Banyumas (ANTARA) - Alunan suara kidung berbahasa Jawa itu memecah kesunyian salah satu petak lahan di lereng selatan Gunung Slamet di Dusun Sirongge, Desa Karangtengah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (18/5).
Kidung itu dilantunkan oleh seorang perempuan pelaku seni yang akrab disapa Bibi Retno untuk mengiringi kegiatan penanaman bibit pohon tahunan yang diinisiasi Yayasan Dhalang Nawan, dengan menggandeng sejumlah budayawan, pelaku seni, dan pegiat lingkungan dari wilayah di sekitar Gunung Slamet, seperti Kabupaten Banyumas, Pemalang, dan Brebes.
Kidung yang ditembangkan oleh budayawan di Gunung Slamet tersebut mengandung makna ajakan untuk berserah kepada kekuasaan Tuhan dengan legawa dan memusatkan pancaindra untuk melihat kehidupan melalui kesunyian, guna menyiapkan diri dalam membangun darma bakti.
Bersamaan dengan penanaman seratusan bibit pohon itu, Bibi Retno pun memasukkan cokbakal berupa sebuah kendil berisi bumbu dapur, telur, dan sebagainya ke dalam lubang untuk ditanam bersama salah salah satu bibit pohon nagasari.
Dalam falsafah Jawa, apa yang ada di dalam cokbakal tersebut merupakan simbol-simbol yang dibutuhkan umat manusia, misalnya bumbu dapur dibutuhkan untuk memberikan rasa pada makanan maupun untuk kesehatan.
Dengan demikian, penanaman cokbakal itu sebagai simbol dari harapan agar bibit pohon yang ditanam dapat memberikan kebaikan bagi umat manusia, berupa lingkungan yang lestari khususnya lereng Gunung Slamet yang saat sekarang mengalami kerusakan akibat alih fungsi dari hutan lindung menjadi lahan pertanian.
"Ini memang bentuknya menanam pohon, tapi tujuannya, niat kami adalah niat untuk konservasi, niat untuk menjaga kehidupan, terutama di lereng Gunung Slamet. Kami menyerukan upaya penyelamatan Gunung Slamet yang saat sekarang mengalami kerusakan," kata Ketua Yayasan Dhalang Nawan Bambang Barata Aji.
Kerusakan tersebut, di antaranya akibat adanya pembukaan kawasan hutan untuk proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTB) yang akhirnya terhenti karena tidak menemukan sumber panas bumi di Gunung Slamet. Sementara di sisi barat Gunung Slamet terdapat pembukaan hutan untuk lahan tanaman kentang.
Oleh karena itu, para pegiat lingkungan bersama sejumlah pemangku kepentingan mengampanyekan upaya untuk menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional dalam rangka konservasi guna menyelamatkan gunung terbesar di Pulau Jawa tersebut dari kerusakan yang lebih parah.
Taman nasional
Upaya menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional terus disuarakan oleh para pegiat lingkungan, hingga akhirnya terbentuk Presidium Gunung Slamet Menuju Taman Nasional di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yang berada di sisi utara gunung itu.
Ketua Presidium Gunung Slamet Menuju Taman Nasional Andi Rustono mengatakan presidium tersebut tidak sekonyong-konyong lahir dan dibentuk, namun telah melalui diskusi-diskusi kecil di sejumlah wilayah yang berada di sekitar Gunung Slamet.
Hingga akhirnya diadakan Kongres Selamatkan Gunung Slamet di Karanglewas, Kabupaten Banyumas, pada tanggal 26 Oktober 2024, dengan berbagai macam variabel, isu, tantangan, serta problematika masyarakat gunung bahwa di sana ada kehidupan, perhutanan sosial, pariwisata, dan sebagainya.
Mereka menegaskan bahwa gerakan tersebut bukan untuk melawan, tetapi hanya mengingatkan bahwa kalau memang Gunung Slamet dianggap rusak agar tidak bertambah rusak.
Dalam hal ini, keberadaan taman nasional tersebut tidak akan mengganggu kelanjutan pariwisata di Gunung Slamet. Akan tetapi dalam konteks Gunung Slamet untuk menjadi taman nasional, justru untuk saling melindungi dan saling memelihara.
Saat ini ada oknum-oknum korporasi yang menanam kentang di lereng Gunung Slamet, hingga berada pada ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Penanaman kentang tersebut sebenarnya tidak menguntungkan petani karena mereka sering kali berhadapan dengan isu-isu penggunaan pestisida maupun Undang-Undang Pokok Agraria.
Akan tetapi penanaman kentang tersebut justru sangat merugikan masyarakat yang hidup di bawah lereng Gunung Slamet karena terkena dampak dari pembukaan hutan untuk ditanami hortikultura yang hanya menguntungkan sekelompok dan sepihak orang.
Bahkan, dampak kerusakan Gunung Slamet dapat terdeteksi dengan terus menurunnya debit air yang dikeluarkan dari sumber-sumber mata air yang berasl dari gunung itu.
