Jakarta (ANTARA) - Di tengah gencarnya pemerintah mengejar target penerimaan pajak tahun 2025, masih ada celah yang jarang disentuh secara serius: kurs pajak.
Isu ini memang teknis, bahkan mungkin terkesan sepele, sekadar soal perhitungan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah. Namun, di balik teknis itu tersimpan lubang kebocoran yang nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.
Kurs pajak adalah kurs yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan sebagai dasar perhitungan pungutan negara, terutama bea masuk, PPN impor, dan PPh pasal 22 impor.
Masalah muncul ketika kurs pajak ini tidak bergerak seirama dengan kurs pasar aktual. Karena kurs pajak hanya diperbarui sekali dalam sepekan, perbedaan antara kurs yang berlaku dan kurs transaksi nyata di pasar valas sangat mungkin terjadi.
Dalam kondisi normal, selisih kurs pajak dengan kurs pasar mungkin hanya puluhan rupiah. Namun, pada saat volatilitas tinggi seperti saat rupiah tertekan oleh kenaikan suku bunga AS atau gejolak geopolitik, selisih ini bisa mencapai ratusan rupiah per dolar.
Selisih inilah yang sering dimanfaatkan oleh importir cerdik untuk melakukan tax planning, bahkan arbitrase. Mereka bisa mempercepat atau menunda proses kepabeanan sesuai kurs yang paling menguntungkan.
Untuk memahami besarnya masalah ini, mari kita lihat data impor Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), total impor Indonesia pada tahun 2024 mencapai sekitar 221 miliar dolar AS. Jika kita asumsikan kurs pajak berbeda Rp100 per dolar dengan kurs pasar, maka potensi penerimaan negara yang hilang adalah sekitar Rp22,1 triliun. Jika selisihnya Rp300 per dolar, kebocoran bisa mencapai Rp66 triliun dalam setahun.
Jumlah sebesar itu bukan angka kecil. Sebagai perbandingan, program Makan Bergizi Gratis yang menjadi salah satu program unggulan pemerintah diperkirakan membutuhkan anggaran Rp70 - 80 triliun per tahun. Dengan kata lain, hanya dengan menutup celah kebocoran kurs pajak, negara sudah bisa membiayai separuh program strategis tersebut.
Kebocoran ini juga menambah beban fiskal. Selama ini, ketika penerimaan tidak mencapai target, solusi instan biasanya adalah pengetatan belanja atau penambahan utang. Padahal, solusi yang lebih elegan adalah menutup kebocoran di sisi penerimaan.
Ketika sistem kurs pajak lebih menguntungkan bagi importir besar, UMKM yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru menanggung beban tambahan. Ini menimbulkan ketimpangan struktural: pihak yang dominan semakin diuntungkan, sementara pelaku kecil semakin terdesak.
Selain itu, pola impor nasional juga memperlihatkan dominasi perusahaan besar. Pada 2024, nilai impor Indonesia mencapai 221 miliar dolar AS, dengan sebagian besar transaksi dilakukan oleh korporasi besar di sektor energi, manufaktur, dan otomotif.
Jika selisih kurs pajak dengan kurs pasar hanya Rp100 per dolar, potensi penghematan biaya bagi importir besar bisa mencapai miliaran rupiah per transaksi. Keuntungan itu secara langsung berarti kehilangan penerimaan negara. Bagi UMKM yang hanya mengimpor bahan baku dalam skala kecil, mereka justru membayar lebih mahal karena tidak bisa bermain waktu.
Dalam jangka panjang, ketidakadilan ini berisiko merusak ekosistem usaha yang sehat. Jika kebijakan kurs pajak tetap membiarkan celah keuntungan bagi korporasi besar, maka UMKM akan semakin sulit berkembang karena beban biaya yang lebih tinggi.
Padahal, penguatan UMKM sangat krusial untuk pemerataan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Ketimpangan ini bisa memperdalam jurang antara pelaku usaha besar dan kecil, serta melemahkan cita-cita inklusi ekonomi yang terus digaungkan pemerintah.
Dengan kata lain, reformasi kurs pajak bukan hanya upaya teknokratis meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga langkah moral untuk menegakkan keadilan fiskal dan menjaga keberlanjutan ekonomi nasional.
Menumbuhkan tax ratio
Reformasi kurs pajak bukanlah agenda yang berdiri sendiri. Ia harus dilihat sebagai bagian dari reformasi fiskal yang lebih luas. Selama ini, reformasi perpajakan di Indonesia banyak berfokus pada perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan, dan modernisasi sistem administrasi. Semua itu penting, tetapi menutup celah kebocoran juga sama urgensinya.
Harus diakui, reformasi kurs pajak akan menghadapi resistensi, terutama dari pelaku usaha yang terbiasa dengan kepastian kurs mingguan. Hal ini karena volatilitas harian akan menambah ketidakpastian biaya impor.
Kekhawatiran ini wajar, tetapi sebetulnya bisa diantisipasi melalui berbagai langkah.
Pertama, pemerintah dapat menyediakan masa transisi misalnya kurs harian diuji coba selama enam bulan dengan pendampingan kepada pelaku usaha, dan setelah terbiasa barulah diterapkan secara penuh.
Kedua, pemerintah dapat mendorong penggunaan instrumen lindung nilai (hedging) di pasar keuangan, dimana importir bisa melindungi diri dari fluktuasi kurs harian dengan membeli kontrak forward atau swap, sehingga kepastian pengenaan tarif tetap ada tanpa merugikan negara.
Ketiga, koordinasi antarotoritas mutlak diperlukan antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar reformasi kurs pajak justru menimbulkan keresahan pasar dan atau melemahkan stabilitas rupiah.
Reformasi kurs pajak menjadi salah satu cara efektif untuk menutup kebocoran penerimaan tanpa perlu menambah tarif pajak atau menciptakan beban baru bagi rakyat.
*) Dr. M. Lucky Akbar adalah Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi, Kementerian Keuangan
