Jakarta (ANTARA) - Delapan tahun silam, tepatnya 10 April 2017, tiga negara anggota Concacaf, yakni Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko, mengajukan lamaran menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026.
FIFA sebelumnya telah memutuskan bahwa Piala Dunia 2026 akan diadakan di negara-negara anggota Concacaf (Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Utara), atau Conmebol (Amerika Selatan), atau CAF (Afrika), atau OFC (Oseania), karena Eropa dan Asia sudah mendapatkan jatah edisi 2018 dan 2022.
Setahun kemudian, sehari sebelum kickoff Piala Dunia Rusia 2018, pada 13 Juni 2018, ketiga negara Amerika Utara itu dinyatakan menang, dengan 134 suara, melawan 65 suara yang dihimpun Maroko yang mewakili Afrika.
Waktu itu hubungan AS dengan Kanada dan Meksiko sudah meriang karena sama seperti sekarang, AS tengah dipimpin oleh Donald Trump.
Saat itu hubungan panas antara ketiga negara tak seheboh sekarang. Namun, kini Trump mengambil kebijakan yang jauh lebih drastis dibandingkan dengan era pertama pemerintahannya, terhadap sekutu-sekutunya sekalipun, termasuk Kanada dan Meksiko.
Awal Maret ini, dia mengawali apa yang dikenal awam sebagai "perang dagang", dengan mengenakan tarif impor 25 persen kepada Kanada dan Meksiko, selain juga kepada China.
Tentu saja Kanada dan Meksiko marah besar. Mereka merasa ditikam dari belakang oleh sekutunya sendiri.
Bukannya khawatir, Trump dengan enteng malah menjawab bahwa "suasana perang dagang" akan membuat Piala Dunia 2026 menjadi semakin menarik untuk disaksikan.
Trump yang juga pelaku showbiz yang paham bagaimana membuat tontonan menjadi semakin menarik karena imbuhan kontroversi, beranggapan situasi gaduh akibat perang dagang justru menambah adrenalin kompetisi sehingga menjadi kian enak untuk ditonton.
Sesederhana itukah?
Perang dagang memang tak akan mempengaruhi langsung Piala Dunia 2026. Jadwal pun ditentukan sehingga apa pun yang terjadi Piala Dunia 2026 akan jalan terus, kendati ketiga negara penyelenggara terlibat perang dagang yang amat sengit.
Namun, bagaimana suasana panas akibat perang dagang saat ini terus terjadi sampai penyelenggaraan Piala Dunia 2026 pada Juni tahun depan? Dan bagaimana jika keadaan permusuhan akibat perang dagang antara ketiga penyelenggara ajang FIFA malah meluber ke mana-mana?.
Piala Dunia 2026 juga bakal menyedot jutaan manusia dari seluruh dunia. Los Angeles Times memperkirakan enam juta orang akan masuk ke AS untuk menyaksikan langsung Piala Dunai 2026.
Manusia sebanyak itu bisa menciptakan masalah serius bagi semua pihak, khususnya menciptakan antrian visa masuk AS dari seluruh dunia.
Ada potensi gaduh lain.
Salah satunya adalah skenario rezim zionis biadab Israel lolos ke Piala Dunia 2026, sebagai salah satu dari 16 tim Eropa yang berhak lolos ke putaran final 2026. Eropa atau UEFA baru memulai kualifikasi Piala Dunia 2026 pada 21 Maret 2025, dan berakhir pada 31 Maret 2026.
Skenario ini bisa membuat Piala Dunia 2026 semakin gaduh, terutama dalam kaitan dengan aksi Israel di Palestina, khususnya Jalur Gaza, yang menimbulkan kemarahan global, tidak cuma negara-negara Muslim.
Akan ada aksi-aksi besar di dalam dan luar stadion Piala Dunia 2026, termasuk dalam laga-laga di Meksiko atau Kanada, baik dari penggemar maupun para aktivis termasuk dari AS sendiri, untuk menunjukkan solidaritas kepada Palestina. Keadaan ini bisa menciptakan dilema keamanan, terutama bagi AS, termasuk dalam final di Metlife Stadium, New Jersey, yang hanya beberapa menit dari New York, yang setahun lalu menjadi pusat gerakan solidaritas Palestina di AS.
Satu lagi kekhawatiran adalah kemungkinan panas ekstrem selama Piala Dunia 2026. Cuaca panas pula yang memaksa Piala Dunia 2022 dimundurkan ke akhir tahun.
Piala Dunia 2026 bisa menjadi yang paling heboh dan paling gaduh.
Baca juga: Tiket Indonesia vs Bahrain terjual habis