan kredibel tentang eksekusi massal setelah tentara Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) memasuki kota tersebut," kata Fletcher kepada Dewan Keamanan PBB.
Perempuan dan anak perempuan diperkosa, orang-orang dimutilasi dan dibunuh, tanpa hukuman sama sekali bagi para pelaku. Pada Rabu (29/10), hampir 500 pasien dan pendamping mereka di Rumah Sakit Bersalin Saudi di El Fasher, ibu kota Darfur Utara, dilaporkan tewas dibunuh, kata Fletcher.
Puluhan ribu warga sipil yang ketakutan dan kelaparan melarikan diri atau mencari tempat perlindungan. Mereka yang mampu melarikan diri, yakni sebagian besar warga, perempuan, anak-anak, dan lansia, akan menghadapi pemerasan, pemerkosaan, dan kekerasan selama perjalanan yang berbahaya. Para pemuda diculik atau dibunuh di jalan, sementara banyak orang tidak dibolehkan meninggalkan wilayah tersebut, lanjut Fletcher.
"Apa yang terjadi di El Fasher mengingatkan kembali pada kekejaman yang dialami Darfur 20 tahun lalu. Namun, entah bagaimana, saat ini kita melihat reaksi global yang sangat berbeda, reaksi lepas tangan. Jadi, ini juga merupakan krisis apati," ujar Fletcher.
Fletcher mendesak Dewan Keamanan PBB dan negara-negara anggota PBB untuk mengambil tindakan segera dan tegas guna menghentikan kekejaman terhadap warga sipil dan berhenti mempersenjatai kekerasan ini, serta menuntut akses kemanusiaan penuh dan tanpa hambatan di El Fasher maupun seluruh Sudan.
Jumlah korban tewas akibat pertempuran di Kota Al Fasher di Provinsi Darfur Utara, Sudan, bertambah menjadi 2.200 orang setelah kota tersebut secara penuh diambil alih oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada 26 Oktober.
Sementara itu, lebih dari 390.000 warga terpaksa mengungsi, kata juru bicara Tentara Pembebasan Sudan pro-pemerintah, Agad bin Kony, kepada RIA Novosti pada Kamis.
Menurutnya, jumlah korban tewas meningkat menjadi 2.227 orang, termasuk anak-anak, perempuan, dan kaum lansia.
"Semua orang telah melihat video yang memperlihatkan para militan menembaki orang-orang di rumah sakit Saudi, pusat pengungsian dan masjid-masjid, di mana korban luka, pasien, atau warga sipil mencari perlindungan di tengah aksi penembakan dan pertempuran sengit," katanya.
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa lebih dari 393.000 orang telah meninggalkan Kota Al Fasher dalam empat hari terakhir.
Puluhan warga sipil tewas terbunuh di El Fasher, Daerah Darfur, Sudan barat, ketika Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF) mengeklaim telah merebut kota itu, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan tentang bencana kemanusiaan yang semakin parah.
Jaringan Dokter Sudan (Sudanese Doctors Network), sebuah kelompok sukarelawan medis, mengatakan bahwa RSF melakukan "eksekusi berbasis etnis" dan "pembantaian yang mengerikan" di El Fasher, dengan laporan awal menyatakan bahwa jumlah korban tewas mencapai puluhan orang.
Kelompok bantuan tersebut menuduh pasukan RSF menjarah rumah sakit dan apotek, mengakibatkan orang sakit dan terluka tidak mendapatkan perawatan.
Para aktivis lokal mengatakan bahwa ribuan warga sipil yang mencoba menyelamatkan diri dari Kota El Fasher berisiko dibunuh atau ditahan oleh pasukan RSF. Koordinasi Komite Perlawanan (Coordination of Resistance Committees) di El Fasher mendesak intervensi internasional untuk menciptakan koridor yang aman bagi mereka yang terjebak dalam pertempuran.
RSF pada Minggu (26/10) mengatakan telah mengambil alih kendali penuh atas El Fasher, seraya menyebut jatuhnya kota itu sebagai "momen penting" karena "signifikansi simbolis, strategis, dan militernya."
El Fasher, benteng terakhir tentara Sudan di wilayah Darfur yang luas, dikepung secara intens oleh RSF sejak tahun lalu.
Abdel Fattah al-Burhan, ketua Dewan Kedaulatan Transisi Sudan sekaligus komandan Angkatan Bersenjata Sudan, mengatakan bahwa tentara Sudan telah menarik diri dari El Fasher.
Sementara itu, Kementerian Kebudayaan, Informasi, dan Pariwisata Sudan mengutuk "pembantaian, pembunuhan, penyiksaan, penjarahan, dan perampokan terhadap warga sipil tak bersenjata" yang dilakukan oleh RSF di El Fasher dan kota tetangganya, Bara.
PBB dan sejumlah lembaga bantuan menyuarakan kekhawatiran mereka atas situasi yang memburuk ini. Organisasi Internasional untuk Migrasi (International Organization for Migration/IOM) mengatakan sedang melacak gelombang pengungsian baru dari El Fasher ketika keluarga-keluarga menyelamatkan diri dengan sedikit akses ke makanan, air, atau tempat perlindungan.
Warga tetap "terperangkap dan terkepung ketakutan, kelaparan, serta tanpa akses ke layanan kesehatan atau keamanan," kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA), yang kembali menyerukan gencatan senjata segera "di El Fasher, di Darfur, dan di seluruh Sudan."
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Senin (27/10) memperingatkan adanya "eskalasi kekerasan yang mengerikan", sementara Tom Fletcher, pimpinan OCHA, pada Minggu mendesak pihak-pihak yang bertikai untuk memberikan jalan yang aman bagi warga sipil.
Di Bara, yang terletak di daerah Kordofan yang bertetangga dengan Darfur, Jaringan Dokter Sudan mengatakan bahwa RSF telah mengeksekusi sedikitnya 47 warga sipil tak bersenjata, termasuk sembilan perempuan, dan menuduh mereka memiliki hubungan dengan angkatan bersenjata. Kelompok bantuan itu juga melaporkan adanya penjarahan, penculikan, dan pelanggaran lainnya.
Perang saudara di Sudan, yang kini sudah memasuki tahun ketiga, melibatkan tentara Sudan dan RSF. Konflik ini telah menewaskan puluhan ribu orang, menyebabkan jutaan orang mengungsi, dan mendorong sebagian besar wilayah Sudan ke ambang kelaparan, meskipun gencatan senjata berulang kali diserukan oleh PBB dan para mediator regional.
Sumber: Sputnik-OANA