Akibatnya, luas lahan sawah di Kabupaten Pemalang yang sebelumnya mencapai kisaran 38.000 hektare, saat sekarang hanya tersisa sekitar 35.000 hektare karena debit air dari Gunung Slamet yang sebelumnya mencapai 10.000 liter per detik, menjadi hanya 6.000 liter per detik.
Adanya penebangan hutan sedemikian rupa harus dihentikan, yang memang arealnya konservasi, hutan lindung. Semua harus dikembalikan sebagai hutan lindung.
Pegiat lingkungan "Jaga Rimba" Desa Dawuhan, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Abdul Rozak mengatakan kerusakan hutan di lereng barat Gunung Slamet saat sekarang sudah mencapai ketinggian 2.400 mdpl dan luasannya sudah ratusan hektare, sehingga pihaknya memandang perlu adanya zonasi yang jelas.
Oleh karena itu, taman nasional digagas dalam rangka melindungi atau mengembalikan fungsi hutan lindung dan yang paling penting berupa adanya zonasi yang meliputi zona konservasi, zona tradisional, dan zona pemanfaatan.
Pria yang dipercaya sebagai Sekretaris Umum Gunung Slamet Menuju Taman Nasional itu menilai taman nasional merupakan sesuatu yang mendesak karena upaya perusakan hutan Gunung Slamet masih terus terjadi hingga saat sekarang.
Bahkan, saat Jaga Rimba melaksanakan patroli di wilayah hutan yang masuk Dusun Sawangan, Desa Sigedong, Kecamatan Bumijawa, Kabupaten Tegal, pada Kamis (15/5), terpantau masih adanya upaya perusakan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Perusakan tersebut berupa pengalihan fungsi hutan lindung menjadi lahan pertanian untuk tanaman kentang.
Kerusakan hutan lindung di lereng Gunung Slamet itu telah berdampak terhadap rusaknya sejumlah sungai di wilayah Kabupaten Brebes dan Tegal, seperti Sungai Kalipedes serta Sungai Keruh. Rusaknya sungai tersebut berdampak pada bencana tanah bergerak yang dialami warga Desa Mendala, Kecamatan Sirampog, yang merusak 130 rumah warga.
Selain itu, banjir bandang juga hampir selalu terjadi di Desa Dawuhan dan Desa Igirklanceng, Kecamatan Sirampog, ketika hujan lebat. Sebelum tahun 2017, banjir bandang tersebut belum pernah terjadi.
Akan tetapi sejak adanya pembukaan hutan lindung, warga sering mengalami banjir bandang.
Terkait dengan hal itu, para pemangku kepentingan dari lima kabupaten di sekitar Gunung Slamet, yang meliputi Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan Brebes, dapat ikut mengawal upaya menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional, sehingga kekhawatiran-kekhawatiran yang muncul dapat dijawab bersama dengan adanya keterlibatan semua pihak, termasuk masyarakat.
Kampanye menjadikan Gunung Slamet sebagai taman nasional pun telah mendapat dukungan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, seperti yang disampaikan oleh Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, saat Musyawarah Perencanaan Pembangunan Wilayah (Musrenbangwil) eks Keresidenan Pekalongan, Kamis (24/4).
Dalam hal ini, Pemprov Jateng telah mengajukan Gunung Slamet menjadi taman nasional ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, sebagai bagian dari upaya konservasi lingkungan di kawasan tersebut.
Surat sudah diluncurkan ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dan semu menunggu hasilnya.
Amal jariah
Kegiatan penanaman bibit pohon dalam rangka pelestarian lingkungan dan penyelamatan Gunung Slamet, bagi salah seorang budayawan Banyumas Titut Edi Purwanto merupakan sebuah amal jariah karena selama pohon yang ditanam itu masih hidup akan terus memberikan banyak manfaat bagi masyarakat.
Meskipun Gunung Slamet menjulang tinggi dengan hutan hijaunya di sebelah utara Banyumas, tanaman padi yang menguning, serta samudra yang luas di selatan Pulau Jawa, Titut mempertanyakan masih adakah ribuan mata air yang mengalir dari Gunung Slamet.
"Hari ini (18/5) sebuah bentuk kemuliaan di mana saudara-saudaraku kumpul di sini, menanam pohon tahunan sebagai amal jariah walaupun si penanam sudah mati, kalau pohon itu masih hidup menjadi amal jariah yang tetap hidup si penanam itu sendiri karena memberikan keindahan, udara yang segar," katanya.
Ia pun menilai nenek moyang bangsa Indonesia memiliki kecerdasan yang tinggi untuk membaca peristiwa atau kejadian, yakni dengan mengatur tata musim, pola tanam diatur, hingga masa pemetikan.
Hal itu merupakan sebuah kekuatan bahwa budaya yang ada adalah budaya agraris di mana bangsa Indonesia harus punya kewajiban menurunkan kecerdasan kepada anak cucu untuk menjaga lingkungan dan menjaga alamnya agar kehidupan tetap stabil dan seimbang dalam konteks indahnya berbagi rasa dan indahnya kebersamaan.
Dalam hal ini, bangsa Indonesia punya kewajiban menjaga bumi pertiwi karena bumi pertiwi merupakan ibu yang setiap detik melahirkan untuk kehidupan penghuni buminya.