Jakarta (ANTARA) - Rentetan peristiwa dalam beberapa pekan terakhir, mulai dari demonstrasi besar di berbagai kota hingga insiden pengemudi ojek online, kembali memicu sorotan tajam terhadap institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Reformasi Polri digaungkan sebelum diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keseriusan itu juga diwujudkan dalam kebijakan berbentuk peta jalan reformasi kepolisian "Grand Strategy Polri". Tahun 2025 merupakan momentum strategis dalam perjalanan reformasi Polri.
Saat ini, institusi Polri sedang mempersiapkan Grand Strategy Polri 2025–2045, kelanjutan dari strategi sebelumnya yang berlaku pada periode 2005–2025. Dalam dokumen ini, reformasi tidak hanya dimulai dari gagasan, tetapi juga adaptasi dengan perkembangan teknologi, kompleksitas kejahatan, hingga tuntutan transparansi publik.
Visi "Polri Presisi" (prediktif, responsif, transparan, dan berkeadilan) yang digaungkan sejak 2021, pelan tapi pasti, sedang diupayakan untuk menyatu dalam sistem dan budaya kerja Polri.
Polri Presisi menyasar transformasi Polri secara menyeluruh. Tak hanya sisi operasional, tetapi juga penguatan sistem pengawasan internal, tata kelola sumber daya manusia, dan pelayanan publik berbasis teknologi.
Reformasi Polri, melalui Polri Presisi telah menekankan juga pada aspek moral dan etik. Profesionalisme aparat kepolisian tidak hanya diukur dari kemampuan teknis, melainkan dari integritas dan kemampuannya bersikap humanis terhadap masyarakat.
Penting dicatat, tuntutan masyarakat bukan menolak institusi, tetapi menagih janji reformasi. Insiden seperti tewasnya warga sipil dalam penanganan demonstrasi bukan hanya menjadi tragedi kemanusiaan, tetapi juga ada faktor psikologi massa yang harus dihadapi oleh petugas lapangan sehingga menimbulkan dilema dalam mengambil keputusan secara cepat saat itu.
Reformasi kultural Polri adalah aspek paling krusial, mencakup perubahan mindset, nilai, dan budaya kerja dari feodal-patrimonial menjadi profesional dan humanis. Ini menuntut keteladanan pimpinan, bukan sekadar instruksi atau pencitraan.
Reformasi yang sejati tidak bisa dibangun di atas tekanan sesaat, melainkan proses yang terukur. Fokus reformasi semestinya diarahkan pada langkah-langkah strategis.
Dalam konteks transformasi Polri Presisi terdapat empat pilar utama transformasi, berupa transformasi organisasi, transformasi pelayanan publik, transformasi operasional dan transformasi pengawasan. Sesuai konteks yang berkembang, penulis menambahkan lima langkah strategis.
Pertama, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem komando dan pelibatan kekuatan dalam pengamanan unjuk rasa. Pendekatan berbasis dialog dan deeskalasi konflik harus diutamakan. Evaluasi dapat berfokus pada sejumlah hal penting seperti sistem komando, pelibatan kekuatan, penyediaan negosiator, pemetaan aktor lapangan, dan revisi SOP penanganan unjuk rasa masyarakat.
Kedua, memperkuat komunikasi publik. Kepolisian harus tampil terbuka, tidak defensif, dan mampu menjelaskan kebijakan serta tindakan secara jernih kepada masyarakat. Mematuhi implementasi UU nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik secara otomatis akan memperkuat transparansi secara menyeluruh. Komunikasi publik berperan untuk mempertajam hal-hal yang diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
Ketiga, membangun sistem pengawasan yang independen dan transparan memerlukan pelibatan aktif lembaga eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan masyarakat sipil. Mereka harus diberi akses terhadap informasi, ruang partisipasi dalam investigasi, serta wewenang memberi rekomendasi. Keterbukaan ini akan memperkuat akuntabilitas Polri dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas serta profesionalisme institusi kepolisian.
Keempat, memperkuat pelatihan dan pendidikan kepolisian berbasis etik, empati, dan hak asasi manusia sangat penting untuk membentuk karakter humanis. Kurikulum harus menyentuh aspek moralitas secara mendalam, tidak hanya keterampilan teknis. Pendidikan ini akan menanamkan nilai integritas, kepekaan sosial, serta komitmen terhadap keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Kelima, mempercepat digitalisasi pelayanan publik dan sistem pelaporan penting untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan responsifitas Polri. Masyarakat harus diberi akses yang mudah, cepat, dan aman dalam melaporkan pelanggaran, meminta perlindungan hukum, atau memantau proses penanganan kasus. Inovasi digital ini akan memperkuat kepercayaan publik serta mendorong keterlibatan aktif warga dalam penegakan hukum.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan
Baca juga: Pergantian Kapolri hak prerogatif Presiden
Baca juga: Lemkapi sambut baik reformasi Polri
Baca juga: Saatnya Polri mereformasi diri
