Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya menggelar International Conference on Infrastructure (ICI) yang berlangsung 11-12 Juni di Jakarta dengan salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan pembangunan tempat tinggal yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia.
Isu hunian atau tempat tinggal merupakan salah satu isu yang paling krusial karena memiliki hunian atau tempat tinggal adalah hak mendasar bagi semua warga negara. Namun, saat ini masih ada tantangan backlog kepemilikan perumahan sebesar 9,9 juta rumah yang masih menjadi persoalan yang harus segera diatasi.
Selain backlog, tantangan lainnya yang dihadapi sektor perumahan adalah keterbatasan lahan dan pola pikir atau mindset masyarakat Indonesia yang masih cenderung berorientasi pada rumah tapak dibandingkan hunian vertikal.
Kecenderungan preferensi demand terhadap rumah tapak membuat pengembang juga tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti kemauan pasar dengan membuat rumah tapak. Akibatnya ketersediaan lahan menjadi sangat terbatas, terutama di wilayah perkotaan lantaran pembangunan rumah tapak membutuhkan bidang lahan yang lebih luas dan banyak dibandingkan hunian vertikal.
Tantangan-tantangan inilah yang berupaya diurai oleh pemerintah melalui ICI 2025. Forum ini tidak hanya mencari solusi bersama dari berbagai pakar domestik maupun internasional, tetapi sekaligus juga menarik investasi dalam proyek-proyek pembangunan hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Social housing, solusi lahan
Salah satu solusi yang dibahas dalam ICI 2025 adalah Social housing atau perumahan sosial yang merupakan perumahan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau lembaga nirlaba dalam rangka membantu pemenuhan kebutuhan hunian bagi MBR.
Ide dari social housing itu adalah pemanfaatan lahan di tengah kota. Implementasi ide ini, negara menggunakan tanah yang segera bisa diakses untuk membangun hunian vertikal seperti tanah milik negara, tanah milik BUMN, tanah milik pemerintah daerah, tanah-tanah yang perlu dikonsolidasi, kawasan kumuh, pinggir sungai, pinggir pantai, dan sebagainya.
Social housing sendiri sudah jamak dipraktikkan oleh berbagai negara, karena dengan social housing, pemerintah memiliki kontrol atas harga tanah untuk pembangunan rumah rakyat.
Selain menghadapi keterbatasan lahan, terutama di perkotaan, sektor perumahan juga menghadapi tingginya harga tanah yang membuat para pengembang pada akhirnya memilih untuk membuat perumahan tapak bagi MBR di luar wilayah perkotaan dengan jarak yang jauh dari kota.
Melalui social housing, lahan sebagai komponen terbesar penentu harga rumah yakni 70 persen bisa dikendalikan atau bahkan ditentukan oleh pemerintah melalui subsidi atau kebijakan perumahan yang tegas dan terukur.
Hunian TOD
Salah satu cara agar social housing dapat terwujud di wilayah perkotaan adalah dengan pembangunan hunian vertikal yang berkonsep transit oriented development (TOD).
Hunian berkonsep TOD menjadi infrastruktur hunian yang penting dan perlu dibangun oleh Indonesia mengingat pada tren ke depan, 70 persen penduduk Indonesia akan lebih banyak tinggal di perkotaan.
Artinya sumber daya kota ini harus diperkuat. Public service harus ditingkatkan. Jangan sampai penduduknya makin padat, makin banyak, tapi infrastrukturnya tidak mendukung, termasuk infrastruktur dasar seperti perumahan.
Saat ini kalau bicara mengenai hunian penduduk, bukan hanya sebatas tempat tinggal atau residence, tetapi juga perkantoran yang berada di lokasi-lokasi dekat dengan perumahan dan sedekat mungkin dengan transportasi publik. Dengan demikian masyarakat bisa mudah dalam mengakses langsung transportasi multimoda yang diharapkan juga mengadopsi teknologi transportasi yang semakin ramah lingkungan seperti bus ramah lingkungan, MRT, LRT dan lain sebagainya.
Di samping social housing, pemerintah juga akan mengoptimalkan peran Koperasi Desa Merah Putih sebagai pemasok material-material konstruksi yang menjadi komponen kedua terbesar penentu harga rumah sebesar 45-50 persen.
Dengan pasokan material yang diupayakan oleh Koperasi Desa Merah Putih maka pembangunan hunian vertikal social housing di wilayah perkotaan bisa diwujudkan.
Penawaran di ICI 2025
Penyelenggaraan ICI 2025 di Jakarta untuk pertama kalinya merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menarik pendanaan investasi dari sektor swasta baik domestik maupun internasional.
Tidak tanggung-tanggung, pemerintah menawarkan 46 proyek infrastruktur dengan total senilai Rp200 triliun. 24 proyek di antaranya merupakan proyek pembangunan hunian, didominasi oleh hunian vertikal TOD.
Salah satu proyek pembangunan hunian vertikal yang ditawarkan oleh pemerintah adalah proyek pembangunan hunian di Kecamatan Karawaci, Kabupaten Tangerang, Banten.
Lahan proyek seluas 37.779 meter persegi yang merupakan lahan negara dan berlokasi sangat strategis karena lokasinya berdekatan dengan kampus, rumah sakit dan sebagainya.
Rencananya di atas lahan tersebut akan dibangun hunian vertikal sebanyak 14 tower dengan total 3.136 unit. Hunian vertikal ini dibangun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dan non-MBR. Total nilai investasi proyek tersebut sebesar 78,76 juta dolar AS.
Dengan dibarengi upaya pemerintah untuk menarik pendanaan investasi, penyelenggaraan ICI 2025 oleh pemerintah perlahan-lahan bisa mengurai dan membuka tantangan-tantangan yang selama ini membelenggu sektor perumahan di Indonesia, mulai dari soal lahan, material konstruksi, hingga arah pembangunan hunian vertikal berkonsep TOD.
International Conference on Infrastructure atau ICI 2025 menjadi momentum hadirnya titik terang realisasi pembangunan tempat tinggal yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia, bahkan mungkin dapat menjadi pijakan krusial untuk mencapai Program Tiga Juta Rumah.