Bandung (ANTARA) - Kilauan air dan perbukitan di sekeliling Waduk Cirata menyuguhkan pemandangan indah yang tertempel dalam benak siapapun yang mengunjunginya. Tapi, cerita tentang Cirata, waduk yang beroperasi sejak 1987 itu, bukan melulu soal keindahan. Di sana ada PLTA terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 1.000 MW.
Kemudian, di waduk yang memisahkan Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, dan Purwakarta ini, tonggak sejarah juga tertoreh dengan hadirnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung yang juga disebut terbesar di Asia Tenggara, dan jadi simbol energi bersih serta berdaulat bagi Indonesia.
Sejarah PLTS Terapung Cirata dimulai pada 2012. Saat itu, PT Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), yang sekarang dikenal sebagai PT PLN Nusantara Power (PLN NP), mulai mengeksplorasi potensi energi bersih melalui pengembangan tenaga surya.
Melihat potensi luas permukaan waduk Cirata yang sekitar 6.500 ha, ada pembicaraan untuk memadukan kerja pembangkit surya dengan pembangkit tenaga air. Namun, karena kekurangan teknologi yang memadai, pembicaraan lebih lanjut terkait ini tertunda.
Barulah lima tahun kemudian, yakni pada 2017, Indonesia menjajaki kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) melalui kolaborasi global antara PT PLN lewat subholdingnya PLN NP dan perusahaan asal UEA, Masdar.
Pada Januari 2020, Masdar mengumumkan telah menandatangani surat kuasa perjanjian jual beli (PPA) dengan PT PLN untuk konstruksi PLTS terapung pertama di Indonesia, dengan kapasitas 145 MWac pada permukaan Waduk Cirata seluas 250 ha.
Dengan nilai investasi total mencapai 129 juta dolar AS atau setara Rp1,9 triliun yang disokong tiga lembaga keuangan internasional, yakni Sumitomo Mitsui Banking Corp, Societe Generale, dan Standard Charter Bank, pada November 2023 PLTS Terapung Cirata akhirnya hadir dan resmi beroperasi dengan 343.000 panel surya pada 13 blok pulau terapung yang menghasilkan listrik berkapasitas 192 Megawatt peak (MWp) atau 145 Megawatt ac (MWac).
Infrastruktur yang jadi pelita energi bersih di Nusantara ini dikelola oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Masdar Solar Energi (PMSE), hasil kemitraan PLN Renewable Nusantara (anak usaha PLN NP) bersama Masdar, dengan pembagian saham masing-masing 51 persen dan 49 persen.
Teknologi dan Proyeksi
Sejak diresmikan, 343.000 panel surya pada 13 blok pulau panel surya ini, terapung di permukaan waduk seluas 200 ha, atau empat persen dari luas permukaan total Cirata.
PLTS Terapung Cirata, yang didaulat menjadi yang terbesar ketiga di dunia ini, mengadopsi panel surya berlapis kaca ganda yang mampu menyerap sinar matahari secara optimal serta tahan terhadap korosi dan guncangan.
Setiap panel memiliki kapasitas hingga 560 Watt Peak, sementara struktur terapungnya dibuat dari plastik daur ulang berkualitas tinggi yang tahan sinar ultraviolet (UV) dan api.
Struktur terapung ini ditambatkan menggunakan jangkar beton seberat 12 ton, memastikan stabilitas meski diterpa angin kencang.
Presiden Direktur PT PMSE Dimas Kaharudin Indra Rupawan mengatakan dengan panel surya yang memiliki garansi hingga 30 tahun dan pengapunya hingga 25 tahun menjamin keandalan operasional jangka panjang fasilitas yang telah menghasilkan sekitar 300 gigawatt hour (GWh) listrik per tahun, atau setara dengan satu per seribu dari kebutuhan listrik nasional.
Energi yang dihasilkan dari permukaan waduk Cirata mengalir melalui jaringan listrik Jawa Barat, terhubung ke Gardu Induk Cirata hingga Purwakarta dan Padalarang, yang mendukung PLTA Cirata untuk menerangi rumah-rumah, pabrik, dan industri di Jawa hingga Bali.
Terbitnya Peraturan Menteri PUPR Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri PUPR No 27/2015 tentang Bendungan pada Juli 2023 yang membuka peluang perluasan PLTS Terapung hingga 20 persen dari total luas permukaan waduk, PLTS Terapung Cirata kini tengah dipelajari untuk meningkatkan kapasitasnya sampai tiga kali lipat.
Kemudian, kata Dimas, meski pembangunan infrastruktur ini memiliki tantangan seperti pemasangan panel terapung yang butuh presisi tinggi, perizinan yang terhambat akibat perubahan regulasi, sampai teknologi pembersihan otomatis yang mahal sehingga pemeliharaan harus secara manual, pihak PMSE meyakini PLTS Terapung Cirata yang merupakan pionir ini akan menjadi trensetter dalam pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
"Meski ada hambatan terbesar, yakni membuktikan bahwa teknologi ini layak diterapkan di Indonesia," ujar Dimas.
Berdaulat dan memberdayakan
Infrastruktur yang akan berusia tiga tahun pada November 2025 itu telah berdampak pada warga lokal tiga kabupaten sekitar, dengan menyerap tenaga kerja lokal hingga 1.800 orang, dan kini 60 nelayan tradisional jadi bagian tim pemeliharaan setelah mendapat pelatihan dan sertifikasi.
Infrastruktur ini juga diproyeksi menjadi simbol baru dalam perjalanan Indonesia menuju energi berdaulat dan masa depan yang lebih hijau mengingat berbagai keunggulan yang dimilikinya.
Pertama soal lahan, di mana pembangunan PLTS Terapung Cirata tidak memerlukan pembebasan lahan tambahan yang luas, dan tidak mengganggu kegiatan pertanian atau pemanfaatan lahan lainnya, guna menghadirkan PLTS berkapasitas 192 MWp.
Lalu, dengan sumber tenaga utama sinar matahari, infrastruktur ini beroperasi tanpa bergantung pada sumber energi fosil seperti batubara, minyak dan gas yang menjadikannya lebih hemat, dan berperan dalam mengurangi kebergantungan pada energi fosil dan mengurangi emisi karbon hingga 214 ribu ton per tahun yang mendukung target Net Zero Emmision tahun 2060.
Dengan tenaga surya yang lebih hemat dan bersih dalam beroperasi, menyebabkan PLTS Terapung Cirata menghasilkan listrik yang terjangkau dengan harga listrik kompetitif sekitar Rp900 per kWh, yang membantu masyarakat terutama di daerah terpencil dan belum terjangkau, untuk mendapatkan akses yang lebih baik terhadap energi yang andal dan terjangkau.
"Karenanya, PLTS Terapung Cirata ini menjadi percontohan bagi proyek-proyek PLTS Terapung setelahnya. Kami membuktikan bahwa energi terbarukan itu tidak harus mahal, bahkan tarifnya mampu bersaing dengan batubara misalnya," kata Dimas.
Selain itu, infrastuktur ini dengan panel surya terapungnya, dinilai turut membantu mengurangi laju penguapan air waduk, yang menjadi nilai tambah dalam konservasi sumber daya air. Juga, mampu menurunkan suhu air 1-2 derajat celcius yang menjadikannya lebih optimal untuk budidaya udang maupun ikan tambak.
